Konten dari Pengguna

Masa Depan Diplomasi: Efektif kah Emosi Manusia Lawan Analisis Presisi AI?

Qonitah Rohmadiena
Qonitah adalah seorang Dosen di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Slamet Riyadi Surakarta
17 Maret 2025 15:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Qonitah Rohmadiena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertemuan Menteri Luar Negeri RI Sugiono dengan Menteri Luar Negeri Timor Leste Bendito dos Santos Freitas di Jakarta, Senin (3/3/2025). Ilustrasi diplomat saat melakukan diplomasi. Sumber: YouTube MoFA Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan Menteri Luar Negeri RI Sugiono dengan Menteri Luar Negeri Timor Leste Bendito dos Santos Freitas di Jakarta, Senin (3/3/2025). Ilustrasi diplomat saat melakukan diplomasi. Sumber: YouTube MoFA Indonesia
ADVERTISEMENT
Terdapat sebuah penjelasan menarik yang disampaikan oleh Duta Besar Prancis untuk NATO, David Cvach mengenai potensi betapa besarnya pengaruh Artificial Intelligence (AI) terhadap diplomasi antar negara. David menyampaikan bagaimana AI dapat dengan sempurna menggantikan peran diplomat untuk melakukan negosiasi dan menyusun strategi dalam sebuah perundingan karena AI memiliki kemampuan yang sempurna dalam memberikan analisis yang akurat untuk memberikan hasil terbaik untuk negara, tanpa terpengaruh emosi, seperti manusia. Dalam penjelasannya, David menjelaskan bahwa diplomat yang baik memang dituntut untuk bisa berpikir layaknya robot, tenang dan tak terpengaruh oleh emosi.
ADVERTISEMENT
David yang saat itu memberikan speech dalam acara TEDxStockholm, ia mencontohkan peran Cardinal De Richelieu yang merupakan menteri Raja Louis XIII pada era perang 30 tahun di Eropa (1618-1648). Demi menjaga kekuasaan Prancis, Cardinal De Richelieu rela mengalahkan kepentingan religius yang ia miliki untuk menjalin aliansi dengan umat protestan di Swedia demi menyaingi rivalnya yakni Dinasti Habsburg dari Australia yang merupakan umat katolik. Penting untuk diketahui bahwa era perang 30 tahun di Eropa awalnya dipicu oleh perang agama antara katolik dan protestan, sebelum akhirnya menjadi perang perebutan kekuasaan. Studi kasus tersebut menjadi bukti kuat pernyataan David tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang diplomat, bagaimana Cardinal De Richelieu mengambil keputusan yang tepat untuk menjaga kepentingan Prancis, tanpa terpengaruh emosi dirinya yang juga berstatus sebagai umat katolik.
ADVERTISEMENT
Uniknya, penjelasan David yang begitu visioner tersebut, ia sampaikan pada tahun 2018 silam. Seperti yang kita ketahui, masyarakat luas baru ramai mengenal kehebatan AI melalui aplikasi ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI. ChatGPT yang mulai populer pada akhir tahun 2022, banyak dimanfaatkan oleh penggunananya untuk sekadar menanyakan hal-hal remeh seperti tips diet, hingga instruksi yang sangat sulit seperti melakukan coding, atau merumuskan rencana pengembangan bisnis. Semua orang bisa menggunakan ChatGPT cukup dengan memasukkan instruksi dalam bentuk tulisan. Apabila kita kaitkan dengan prediksi dari David Cvach, maka saat ini bisa dibilang bahwa semua orang bisa menjadi diplomat, kita semua bisa menyusun taktik negosiasi dan strategi diplomasi cukup dengan memanfaatkan AI, tanpa perlu menempuh studi hingga jenjang tertinggi, menjalani internship di sebuah kedutaan untuk mengumpulkan pengalaman, atau serius mempelajari the art of diplomacy. Tetapi apakah untuk menjadi seorang diplomat cukup dengan upaya sesederhana itu?
ADVERTISEMENT
Mampukah AI Gantikan Peran Diplomat?
Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomo 3 Tahun 2016 Tentang Kode Etik Diplomat menjelaskan bahwa ’Diplomat adalah pejabat dinas luar negeri yang mengemban dan melaksanakan tugas dan kegiatan diplomatik dan konsuler untuk memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan Pemerintah Republik Indonesia.’
Secara keseluruhan, ada enam tugas utama yang diemban oleh diplomat, yakni mewakili, melindungi , merundingkan, mempromosikan, melaporkan, dan mengatur semua hal yang berkaitan dengan kepentingan negara atau national interest.
