Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Dari Tanah ke Pangan: Dampak PSN terhadap Hak Masyarakat Adat di Merauke
9 Desember 2024 13:21 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Queen Aisyah Nabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Food estate telah ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 yang ditetapkan dalam dalam PP nomor 109/2020 dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan secara terintegrasi. Program ini akan dilaksanakan diberbagai daerah yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Salah satunya yaitu di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Pada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diterbitkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto pada bulan November tahun 2023 yang menyatakan Kabupaten Merauke di Provinsi Papua Selatan menjadi salah satu wilayah yang dijadikan untuk meralisasikan Proyek Strategis Nasional (PSN) yaitu Food estate.
ADVERTISEMENT
Untuk menjalankan program food estate tersebut, banyak hutan yang ada di kabupaten Merauke tersebut dialihfungsikan mejadi lahan pertanian. Sekitar satu juta hektare hutan di Kabupaten Merauke yang dialihfungsikan menjadi lahan cetak sawah guna mendukung program nasional serta dua juta hektare lahan yang dialihfungsikan sebagai proyek pengembangan tebu dan bioetanol. Mirisnya, lahan tersebut mengalihfungsikan hutan yang masih digunakan oleh Masyarakat adat yaitu masyarakat adat suku Malind, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei. Bagi masyarakat adat suku Malind, hutan bukan sekadar wilayah yang dipenuhi pepohonan, tetapi merupakan jantung kehidupan mereka. Wilayah yang begitu luas ini memiliki peran krusial bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat, mencakup lebih dari 200.000 hektare yang menjadi sumber daya vital sekaligus habitat utama bagi komunitas tersebut. Hutan menyediakan sumber pangan, bahan bangunan, dan obat-obatan alami yang mendukung kebutuhan sehari-hari. Kehidupan mereka yang sudah ada dari generasi ke generasi sepenuhnya bergantung pada keberadaan hutan, menjadikannya lebih dari sekadar lingkungan fisik, melainkan warisan yang harus dijaga demi keberlanjutan generasi mendatang. Namun kini, tampaknya Pemerintah sedang merampas kehidupan mereka. Hal itu karena Pemerintah menjadikan hutan tersebut dialihfungsikan menjadi tempat Proyek Stategis Nasional (PSN) yaitu Food estate tanpa adanya sosialiasi dan mempertimbangkan nasib masyarakat adat. Penggunaaan tanah menjadi food estate ini sama sekali tidak ada persetujuan dari pemilik ulayat. Akibatnya, muncul berbagai konflik terkait hak kepemilikan dan pengelolaan tanah yang telah menjadi bagian penting dari identitas dan kehidupan masyarakat adat tersebut
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya sosialisasi dan persetujuan dari masyarakat adat maka berarti Pemerintah sudah melanggar peraturan perundang-udangan yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Karean sudah sangat jelas di dalam Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pasal tersebut menjelaskan bahwasannya harus adanya musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalan. Dengan adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang tersebut, berarti pemerintah dengan sengaja telah mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat, yang semestinya diterapkan dengan prinsip pengelolaan tanah yang adil. Bukan hanya itu, Pemerintah juga melanggar peraturan perundang-undangan yaitu mengenai kepemilikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwasannya saat proyek berjalan, Kementerian Pertahanan sedang menyusun dokumen amdal. Dari pernyataan tersebut secara tidak langsung saat dimulainya Program Food Estate di Merauke ini, Pemerintah tidak memi
ADVERTISEMENT
Dari pernyataan tersebut secara tidak langsung saat dimulainya Program Food Estate di Merauke ini, Pemerintah tidak memiliki AMDAL yang semestinya setiap kegiatan yang berada di dalam atau berbatasan dengan kawasan hutan lindung diwajibkan untuk memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum aktivitas tersebut dimulai, seperti berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Dari berbagai pelanggaran yang sudah dilakukan, menimbulkan banyak sekali pertanyaan. Karena bagaimana bisa sebuah Proyek Nasional yang digadang-gandang sebagai lumbung pangan nasional atas nama ekonomi namun malah melanggar berbagai peraturan hingga mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat. Dari proyek tersebut msyarakat adat yang harus merasakan dari akibat kerusakan lingkungan yang parah akibat kegiatan alihfungsi lahan. Kawasan