Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Trauma Membekas, Emosi Tertekan: Mengapa Kita Sulit Pulih?
1 Desember 2024 16:37 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Queentara Venggica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bayangkan hati kita seperti sebuah rumah. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, rumah itu bisa rusak, entah retakan kecil atau bahkan runtuh total. Kerusakan ini adalah gambaran dari trauma. Kita semua pasti pernah merasa dunia berubah setelah mengalami peristiwa besar, seperti perasaan terancam, kehilangan orang yang berarti, atau kecelakaan. Atau mungkin kamu merasa kesulitan mengontrol amarah? Emosi yang kuat dan berkepanjangan ini sering kali menjadi tanda adanya trauma dalam diri kita.
ADVERTISEMENT
Istilah "trauma" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "luka serius." Dalam pandangan psikologis, trauma merupakan kondisi yang dialami seseorang ketika kenangan dan emosi dari suatu peristiwa tertentu muncul kembali. Jadi, bisa dibilang trauma adalah luka batin yang bisa membuat seseorang merasa negatif dan memengaruhi berbagai aspek dalam hidup mereka.
Ketika seseorang mengalami trauma, perasaan tersebut bisa terus menghantui dan mengganggu keseharian mereka. Dalam psikologi, trauma mengacu pada reaksi dari rasa cemas yang muncul tiba-tiba dan intens yang terjadi di lingkungan seseorang dan melewati batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi, atau menghindarinya.
Setelah mengalami trauma, seseorang sering kali merasa terjebak dalam kenangan menyakitkan dan kesulitan untuk melanjutkan hidup dengan damai.
Trauma, Emosi/Afek, dan Stress, apa kaitannya?
ADVERTISEMENT
Sebelum memahami trauma, penting untuk mengenali konsep emosi dan afek. William Kames (dalam Wegde, 1995) berpendapat bahwa, emosi adalah kecenderungan seseorang untuk merasakan jenis perasaan tertentu ketika berinteraksi dengan objek atau situasi tertentu di sekitarnya, seperti kebahagiaan setelah pencapaian atau kesedihan karena kehilangan. Emosi sering kompleks dan melibatkan campuran perasaan. Sementara itu, afek mencakup respons emosional cepat dan spontan, seperti terkejut atau panik.
Trauma dapat memperburuk kedua aspek ini. Setelah mengalami trauma, seseorang bisa merasa lebih emosional dan sulit untuk mengendalikan perasaan. Reaksi spontan (afek) menjadi lebih sensitif, sehingga respons seperti cemas atau panik bisa berlebihan. Individu dengan riwayat trauma cenderung merasakan emosi-emosi negatif, terutama ketika dihadapkan dengan situasi yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatis. Mereka seringkali mengalami perubahan emosi secara tiba-tiba dan sulit dikendalikan, menciptakan apa yang sering disebut sebagai "badai emosi".
ADVERTISEMENT
Trauma dan Stress Emosional sering berjalan beriringan, stress emosional muncul ketika perasaan atau situasi tertentu membuat kita merasa kewalahan. Trauma memiliki dampak buruk pada stabilitas mental serta emosional penderitanya dan dapat disebabkan oleh peristiwa negatif yang muncul secara terus-menerus.
Misalnya, seseorang yang pernah mengalami kekerasan bisa merasa cemas atau terancam setiap kali mendengar suara keras, karena kenangan traumatis yang mengganggu. Stres emosional ini bisa berlangsung lama dan mengganggu keseimbangan mental kita.
Pengaruh Trauma dengan Kinerja Otak
Pada nyatanya trauma yang merusak mental seseroang tidak hanya akan mempengaruhi respon emosional dalam diri seseorang, tetapi juga bagaiaman cara otak kita bekerja lho.
Trauma bisa membuat proses kerja otak kita berbeda, terutama di tiga bagian penting: amygdala, prefrontal cortex, dan hippocampus. Amygdala, yang bertugas mengatur emosi seperti takut dan cemas, jadi super aktif saat kita mengalami trauma. Ini bikin kita lebih waspada dan cepat bereaksi, sering dengan mode “fight or flight.” Tetapi, jika terlalu aktif, kita bisa jadi kesulitan mengontrol emosi. Prefrontal cortex, yang biasa bantu kita berpikir rasional dan mengambil keputusan, bisa terganggu jika kita sedang stres berat, hal itu bikin kita lebih impulsif. Sementara itu, hippocampus, yang mengatur ingatan, bisa kacau dan bikin memori jadi kabur atau susah diingat jelas. Makanya, trauma gak cuma mengubah perasaan, tapi juga cara kita berpikir dan mengingat sesuatu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana otak bisa pulih dari trauma?
Ternyata, trauma memengaruhi berbagai bagian otak yang penting untuk mengatur emosi dan respons kita. Trauma dapat mengganggu sistem kerja otak serta memengaruhi cara kita melihat berbagai aspek kehidupan di dunia..
Penting bagi kita untuk tidak meremehkan trauma atau dampaknya. Jika dibiarkan tanpa penanganan, trauma bisa memicu gangguan kesehatan mental serius, seperti kecemasan berlebih, depresi, atau bahkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pulih dari trauma dan stres emosional membutuhkan kombinasi strategi sederhana hingga intervensi profesional. Untuk memulihkan diri, mulailah dari langkah kecil, seperti menerapkan pola hidup sehat, mencari dukungan sosial, dan jika diperlukan, berkonsultasi dengan profesional. Olahraga dan tidur cukup merupakan langkah awal yang membantu otak memproduksi hormon bahagia dan memproses emosi dengan lebih baik. Meditasi dan pernapasan dalam juga cara yang efektif untuk menenangkan pikiran, sementara pola makan sehat mendukung fungsi.
ADVERTISEMENT
Dalam proses penyembuhan diri dari trauma, dukungan sosial juga merupakan faktor yang sangat penting. Hubungan sosial yang supportif dan rasa empati dari orang orang terdekat memainkan peran penting dalam proses pemulihan individu yang menderita trauma. Dukungan ini, membuat mereka merasa dipahami dan diterima yang nantinya akan mendorong peroses pemulihan serta meningkatkan kesejahteraan emosional. Namun, apabila gejala trauma sudah terasa mengganggu atau semakin parah, sangat disarankan untuk segera meminta bantuan profesional, seperti psikolog atau psikiater, agar tidak terlambat untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Menghadapi trauma dengan bijak adalah kunci untuk kembali menjalani hidup dengan lebih baik.
Referensi :
Maspupatun, I. (2017). Keefektifan play thrapy untuk penanganan stress pasca trauma bencana alam. Promoting Equity through Guidance and Counseling, 103.
ADVERTISEMENT
Nasruddin, I. (n.d.). Emosi dan Aspeknya. 1.
Peran Konselor Terhadap Klien Yang Mengalami Trauma Melalui Teknik Rational Emotif Behaviour Theraphy (REBT). (2019, 11 29). SCHOULID: Indonesian Journal of School Counseling, 3(Trauma), 63-67. DOI: http://dx.doi.org/10.23916/08403011
Sinambela, C. M. L. (n.d.). PSIKOLOGI TRAUMA MENYEMBUHKAN DIRI DARI PENGALAMAN TRAUMATIS. 2.
Siregar, L. M., Manao, M. L., Sianapir, N. M., & Nababan, D. (2022, Oktober). TRAUMA HEALING PADA ORANG DEWASA: OPTIMALISASI DAN STRATEGI. Jurnal Pendidikan Sosial dan Humaniora, 1(Trauma), 52-60. https://publisherqu.com/index.php/pediaqu/article/view/26/18