Konten dari Pengguna

Perlindungan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat dalam Negara Demokrasi

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Awardee Beasiswa Unggulan 2024
3 Agustus 2023 11:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Ketika kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi sorotan dalam konteks hukum di Indonesia, terutama terkait dengan kritik terhadap pejabat negara dan lembaga negara, perlu adanya kesadaran akan pentingnya mempertahankan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dalam negara demokratis.
ADVERTISEMENT
Kontroversi yang melibatkan Rocky Gerung dan laporan terhadapnya menyoroti pentingnya perlindungan hak-hak tersebut dalam sebuah masyarakat yang berlandaskan pada demokrasi.
Indonesia sebagai negara demokratis mengakui kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai salah satu hak fundamental yang dijamin dalam Konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Prinsip ini merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang diakui secara universal dan menjadi landasan bagi sebuah masyarakat yang inklusif dan maju.
Penting untuk mencermati perbedaan antara kritik terhadap pejabat negara dan ujaran kebencian yang menyerang kelompok tertentu berdasarkan SARA.
Kebebasan berekspresi harus melampaui batas yang dapat merugikan orang lain, memicu permusuhan, atau mendiskriminasi kelompok-kelompok tertentu.
Oleh karena itu, upaya untuk memberantas ujaran kebencian yang berpotensi menyebabkan konflik dan ketidakadilan harus diapresiasi.
ADVERTISEMENT
Namun, di saat yang sama, keberadaan Pasal 28 ayat (2) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat ini menimbulkan kekhawatiran terkait penyalahgunaan dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
Pasal tersebut sering digunakan untuk melindungi individu, termasuk pejabat negara, dari kritik dan pandangan berbeda yang diungkapkan oleh masyarakat. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang diakui dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
ICCPR mengakui bahwa kebebasan berekspresi meliputi hak untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui segala jenis media.
Kebebasan ini hanya dapat dibatasi jika dibutuhkan untuk melindungi hak dan reputasi orang lain, untuk menjaga keamanan nasional, atau untuk melindungi kesehatan dan moral publik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pasal berita bohong dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang berita bohong juga menjadi permasalahan dalam implementasinya. Perbedaan antara hoaks, misinformasi, dan disinformasi seringkali tidak dipahami secara jelas, sehingga penggunaan pasal ini dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakadilan. Dalam era informasi digital yang cepat dan kompleks, perlu adanya pengaturan yang jelas dan bijaksana terkait dengan regulasi berita bohong.
Untuk menghadapi tantangan ini, Komisi I DPR bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah harus sesegera mungkin melakukan revisi atas pasal-pasal terkait ujaran kebencian dalam UU ITE. Pencabutan Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan langkah penting untuk menghindari penyalahgunaan dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
Selain itu, pencabutan pasal berita bohong dalam DIM revisi kedua UU ITE adalah langkah yang tepat untuk menghindari duplikasi pasal pemidanaan yang sama dalam dua peraturan perundang-undangan yang berbeda. Perlu ada upaya yang lebih cermat dalam mengatur dan mengimplementasikan regulasi terkait berita bohong sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan dan membatasi kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga legislatif, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dipisahkan dari demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik.
Masyarakat harus sadar akan pentingnya mendukung kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai landasan bagi perkembangan masyarakat yang terbuka, inklusif, dan maju. Kritik terhadap pejabat negara dan lembaga negara merupakan bagian dari mekanisme kontrol dalam demokrasi yang sehat, sehingga tidak boleh dilarang atau dipidana.
Namun, di sisi lain, masyarakat juga harus bijaksana dan bertanggung jawab dalam menggunakan kebebasan berekspresi tersebut. Kebebasan berekspresi tidak berarti dapat mengungkapkan ujaran kebencian, menyebarkan berita bohong, atau melanggar hak dan martabat orang lain. Kebebasan berekspresi harus tetap diiringi oleh rasa tanggung jawab dan menghormati hak dan kebebasan orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah negara demokratis, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat harus menjadi prioritas, karena hal ini merupakan salah satu pijakan penting bagi pembangunan masyarakat yang adil, inklusif, dan bermartabat. Dalam konteks Indonesia, seluruh pihak harus berkomitmen untuk menerapkan prinsip HAM dan mendukung keberlanjutan demokrasi yang bermartabat.
Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat juga harus diiringi dengan pembangunan kesadaran masyarakat tentang pentingnya bertanggung jawab dalam menggunakan kebebasan tersebut. Edukasi dan peningkatan literasi media harus menjadi bagian dari upaya membangun masyarakat yang kritis dan cerdas dalam menyikapi informasi dan pandangan yang tersebar di ruang publik.
Dalam era digital yang semakin maju, media sosial dan platform daring telah menjadi sarana penting dalam menyampaikan pandangan dan informasi. Namun, di saat yang sama, lingkungan digital juga menjadi tempat di mana disinformasi dan berita palsu dapat dengan mudah menyebar. Oleh karena itu, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi juga harus disertai dengan upaya memerangi disinformasi dan hoaks.
ADVERTISEMENT
Pemerintah, lembaga media, dan masyarakat sipil harus berkolaborasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan disinformasi. Penyuluhan tentang cara memverifikasi informasi, mengenali berita palsu, dan menggunakan media sosial secara bijaksana harus diberikan kepada masyarakat secara luas. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mampu menyaring informasi dan mengambil keputusan yang cerdas dan berdasarkan data yang valid.