Konten dari Pengguna

Feodalisme dan Paradoks Ormawa Kampus

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Awardee Beasiswa Unggulan 2024
30 Januari 2025 15:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demo Mahasiswa Foto: Istock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demo Mahasiswa Foto: Istock
ADVERTISEMENT
Organisasi mahasiswa (ormawa), yang dahulu menjadi salah satu pilar pergerakan intelektual dan sosial, kini mulai kehilangan daya tariknya di lingkungan kampus.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tidak terlepas dari kritik yang dilontarkan oleh Raja Faidz El Shidqi, seorang mahasiswa dari salah satu kampus di Jakarta, yang mengidentifikasi dua penyebab utama menurunnya marwah organisasi mahasiswa: praktik feodalisme yang dikemas dalam dalih ketertiban organisasi, dan budaya senioritas yang mengagungkan kejayaan masa lalu.
Feodalisme dalam organisasi mahasiswa telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Para mahasiswa baru sering kali dipaksa untuk percaya bahwa aktif di organisasi akan membawa manfaat berupa relasi dan pengalaman yang tidak didapat di ruang kelas. Namun, kenyataan di dalam organisasi sering kali berlawanan dengan narasi ideal tersebut. Mahasiswa baru cenderung diposisikan sebagai bawahan yang harus tunduk pada senior. Praktik ini menciptakan hubungan hierarkis yang lebih menyerupai struktur feodal daripada wadah kolaborasi setara untuk pengembangan diri.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya soal hubungan junior dan senior yang timpang, tetapi juga agenda-agenda organisasi sering kali dikontrol oleh para senior. Contohnya, dalam proses pemilihan ketua umum atau presiden mahasiswa, sering terjadi intervensi oleh senior untuk memastikan calon tertentu terpilih. Alasan stabilitas organisasi yang sering dijadikan pembenaran hanyalah kedok untuk melanggengkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Padahal, sebagai senior, peran mereka seharusnya terbatas pada memberikan saran dan dukungan yang membangun, bukan memaksakan kehendak dengan cara intimidasi dan ancaman.
Praktik feodalisme ini diperparah dengan ancaman berupa cut off atau pengucilan bagi mereka yang berani melawan instruksi senior. Upaya perlawanan terhadap budaya ini sering kali kandas. Dalam banyak kasus, pengurus harian yang awalnya kritis terhadap senior akhirnya tunduk karena tergiur oleh iming-iming seperti uang, pekerjaan, atau peluang lain yang menjanjikan. Alhasil, budaya feodal terus bertahan, sementara potensi organisasi mahasiswa untuk menjadi ruang pembelajaran dan pemberdayaan justru terkubur.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada faktor lain yang mendukung suburnya feodalisme di kampus. Pertama, sebagian mahasiswa terlalu mengagumi dan menghamba pada senior mereka karena cerita-cerita inspiratif tentang perjuangan masa lalu saat menjadi mahasiswa. Ungkapan seperti “Zaman saya dulu, seperti kalian sudah ini itu” menjadi salah satu alat legitimasi untuk mempertahankan budaya feodalnya. Kedua, ada rasa hutang budi yang dimiliki junior terhadap senior tertentu, misalnya karena bantuan dalam proses pengajuan beasiswa, proses pencairan proposal, lobby tempat bahkan untuk menjembatani masuk ke lingkungan birokrat.
Ironisnya, budaya feodal yang subur di kampus justru bertentangan dengan semangat organisasi mahasiswa sebagai ruang kebebasan intelektual. Sebagai mahasiswa, mereka sering menyerukan pemerintah untuk menjauhi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta menegakkan keadilan tanpa intimidasi. Namun, sebagian aktivis mahasiswa justru memelihara budaya otoritarianisme di dalam organisasi mereka sendiri. Senior yang kerap mengkritik otoritarianisme pemerintah, pada kenyataannya, menjalankan praktik serupa terhadap junior mereka.