PSN memiliki sekitar 500.000 hektare sabana yang menyimpan berbagai spesies endemic, namun kini telah dirusak oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dari awal ditetapkan sebagai wilayah Proyek Strategi Nasional (PSN) Masyarakat adat tidak pernah tinggal diam. Pemilik hak ulayat dari Suku Malind, Maklew dan Kimahima yang berasal dari wilayah cetak sawah khusus di Ilwayab telah menyatakan penolakan mereka sudah dari April 2024. Penolakan itu ajukan keberbagai pihak, mulai dari bupati dan dinas terkait, DPRD, pejabat Gubernur sampai Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Selatan. Penolakan ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat adat terhadap proyek tersebut, yang dianggap tidak memperhatikan hak-hak mereka sebagai pemilik lahan asli. Masyarakat adat merasa bahwa keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan seharusnya menjadi prioritas, terutama karena tanah ulayat tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga nilai budaya dan spiritual yang sangat penting. Namun sepertinya, penolakan dari Masyarakat adat tersebut hanya dianggap seperti omong kosong belaka, karena hingga saat ini proyek food estate di tanah Masyarakat adat masih terus dilakukan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan, salah satunya menurut direktur eksekutif daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua menyatakan Program Strategis Nasional (PSN) ini sesungguhnya merampas sumber hidup rakyat Papua terutama masyarakat adat Marind di Merauke Papua Selatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hilangnya akses terhadap tanah tersebut dapat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang sangat bergantung pada tanah sebagai sumber penghidupan dan budaya mereka. Dengan tetap diteruskannya Proyek Strategis Nasional (PSN) yaitu Food estate ini, maka masyarkat adat yang bertani dan melanjutkan hidupnya di hutan akan kehilangan hak -haknya. Masyarakat adat akan kalah jika pemerintah tetap bersikap egois dan tidak mempedulikan nasib Masyarakat adat. Karena Masyarakat adat yang sudah tingal secara turun menurun di hutan dan tidak mempunyai sertifikat tanah akan terus kalah. Padahal dalan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan dalam Pasal 67 bahwa Masyarakat adat seharusnya tetap diakui haknya selama masih melakukan pemungutan hasil untuk kehidupan.
ADVERTISEMENT
Program Food Estate yang dijalankan oleh pemerintah di Kabupaten Merauke telah memunculkan berbagai tantangan, khususnya terkait dengan konflik antara pemerintah dan masyarakat adat yang mengklaim hak ulayat atas tanah yang digunakan untuk proyek tersebut. Masyarakat adat, terutama Suku Malind, telah menolak pengalihan fungsi lahan mereka menjadi lahan pertanian tanpa adanya konsultasi atau persetujuan dari mereka sebagai pemilik sah tanah tersebut. Selain merampas hak atas tanah adat, proyek ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup masyarakat adat yang sangat bergantung pada tanah tersebut sebagai sumber pangan, tempat tinggal, dan identitas budaya mereka. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan keterlibatan masyarakat adat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek tersebut, dengan mengundang mereka untuk berdiskusi dan berpartisipasi secara aktif dalam setiap keputusan yang diambil dengan cara kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
Kasus ini juga menunjukkan bahwa masih kurangnya perlindungan hukum bagi masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka atas tanah. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat yang dapat memberikan jaminan hukum yang lebih jelas dan kuat bagi mereka. Undang-Undang tersebut seharusnya tidak hanya menjadi formalitas belaka, tetapi harus betul-betul memprioritaskan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang berhak diperlakukan secara adil. Hukum yang mengatur hak atas tanah dan sumber daya alam harus disusun dengan pendekatan yang lebih inklusif, menghargai kearifan lokal, dan mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, bukan hanya berdasarkan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena pada dasarnya, masalah yang terjadi saatini bukan hanya menjadi persoalan bagi masyarakat adat yang berada di Merauke semata, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Kita perlu bersama-sama memastikan bahwa aspirasi masyarakat adat didengar dan dihormati dalam setiap diskusi terkait hak-hak serta pengelolaan sumber daya mereka. Dengan cara ini, tidak ada lagi masyarakat adat yang terabaikan, dan keadilan bagi mereka dapat diwujudkan dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT