Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menyoal PP Nomor 44 Tahun 2024 dan Kesejahteraan Hakim di Bawah MA
23 Oktober 2024 21:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 18 Oktober 2024, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024, yang menjadi Perubahan Ketiga atas PP No. 94 Tahun 2012 mengenai Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di bawah Mahkamah Agung (MA). Regulasi ini mengatur kenaikan tunjangan jabatan hakim sebesar 40 persen secara merata, yang dinilai sebagai sebuah terobosan setelah 12 tahun hak-hak keuangan hakim tidak mengalami perubahan signifikan. Namun, meskipun kenaikan tersebut membawa angin segar, masih terdapat berbagai permasalahan yang belum terselesaikan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hukum, kebijakan ini memang patut diapresiasi karena menunjukkan respons pemerintah terhadap salah satu tuntutan dari Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), yang telah lama memperjuangkan peningkatan kesejahteraan para hakim. Akan tetapi, PP 44/2024 hanya mengatur satu komponen dari sepuluh hak keuangan hakim, yaitu tunjangan jabatan, sedangkan sembilan komponen lainnya seperti gaji pokok, fasilitas perumahan, transportasi, jaminan kesehatan, dan jaminan pensiun, belum diakomodasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut masih jauh dari ideal dalam mengatasi keseluruhan tuntutan kesejahteraan hakim.
Ketimpangan Kesejahteraan Hakim
Isu ketidakmerataan kesejahteraan masih menjadi sorotan utama. Kenaikan tunjangan jabatan sebesar 40 persen tidak serta merta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh hakim tingkat pertama, khususnya mereka yang bertugas di pengadilan kelas II di pelosok daerah. Para hakim di wilayah tersebut menghadapi tantangan yang lebih berat, baik dari segi geografis maupun sosial. Kebijakan ini masih belum cukup efektif dalam merespons kebutuhan para hakim yang berada di garis depan penegakan hukum di daerah terpencil. Idealnya, kenaikan tunjangan jabatan harus disertai dengan peningkatan fasilitas penunjang seperti perumahan, transportasi, serta jaminan keamanan yang memadai bagi para hakim di wilayah-wilayah sulit tersebut.
ADVERTISEMENT
Pemahaman Terhadap Putusan MA No. 23P/HUM/2018
Selain itu, pemerintah juga harusnya memahami secara lebih komprehensif Putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2018. Putusan ini menegaskan bahwa gaji pokok dan pensiun hakim harus dipisahkan dari Aparatur Sipil Negara (ASN), dan seharusnya memiliki nominal yang lebih tinggi. Namun, penerbitan PP 44/2024 tampaknya hanya berfokus pada aspek pemisahan pengaturan, tanpa memperhatikan penetapan nominal gaji yang sesuai dengan tanggung jawab besar yang diemban oleh para hakim.
Dalam perspektif hukum, Putusan MA tersebut seharusnya menjadi dasar pertimbangan utama dalam penyusunan regulasi terkait hak keuangan hakim. Pemerintah wajib memastikan bahwa kebijakan yang dibuat sesuai dengan substansi putusan tersebut, bukan hanya sekedar memenuhi formalitas pemisahan. Kesejahteraan hakim yang sebanding dengan tanggung jawab profesi mereka adalah kunci dalam menjaga independensi dan integritas lembaga peradilan.
ADVERTISEMENT
Proses Penyusunan yang Tidak Transparan
Kritik lain yang perlu disoroti adalah minimnya partisipasi para hakim dalam proses penyusunan PP 44/2024. Solidaritas Hakim Indonesia menilai bahwa pemerintah bersikap tertutup selama penyusunan perubahan ini, sehingga regulasi yang dihasilkan tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kebijakan tersebut dibuat tanpa mempertimbangkan pengalaman dan masukan dari para hakim yang merasakan langsung dampak dari stagnasi hak-hak keuangan mereka selama 12 tahun terakhir.
Dalam konteks perumusan kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan profesi hakim, prinsip partisipasi sangat penting.
Partisipasi aktif dari para hakim dapat memberikan perspektif yang lebih mendalam mengenai kebutuhan dan tantangan yang dihadapi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di pengadilan kelas II yang berada di pelosok. Keterlibatan ini akan menghasilkan kebijakan yang lebih adil dan sesuai dengan realitas yang dihadapi oleh para hakim.
ADVERTISEMENT
Terakhir, terbitnya PP 44/2024 memang menjadi langkah awal yang patut diapresiasi dalam memperbaiki kesejahteraan hakim di bawah Mahkamah Agung.
Namun, kebijakan ini belum sepenuhnya menjawab tantangan kesejahteraan yang dihadapi oleh para hakim, terutama di tingkat pertama dan pengadilan kelas II di wilayah pelosok. Pemerintah perlu melanjutkan dialog dengan para hakim serta meninjau ulang komponen-komponen hak keuangan yang belum diatur, termasuk memastikan bahwa Putusan MA Nomor 23P/HUM/2018 diimplementasikan secara menyeluruh. Transparansi dalam proses penyusunan kebijakan juga sangat krusial agar regulasi yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan kondisi di lapangan, sehingga dapat menjaga independensi serta integritas lembaga peradilan di Indonesia.