Sebuah kedutaan besar di suatu negara, umumnya memiliki bagian politik dan bagian ekonomi, para diplomat yang ada di dua bagian tersebut memiliki tugas untuk menganalisis situasi dan kondisi politik serta ekonomi di negara tempat mereka ditempatkan, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia, langkah terbaik apa yang bisa diambil untuk memastikan kepentingan negara Indonesia tetap terjaga. Tugas-tugas tersebut bukan tidak mungkin bisa digantikan oleh AI yang memiliki kapabilitas untuk bisa memformulasikan strategi investasi dan policy brief begitu cepat hanya dengan meng-input data di lapangan serta instruksi sederhana. Apakah sudah tidak perlu lagi kemampuan critical thinking yang dimiliki oleh para diplomat dalam menjalin diplomasi dengan negara lain? Apakah ke depannya sudah tidak diperlukan lagi diplomat yang andal dalam menjaga diplomasi antar negara? Apakah cukup dengan merekrut seorang expert di bidang AI yang terampil dalam memainkan prompt untuk menginstruksikan AI?
ADVERTISEMENT
Memainkan Emosi dalam Berdiplomasi
Melihat beberapa kasus yang pernah terjadi, emosi justru memiliki peran yang vital dalam diplomasi. Satu dari beberapa kasus tersebut adalah hubungan Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Pew Research Center di tahun 2009, AS memiliki citra yang begitu negatif di mata Indonesia ketika masih dipimpin oleh George W. Bush. Citra buruk AS ini mulai mengalami pemulihan menjadi positif ketika Barrack Obama dilantik sebagai Presiden AS. Masa kecil Obama yang sempat tumbuh besar di Jakarta membuat masyarakat Indonesia merasa memiliki kedekatan emosional dengan Obama yang dianggap dapat membuat hubungan Indonesia-AS menjadi lebih baik dibanding sebelumnya. Obama juga bisa kita lihat beberapa kali melakukan gimmick-gimmick tertentu untuk memenangkan hati masyarakat Indonesia, seperti saat Obama menggunakan bahasa Indonesia untuk menceritakan masa kecilnya di Menteng, Jakarta, lalu menyebutkan beberapa makanan khas Nusantara seperti bakso dan sate. Atau ketika Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menangis saat membacakan puisi untuk Palestina dalam aksi damai bela Palestina di Monas pada tahun 2023 silam. Kesedihan Retno Marsudi saat itu sedikit banyak pasti berpengaruh dalam meningkatkan empati dan soliditas masyarakat Indonesia untuk terus bersemangat dalam mendukung Palestina.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari beberapa kasus di atas, emosi tak dapat dipungkiri masih berperan penting dalam seni berdiplomasi. Ketika menyusun tulisan ini, saya sempat mengajukan sebuah pertanyaan kepada ChatGPT yang berbunyi sebagai berikut ’As an AI, what’s your thoughts on what makes a human a human?’. ChatGPT pun menjawab bahwa hal nomor satu yang membuat manusia menjadi manusia seutuhnya adalah memiliki emosi. Melihat beberapa studi kasus di atas mengenai pentingnya emosi dalam berdiplomasi, sepertinya masih butuh waktu yang lama untuk AI menggantikan peran diplomat. Berikut jawaban lengkap yang diberikan oleh ChatGPT ’That’s a deep question! From my perspective, what makes a human human isn’t just biology—it’s the unique combination of emotions, consciousness, creativity, relationships, and moral reasoning’.
ADVERTISEMENT
David Cvach sendiri berpendapat bahwa diplomat justru harus bisa memanfaatkan AI dengan maksimal untuk membantu kerja-kerja diplomasi yang dilakukan. AI sendiri juga sampai saat ini belum sepenuhnya sempurna, karena masih ada potensi analisis yang diberikan oleh AI memiliki bias ke arah tertentu, atau AI tidak sensitif dalam melihat suatu permasalahan dari perspektif sosial budaya, sebuah kemampuan yang hanya bisa dimiliki oleh manusia yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya.
Referensi:
Pew Research Center. (23 Juli 2009). Confidence in Obama lifts U.S. image around the world. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/global/2009/07/23/confidence-in-obama-lifts-us-image-around-the-world/
YouTube Video:
CNN. (10 Maret 2024). Ukraine’s counteroffensive: What went wrong? [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=aPNpBRsL-Ck
DW News. (5 Februari 2024). Why Ukraine’s counteroffensive failed: Analysis from military experts [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=9ycm9EBH9QM
ADVERTISEMENT
Al Jazeera English. (20 Desember 2023). Inside Gaza: The humanitarian crisis unfolds [Video]. YouTube. https://youtu.be/C8o4yjOZ8y0?si=JXKKIQwR9Nuv0ANJ