Konten dari Pengguna

Joint Statement RI-China: Apakah Lampu Hijau RI Terhadap Laut China Selatan?

Queen Aisyah Nabila
Mahasiswa Hukum di Universitas Jambi
17 November 2024 13:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Queen Aisyah Nabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 9 November 2024, Presiden Indonesia yaitu Prabowo Subianto mengumumkan Joint Statement bersama dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing. Joint Statement merupakan suatu perjanjian bersama berisi 14 poin yang membahas mengenai berbagai aspek dan isu di dunia. Terdapat salah satu poin yang memicu perdebatan dari berbagai pihak terkhusus pada ahli hukum laut internasional yaitu pada poin ke sembilan.
ADVERTISEMENT
Pada point ke sembilan ini menyatakan
Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping di Beijing. Foto: FLORENCE LO/POOL/AFP
Isi dari poin ini membicarakan mengenai klaim tumpang tindih kemaritiman. Hal ini memberikan tanda tanya besar dari berbagai pihak mengenai apa maksud dari tumpang tindih kemaritiman dalam Joint Statement tersebut. Apakah tumpang tindih kemaritiman ini dimaksudkan pada antara Laut China Selatan yang selalu digaungkan oleh Negara China dengan Zona Ekonomi Ekslusif di Laut Natuna Utara? Jika memang itu yang dimaksud, maka Joint Statement ini merupakan langkah mundur Indonesia pada Laut China Selatan dan telah melanggar berbagai peraturan mengenai maritim, salah satunya yaitu dalam Hukum Laut Internasional 1982 yang seharusnya dihormati mengenai laut internasional. Karena Laut China Selatan yang selalu di klaim oleh Negara China ini hanya sepihak berdasarkan histori yang mereka yakini dan tidak ada sama sekali dasar hukum yang valid, karena jika dilihat secara jarakpun China memiliki jarak yang sangat jauh, lebih dari 200 mil menuju Laut China Selatan tersebut. Terlebih di dalam Hukum Laut Internasional 1982 atau disebut dengan UNCLOS 1982 tidak pernah mengakui adanya klaim berdasarkan histori. Hukum Laut Internasional 1982 hanya mengakui beberapa batas laut suatu negara seperti Zona Teritorial , Zona Tambahan, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
ADVERTISEMENT
Dari dulu hingga berakhirnya masa jabatan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, Indonesia tidak pernah sekalipun mengakui mengenai klaim Laut China Selatan. Retno Marsudi saat masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri juga pernah mengatakan bahwa klaim Laut China Selatan dari China ini tidak berlandaskan pada UNCLOS 1982. Bahkan sebagai tanda penolakan dari klaim Laut China Selatan ini, pada tahun 2017 Indonesia menjadikan nama Laut Natuna Utara sebagai pergantian nama Laut China Selatan yang disaksikan oleh Wakil Presiden Indonesia Boediono.
Poin sembilan dalam Joint Statement ini pun menimbulkan pertanyaan dari berbagai negara di dunia terutama negara-negara di Asia Tenggara. Seperti yang diketahui bahwa Negara China hingga saat ini masih memiliki konflik dengan negara Asia Tenggara atas klaimnya terhadap Laut China Selatan karena berdampak akan kehilangannya laut dari negara ASEAN. Seperti yang terjadi dengan Filipina yang saat ini masih selisih tegang dengan negara China terlebih setelah Presiden Filipina menandatangani Undang-Undang Zona Maritim Filipina. Filipina juga pernah mangajukan keberatan terhadap China mengenai Laut Cina Selatan ke Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan pada tanggal 12 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase juga telah memutuskan bahwa Laut China Selatan yang diklaim oleh China ini tidak memiliki dasar hukum apapun serta China dianggap telah melanggar hak kedaulatan Filipina serta merusak lingkungan di Laut China Selatan melalui pembangunan pulau-pulau buatan. Namun China hanya mengabaikan begitu saja putusan dari Mahmakah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tetap terus meyakini klaim Nine-Dash Line mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, harus segera ada penjelasan resmi secara langsung yang menjelaskan maksud dari tumpang tindih kemaritiman (overlapping) ini. Walaupun Menteri Luar Negeri sudah memberikan pernyataan bahwa Joint Statement ini tidak berarti bahwa mengakui China atas Laut China Selatan, tapi harus ada langkah nyata yang diberikan oleh Negara Indonesia sebagai penolakan terlebih setelah adanya poin ke sembilan dalam Joint Statement tersebut. Penempatan frasa overlapping ini seperti Indonesia mengamini klaim Nine-Dash Line dan memberikan “kesempatan” kepada China untuk terus mendorong klaim Laut China Selatan itu pada dunia. Frasa tersebut yang akan membuat China merasa berhasil mempengaruhi Indonesia atas usahanya selama ini pengakuan Nine-Dash Line.
Jika terus tidak ada penjelasan mengenai overlapping claims ini, akan merusak citra Indonesia di mata negara-negara ASEAN, dan juga akan berdampak pada kepercayaan negara ASEAN terhadap Indonesia. Karena hingga saat ini Indonesia merupakan negara berpengaruh di ASEAN, jika ini dibiarkan akan menyebabkan konflik dan Indonesia juga mungkin akan dianggap sebagai penghiatan perjuangan negara – negara ASEAN dalam menghadapi klaim sepihak China atas Laut China Selatan, dan jangan sampai Joint Statement ini memperkeruh hubungan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya. Selain itu, perlu dipertanyakan lagi pada pihak-pihak yang ikut andil dalam membuat Joint Statement ini. Apa yang menjadikan pertimbangan para pejabat tersebut sehingga bisa memasukkan “overlapping claims” ini mengingat adanya dampak yang luar biasa dari pengakuan klaim Nine Dash Line. Kehati-hatian dalam merumuskan pernyataan diplomatik seperti Joint Statement ini sangat diperlukan agar tidak menimbulkan dampak negatif, baik secara hukum internasional maupun hubungan antarnegara.
ADVERTISEMENT