Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Citra Dewas KPK Kembali Buruk
11 September 2024 11:24 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alih-alih memperbaiki citra dan kepercayaan masyarakat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di mata publik, putusan etik terhadap wakil ketua KPK Nurul Ghufron, justru menambah rentetan panjang bahwa Dewan Pengawas (Dewas) KPK tidak serius dalam menindak pelanggaran etik yang dilakukan oleh para pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
Putusan Dewas yang hanya memberikan teguran tertulis dan pemotongan gaji selama enam bulan kepada Nurul Ghufron, justru semakin memperparah ketidakpercayaan publik terhadap mekanisme penegakan etik yang dilakukan oleh Dewas.
Putusan tersebut bukan kali pertama dilakukan oleh Dewas, pada tahun 2020 Ketua KPK Firli Bahuri juga hanya mendapatkan sanksi ringan meskipun terbukti melakukan pelanggaran berupa penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi, yang dinilai sebagai gaya hidup mewah. Kemudian, Lili Pintauli Siregar, yang juga terbukti melanggar kode etik karena berkomunikasi dengan pihak yang sedang berperkara, hanya mendapatkan pemotongan gaji.
Berbeda dengan kasus Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar, pelanggaran yang dilakukan oleh Nurul Ghufron tergolong pelanggaran etik berat karena ia terlibat dalam praktik memperdagangkan pengaruh (Trading in Influence) demi membantu proses mutasi saudaranya, Andi Dwi Mandasari, yang bekerja di Kementerian Pertanian (Kementan).
ADVERTISEMENT
Harusnya, menurut pasal 10 ayat (3) huruf b peraturan dewas KPK No. 3 Tahun 2021 sanksi yang diberikan kepada Nurul Ghufron adalah Diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Dewan Pengawas atau Pimpinan. Jika di analisis lebih dalam tindakan yang dilakukan oleh Nurul Ghufron bukan hanya memperdagangkan pengaruh tetapi juga mengarah kepada Korupsi, Kolusi dan Nepotsme (KKN).
Beberapa berita dan literatur juga menyebutkan bahwa Nurul Ghufron juga intens berkomunikasi dan meminta secara langsung kepada Sekretaris Jenderal Kementan, untuk menerima permintaan mutasi saudaranya tersebut, yang sebelumnya sempat ditolak. Kondisi tersebut juga semakin menunjukkan citra buruk KPK sebagai Lembaga anti rasuah.
Hal ini menambah deretan kasus pelanggaran etik yang tampaknya dianggap ringan oleh Dewan Pengawas. Sanksi yang diberikan kepada Nurul Ghufron justru tidak sebanding dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan. Praktik memperdagangkan pengaruh yang dilakukan Ghufron menunjukkan adanya konflik kepentingan yang serius dan potensi penyimpangan etik dalam sistem KPK. Sanksi yang hanya berupa teguran tertulis dan pemotongan gaji selama enam bulan jelas tidak cukup untuk mengatasi dampak dari tindakan Ghufron yang merusak integritas lembaga anti-rasuah tersebut.
ADVERTISEMENT
KPK, sebagai lembaga yang diamanahkan untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, seharusnya menjadi contoh dalam penegakan etik dan integritas. Namun, dengan adanya kasus-kasus pelanggaran etik yang tidak ditindaklanjuti secara tegas, pesan yang disampaikan kepada publik adalah bahwa KPK sendiri tidak mampu menegakkan prinsip-prinsip yang mereka perjuangkan. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang efektivitas Dewan Pengawas dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan etik.
Lebih jauh, putusan Dewas ini bisa mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap keseluruhan sistem penegakan hukum di Indonesia. Ketidakseriusan dalam menindak pelanggaran etik di internal KPK dapat menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga ini, yang berdampak pada legitimasi dan efektivitas upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Jika tidak segera ada perubahan dalam pendekatan Dewan Pengawas, ada risiko besar bahwa KPK akan semakin terjebak dalam krisis integritas yang merugikan tidak hanya lembaga itu sendiri tetapi juga masyarakat yang bergantung pada upaya pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Dewan Pengawas perlu mengevaluasi kembali kebijakan dan mekanisme penegakan etik mereka untuk memastikan bahwa sanksi yang dijatuhkan mencerminkan seriusnya pelanggaran dan memberikan efek jera. Jika tidak, KPK bisa kehilangan kepercayaan publik yang telah dibangun dengan susah payah dan tidak dapat lagi menjalankan fungsi kritisnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.