Memahami Frasa 'Keadaan Tertentu' dalam UU Tipikor

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
Konten dari Pengguna
19 Februari 2024 7:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Frasa "keadaan tertentu" dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memiliki signifikansi penting dalam menentukan sanksi yang diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor memberikan kewenangan bagi pengadilan untuk menjatuhkan hukuman pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam keadaan tertentu.
Untuk memahami lebih lanjut tentang konsep ini, perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" sesuai dengan penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, "keadaan tertentu" merujuk pada situasi di mana tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta pengulangan tindak pidana korupsi.
Dengan kata lain, pelaku korupsi yang menyalahgunakan dana-dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat atau krisis nasional dapat dikenakan hukuman lebih berat, termasuk pidana mati.
ADVERTISEMENT
Dasar hukum yang mengatur konsep "keadaan tertentu" ini memberikan pandangan bahwa tindak pidana korupsi yang merugikan kepentingan publik dalam situasi kritis atau darurat nasional layak mendapat sanksi yang lebih berat sebagai bentuk pemulihan keadilan dan kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian, pengaturan ini tidak hanya menegaskan seriusnya pemberantasan korupsi, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap keuangan negara dan kepentingan nasional pada kondisi-kondisi yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam praktiknya, pengadilan harus mempertimbangkan dengan cermat apakah suatu kasus memenuhi kriteria "keadaan tertentu" sebelum menjatuhkan hukuman pidana mati, dengan memperhatikan bukti-bukti yang ada dan prinsip-prinsip keadilan serta hak asasi manusia yang bersifat universal.
Hal ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan sesuai dengan nilai-nilai demokratis yang dijunjung tinggi.
ADVERTISEMENT

Adanya Konflik Norma dalam UU Tipikor dengan Perppu No. 1 Tahun 2020

Polemik Perppu 1/2020 menimbulkan dilema dalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor.
Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 secara tegas menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga terkait dalam rangka pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional, termasuk kebijakan pemulihan ekonomi dari krisis, tidak dianggap sebagai kerugian negara.
Hal ini memberikan legitimasi bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk mengeklaim bahwa tindakan koruptif mereka sebenarnya merupakan bagian dari upaya penyelamatan ekonomi nasional dan bukanlah kerugian negara.
Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 tampaknya bertentangan dan ada konflik norma dengan UU Tipikor dan perubahannya yang bertujuan untuk memberantas korupsi dan menghukum pelakunya.
ADVERTISEMENT
Penafsiran semacam ini menyulitkan aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan pengelolaan dana negara dalam konteks kebijakan ekonomi dan pemulihan ekonomi nasional.
Seperti halnya pelaku tindak pidana korupsi pada saat wabah Covid-19 tahun 2019 kemarin, padahal jika di analisis lebih lanjut sudah sepatutnya di hukum mati karena sudah memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Selain itu, Pasal 27 ayat (2) dan (3) Perppu 1/2020 juga menimbulkan kekhawatiran terkait impunitas terhadap pelaku korupsi.
Pasal-pasal tersebut memberikan perlindungan hukum bagi anggota lembaga terkait dalam melakukan tugas-tugas mereka, selama tindakan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Penafsiran yang salah dari Pasal ini juga dapat membuka pintu bagi pelaku korupsi untuk mengeklaim bahwa tindakan mereka dilakukan dalam itikad baik, sehingga tidak dapat dituntut secara hukum.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, ada juga pandangan yang berpendapat bahwa Pasal 27 Perppu 1/2020 tidak dapat dijadikan alasan untuk meloloskan pelaku korupsi dari pertanggungjawaban hukum mereka.
Argumen ini didasarkan pada prinsip bahwa kebijakan ekonomi nasional dan upaya pemulihan ekonomi tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghalangi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini, pemberian perlindungan hukum kepada pejabat yang bertindak dengan itikad baik seharusnya tidak diartikan sebagai bentuk impunitas terhadap tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, penting bagi pengadilan dan lembaga penegak hukum untuk memahami dengan cermat batasan-batasan yang diberikan oleh Perppu 1/2020, serta memastikan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tetap berjalan secara efektif dan adil.
Dalam konteks ini, perlindungan hukum terhadap pejabat yang bertindak dengan itikad baik tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk mengabaikan kepentingan masyarakat dalam pemberantasan korupsi dan perlindungan terhadap keuangan negara.
ADVERTISEMENT