Konten dari Pengguna

Keputusan Kontroversial MA: Jalan Mulus untuk Kaesang di Pilgub DKI 2024?

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
3 Juni 2024 9:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: istock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: istock
ADVERTISEMENT
Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengakomodir majunya Kaesang Pangarep dalam gelaran Pilkada 2024 telah menimbulkan kontroversi dan dugaan publik yang tidak dapat disalahkan. Putusan ini, yang tertuang dalam Putusan MA Nomor 23P/HUM/2024, membuka jalan bagi orang yang belum berusia 30 tahun untuk maju dalam kontestasi Pilgub 2024. Putusan ini merupakan hasil dari uji materiil terhadap Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 yang sebelumnya menetapkan usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Dengan perubahan batas usia minimal menjadi setelah pelantikan, Kaesang Pangarep yang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024 kini memiliki peluang untuk maju dalam Pilgub DKI Jakarta, sebuah perubahan yang disinyalir oleh banyak pihak sebagai bentuk penyimpangan dari peran dan tugas MA.
MA sebagai lembaga yang seharusnya menguji peraturan perundang-undangan berdasarkan UU, kini tampak melampaui wewenangnya dengan mengacu pada apa yang seharusnya dipertimbangkan berdasarkan UUD 1945. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah keputusan ini didasari oleh prinsip-prinsip hukum yang kuat, ataukah lebih dipengaruhi oleh dinamika politik yang menguntungkan putra presiden.
Bivitri Susanti, seorang ahli hukum, mengkritik keputusan MA ini dengan menegaskan bahwa penetapan batas usia minimal pada saat pendaftaran atau penetapan pencalonan dengan pada saat pelantikan tidak memiliki perbedaan signifikan yang dapat menyebut aturan KPU membatasi anak muda. Menurutnya, keputusan MA yang menyebutkan bahwa membatasi sejak pendaftaran hanya akan menggambarkan pelaksanaan UU 10/2016 dari sisi termohon selaku penyelenggara pemilihan, tetapi tidak menggambarkan original intent UU 10/2016 untuk mengakomodasi anak muda adalah tidak masuk akal. Pasalnya, antara pendaftaran dengan pelantikan hanya berjarak beberapa bulan.
ADVERTISEMENT
Kritik ini menyoroti masalah mendasar dalam putusan MA, yaitu penalaran hukum yang tampak dipaksakan untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, publik wajar jika mengaitkan keputusan ini dengan upaya memuluskan jalan Kaesang maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2024. Terlebih lagi, pola yang serupa sebelumnya telah terjadi dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, kakak Kaesang, untuk menjadi calon wakil presiden.
Dari perspektif publik, keputusan ini tidak hanya membuka jalan bagi Kaesang, tetapi juga menunjukkan adanya tren dalam lembaga hukum yang seharusnya independen, menjadi alat politik yang dapat dimanipulasi. Hal ini mengundang kecurigaan terhadap integritas dan objektivitas MA sebagai institusi peradilan tertinggi di Indonesia.
Namun, di sisi lain, ada argumen yang menyatakan bahwa keputusan ini merupakan langkah maju dalam mengakomodasi anak muda dalam politik. Dengan menurunkan batas usia minimal setelah pelantikan, peluang bagi kaum muda untuk berpartisipasi dalam politik semakin terbuka. Ini dapat dianggap sebagai bentuk reformasi untuk mendorong partisipasi generasi muda dalam pemerintahan, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam era modern ini.
ADVERTISEMENT
Apakah keputusan ini murni untuk mengakomodasi kepentingan generasi muda atau lebih kepada kepentingan politik individu tertentu, masih menjadi perdebatan yang terus berlangsung. Yang jelas, putusan ini menunjukkan bahwa proses peradilan di Indonesia tidak lepas dari pengaruh politik yang kuat. Sehingga imparsialitas peradilan terutama MA yang notabenenya peradilan tertinggi justru melalukan hal yang merusak independensi suatu peradilan
Selanjutnya, MA harusnya mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan seperti ini terhadap sistem hukum dan politik di Indonesia. Jika lembaga hukum terus menerus dipandang sebagai alat politik, maka kepercayaan publik terhadap sistem peradilan akan terus menurun. Di sisi lain, jika keputusan ini benar-benar dimaksudkan untuk membuka jalan bagi partisipasi generasi muda, maka perlu ada langkah-langkah lebih lanjut untuk memastikan bahwa reformasi ini dilakukan dengan cara yang transparan dan tidak memihak.
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi yang sehat, keputusan hukum harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan hukum sangat penting untuk menjaga integritas sistem peradilan. Jika tidak, maka kita akan terus menyaksikan putusan-putusan kontroversial yang hanya akan memperkuat dugaan publik tentang adanya intervensi politik dalam sistem hukum Indonesia.