Konten dari Pengguna

Menyoal Pasal-Pasal Kontroversial dalam UU Kesehatan Omnibus Law

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Awardee Beasiswa Unggulan 2024
13 Juli 2023 12:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesehatan. Foto: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesehatan. Foto: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Dalam pembentukannya melalui metode omnibus law, Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan) telah menuai sejumlah poin kontroversial yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Beberapa pasal dalam UU Kesehatan mengandung aspek-aspek yang perlu diperhatikan secara saksama karena berpotensi mempengaruhi peran organisasi profesi, independensi badan pengatur, dan bahkan privasi serta penyalahgunaan data genetik penduduk.
Mari kita tinjau secara lebih rinci beberapa poin kontroversial yang terdapat dalam UU Kesehatan. Pertama, Pasal 314 Ayat 2 menjadi perhatian karena menyatakan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.
Poin ini dinilai dapat mengakibatkan marginalisasi organisasi profesi dan membatasi peran serta pengaruh mereka dalam memajukan bidang kesehatan.
Organisasi profesi memiliki peran penting dalam memberikan arahan, standar, dan advokasi untuk tenaga kesehatan. Dengan membatasi jumlah organisasi profesi, akan terjadi kekakuan dalam berinovasi dan beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, Pasal 206 menyebabkan kekhawatiran terkait independensi dan otoritas kolegium profesi. Pasal ini menyatakan bahwa standar pendidikan kesehatan dan kompetensi akan disusun oleh menteri. Hal ini mengakibatkan ketergantungan kolegium pada keputusan menteri dalam menentukan standar kompetensi tenaga kesehatan.
Ilustrasi korupsi di bidang kesehatan. Foto: KucherAV/Shutterstock
Independensi kolegium sebagai lembaga yang menaungi profesi medis dan kesehatan perlu dipertahankan untuk memastikan bahwa standar kompetensi tetap relevan, berintegritas, dan berbasis ilmiah.
Selanjutnya, Pasal 239 Ayat 2 mengenai peralihan tanggung jawab Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) kepada menteri menjadi perhatian utama. KKI sebagai badan independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden diharapkan dapat menjaga independensi dan keberlanjutan dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap praktik medis.
Peralihan tanggung jawab ini menimbulkan kekhawatiran terhadap peningkatan keterlibatan menteri dalam pengaturan profesi medis, yang dapat berpotensi mempengaruhi independensi dan kualitas pengawasan.
ADVERTISEMENT
Pasal 462 Ayat 1 juga menjadi sorotan karena menyebutkan bahwa medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dapat dipidana. Meskipun tujuan pasal ini adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan kualitas pelayanan kesehatan, ketiadaan penjelasan rinci mengenai definisi dan ruang lingkup kelalaian dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian dan dapat disalahgunakan.
Diperlukan klarifikasi yang lebih jelas agar pasal ini tidak menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian hukum di kalangan tenaga kesehatan.
Pada Pasal 154 Ayat 3, penggabungan tembakau ke dalam kelompok zat adiktif seperti narkotika dan psikotropika menimbulkan perdebatan. Hal ini mengakibatkan aturan yang lebih ketat terhadap tembakau yang disetarakan dengan narkoba.
Ilustrasi tembakau. Foto: Shutterstock
Sementara perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dari dampak buruk tembakau sangat penting, penggabungan ini juga membutuhkan keseimbangan yang tepat antara regulasi dan kebebasan individu dalam menggunakan tembakau.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Pasal 346 Ayat 7 menimbulkan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan data genetik penduduk Indonesia. Celah dalam pasal ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengumpulkan data genetik yang dapat disalahgunakan.
Privasi dan keamanan data genetik adalah hak penting yang perlu dilindungi. Diperlukan ketentuan yang jelas dalam UU Kesehatan untuk mencegah penyalahgunaan dan melindungi privasi individu terkait data genetik.
Dalam menghadapi tantangan kontroversial dalam UU Kesehatan, penting bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk menerima masukan dan kritik konstruktif dari berbagai pihak terkait.
Partisipasi aktif organisasi profesi, masyarakat sipil, dan para ahli dalam proses perumusan kebijakan akan membantu mengatasi kekhawatiran dan meningkatkan akuntabilitas serta keberlanjutan UU Kesehatan.
Selain itu, perlu ada transparansi dan dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat dalam menjelaskan niat baik serta tujuan dari poin-poin kontroversial dalam UU Kesehatan.
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Hal ini akan membangun kepercayaan dan mengurangi kekhawatiran yang mungkin timbul dari interpretasi yang salah atau pemahaman yang terbatas terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi tantangan kontroversial dalam UU Kesehatan, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa UU tersebut dapat berfungsi dengan baik dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil.
Pertama, perlu adanya dialog terbuka dan partisipasi aktif dari berbagai pihak terkait, termasuk organisasi profesi, masyarakat sipil, dan para ahli dalam proses perumusan kebijakan terkait kesehatan.
Melibatkan pemangku kepentingan yang beragam dapat membantu mengidentifikasi dan memahami kekhawatiran yang ada, serta mencari solusi yang lebih baik dan seimbang.
Kedua, pemerintah harus mempertimbangkan ulang poin-poin kontroversial dalam UU Kesehatan dan melakukan revisi yang diperlukan untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat.
Misalnya, dalam Pasal 314 Ayat 2, dapat dipertimbangkan opsi untuk memperbolehkan lebih dari satu organisasi profesi dalam bidang kesehatan, dengan tetap mengedepankan prinsip kolaborasi dan sinergi antara organisasi tersebut.
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
Ketiga, penting untuk menjaga independensi dan otoritas badan pengatur, seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap praktik medis.
ADVERTISEMENT
Peralihan tanggung jawab yang diatur dalam Pasal 239 Ayat 2 perlu dievaluasi kembali untuk memastikan bahwa independensi KKI tetap terjaga dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik.
Keempat, definisi dan ruang lingkup kelalaian dalam Pasal 462 Ayat 1 perlu diperjelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian dan ketakutan di kalangan tenaga kesehatan.
Klarifikasi yang jelas mengenai batasan kelalaian akan membantu meningkatkan akuntabilitas dan kualitas pelayanan kesehatan tanpa menimbulkan beban yang berlebihan pada tenaga kesehatan.
Kelima, penggabungan tembakau ke dalam kelompok zat adiktif seperti narkotika dan psikotropika dalam Pasal 154 Ayat 3 perlu dievaluasi kembali untuk memastikan adanya keseimbangan antara perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dan kebebasan individu dalam menggunakan tembakau.
Regulasi yang bijaksana harus mempertimbangkan efek sampingnya terhadap perekonomian dan industri tembakau, serta memberikan kesempatan bagi individu yang ingin menghentikan kebiasaan merokok.
Ilustrasi berhenti merokok. Foto: chayanuphol/Shutterstock
Terakhir, penting untuk melindungi privasi dan keamanan data genetik penduduk Indonesia. Pasal 346 Ayat 7 harus diperjelas dan diperkuat dengan ketentuan yang tegas mengenai pengumpulan, penggunaan, dan perlindungan data genetik.
ADVERTISEMENT
Peraturan yang jelas dan mekanisme pengawasan yang kuat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan dan melindungi privasi individu.
UU Kesehatan yang baru disahkan melalui metode omnibus law mengandung sejumlah poin kontroversial yang perlu diperhatikan dan diatasi.
Melibatkan pemangku kepentingan yang beragam, melakukan revisi yang diperlukan, menjaga independensi badan pengatur, dan melindungi privasi data genetik adalah langkah-langkah penting untuk memastikan bahwa UU Kesehatan dapat berfungsi dengan baik, menjaga kepentingan masyarakat, dan memenuhi standar kesehatan yang tinggi.