ADVERTISEMENT
Narasi romantisasi perjuangan masa lalu yang sering disampaikan senior juga menjadi salah satu penyebab utama stagnasi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa baru terus-menerus dicekoki cerita-cerita inspiratif tentang pahitnya perjuangan melawan rezim otoriter. Namun, di sisi lain, mereka menutup mata terhadap praktik otoritarianisme yang terjadi di dalam organisasi mereka sendiri. Hal ini menunjukkan paradoks yang menyedihkan: organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi wadah pergerakan kritis malah menjadi tempat suburnya praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan keadilan.
Lebih jauh lagi, peran organisasi mahasiswa dalam menyuarakan kondisi sosial masyarakat kini semakin memudar. Organisasi pergerakan yang dulu menjadi garda terdepan dalam mengadvokasi isu-isu sosial kini lebih sering menjadi alat untuk memenuhi ambisi kekuasaan individu atau kelompok tertentu. Program kerja yang digagas sering kali hanya sebatas formalitas untuk memenuhi anggaran tanpa memberikan dampak jangka panjang bagi masyarakat. Bahkan, program-program seperti pengabdian, yang seharusnya menjadi bentuk pengabdian konkret kepada masyarakat, terkadang tidak lebih dari rutinitas administratif yang kehilangan esensi.
ADVERTISEMENT
Setelah menjalankan program kerja, banyak mahasiswa kembali ke rutinitas individu tanpa ada tindak lanjut untuk memastikan dampak program tersebut bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pengabdian yang dilakukan tidak bersifat substantif, melainkan hanya sebatas kewajiban formal. Padahal, sebagai kaum intelektual, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk membagikan pengetahuan dan keterampilan mereka kepada masyarakat, terutama kepada mereka yang kurang terjangkau oleh akses pendidikan formal.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pergerakan mahasiswa hari ini tenggelam dalam euforia kejayaan masa lalu tanpa mampu menghadapi realitas kekinian. Kita mendambakan mahasiswa yang mampu mendobrak kebodohan dan ketidakadilan di masyarakat, tetapi pada kenyataannya, banyak mahasiswa yang masih terjebak dalam egoisme dan ketidakpedulian terhadap kondisi sosial.
Untuk mengembalikan marwah organisasi mahasiswa sebagai ruang pergerakan kritis, diperlukan reformasi yang menyeluruh. Budaya feodal harus dihentikan, dan relasi antara junior dan senior harus didasarkan pada semangat kolaborasi yang setara. Selain itu, organisasi mahasiswa perlu kembali pada tujuan utamanya sebagai wadah pembelajaran, advokasi, dan pengabdian kepada masyarakat. Pengurus organisasi harus berani melawan intervensi senior yang tidak konstruktif dan membangun sistem yang lebih transparan serta akuntabel.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, narasi romantisasi perjuangan masa lalu harus diimbangi dengan refleksi kritis terhadap realitas hari ini. Mahasiswa perlu diajak untuk melihat tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini dan mencari solusi yang relevan. Program kerja organisasi harus dirancang dengan orientasi jangka panjang yang benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
Pada akhirnya, pergerakan mahasiswa yang sejati bukanlah tentang romantisme masa lalu atau kepentingan individu, melainkan tentang keberanian untuk menghadapi tantangan zaman dan memperjuangkan keadilan sosial. Jika mahasiswa mampu melepaskan diri dari belenggu feodalisme dan memfokuskan energi mereka pada advokasi dan pengabdian yang nyata, maka organisasi mahasiswa dapat kembali menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan berdaya.
Dengan demikian, pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah: apakah kita siap untuk melepaskan budaya feodal yang telah mengakar, ataukah kita akan terus membiarkan organisasi mahasiswa tenggelam dalam paradoks dan kehilangan relevansinya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan pergerakan mahasiswa dan kontribusinya bagi masyarakat. Kini saatnya bagi kita untuk mengembalikan esensi organisasi mahasiswa sebagai ruang intelektual yang bebas dan progresif, demi mewujudkan perubahan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT