Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyoal Pencabutan Nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998
1 Oktober 2024 9:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 23 September 2024, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998, yang berfungsi sebagai landasan dalam upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pasal ini awalnya menekankan pentingnya penindakan terhadap pelanggaran KKN, termasuk terhadap mantan pejabat negara, keluarga, kroni, dan pihak swasta, serta secara eksplisit menyebutkan mantan Presiden Soeharto.
ADVERTISEMENT
Namun, pencabutan ini dilakukan dengan alasan bahwa Soeharto telah wafat, sehingga dianggap tidak lagi relevan untuk mempertahankan penyebutan namanya dalam ketetapan tersebut.
Keputusan pencabutan ini diambil setelah surat Fraksi Partai Golkar pada 18 September 2024 dan disepakati melalui Rapat Gabungan Pimpinan MPR.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang juga merupakan anggota Partai Golkar, menyatakan bahwa penyebutan nama Soeharto dianggap selesai karena mantan Presiden tersebut telah meninggal dunia.
Namun, langkah ini menuai kritik tajam karena berpotensi memutihkan berbagai tindakan pelanggaran hukum yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto, termasuk kejahatan hak asasi manusia, tindak pidana korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan.
Dari perspektif hukum, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 dapat dianggap sebagai langkah regresif yang merusak prinsip reformasi hukum, khususnya terkait akuntabilitas terhadap pejabat publik dan pengungkapan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Upaya menghapus nama Soeharto dari ketetapan yang mendorong pemberantasan KKN dapat memunculkan kesan bahwa MPR secara tidak langsung memberikan bentuk "amnesti moral" atas tindakan-tindakan yang merugikan negara dan masyarakat.
Hal ini berpotensi melemahkan upaya penguatan supremasi hukum dan prinsip keadilan transisi yang selama ini diupayakan pascareformasi.
Lebih lanjut, pencabutan nama Soeharto tersebut diduga berkaitan erat dengan wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, yang kembali mengemuka setelah beberapa kali diajukan, seperti pada 2010 dan 2016.
TAP MPR No. XI/MPR/1998 selama ini menjadi salah satu hambatan utama bagi pengajuan gelar tersebut. Dengan dihapusnya nama Soeharto dari ketetapan ini, diduga langkah ini diambil untuk memuluskan proses pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, terlepas dari catatan pelanggaran hukum yang mengiringi masa kepemimpinannya.
ADVERTISEMENT
Padahal, secara normatif, gelar pahlawan nasional seharusnya diberikan kepada individu yang berjasa tanpa mencederai integritas hukum dan moral bangsa.
Pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto terbukti bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat, serta berbagai skandal korupsi, termasuk kasus Yayasan Supersemar.
Mahkamah Agung dalam putusan No. 140 PK/Pdt/2005 menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Hingga saat ini, proses eksekusi terhadap aset-aset yayasan tersebut belum sepenuhnya dijalankan, menandakan adanya kelemahan dalam penegakan hukum terhadap peninggalan rezim Orde Baru.
Selain itu, pencabutan nama Soeharto juga dipandang sebagai langkah yang sarat kepentingan politik, terutama mengingat hubungan erat antara Presiden terpilih, Prabowo Subianto, dengan keluarga Cendana.
ADVERTISEMENT
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dilakukan untuk memperbaiki citra keluarga Cendana dan menghilangkan jejak sejarah kelam terkait dengan pemerintahan Orde Baru sebelum Prabowo resmi dilantik sebagai Presiden.
Sebaliknya, selama lebih dari lima dekade, desakan masyarakat untuk mencabut TAP MPR No. XXV/MPR/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme masih belum mendapatkan respon positif.
TAP MPR tersebut masih digunakan sebagai alat represi negara terhadap para penyintas dan keluarga korban peristiwa 1965-1966. Kondisi ini menunjukkan ketidakadilan, di mana nama Soeharto dihapus dari TAP MPR yang menuntut pertanggungjawaban hukum, sementara TAP yang menjadi dasar pelanggaran hak-hak korban 1965-1966 tetap dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hukum dan keadilan, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 serta potensi pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden tersebut menjadi preseden yang berbahaya.
Hal ini berpotensi memberikan amnesti terselubung atas pelanggaran-pelanggaran berat yang pernah dilakukan oleh negara, serta menimbulkan dampak negatif terhadap penegakan hukum di masa depan. Upaya ini tidak hanya mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM, tetapi juga mengancam prinsip keadilan yang seharusnya menjadi landasan bagi pembangunan hukum di Indonesia.