Patriarki, Buruh Perempuan, dan RUU PKS

Qurratul Hilma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
28 Mei 2023 11:33 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Qurratul Hilma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sistem budaya patriarki tertanam kuat di sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan telah mengakar di kalangan masyarakat. Budaya patriarki ini kedudukan laki-laki lebih didahulukan selangkah dari pada perempuan.
ADVERTISEMENT
Dan di dalam status sosialnya, perempuan berada di kelas kedua setelah laki-laki. Melihat hal itu tentu terjadi ketimpangan gender antara laki laki dan perempuan. Akibatnya dalam peranan masyarakat masih didominasi dan dikuasai laki-laki.
Perempuan sering dijadikan objek dan tak jarang mengalami kekerasan, pelecehan seksual, penganiayaan, intimidasi, pemerkosaan dan pembunuhan. Kewajaran ini dianggap dipahami oleh masyarakat sebagai wujud eskstensi laki-laki lebih kuat mendominasi.
Kasus kekerasan serta diskriminasi terhadap perempuan tidak bisa dianggap remeh saja. Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua lini. Faktanya, ruang privat yang dianggap sebagai ruang aman merupakan akar dari sebagian besar insiden kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan semakin sering terjadi di Indonesia. Jumlah kasus meningkat setiap tahun.
Kata Kunci di UU TPKS. Foto: kumparan
Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen dalam 12 tahun artinya kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir delapan kali lipat dalam 12 tahun. Selain jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat, bentuk kekerasan terhadap perempuan pun berbagai cara dengan cara yang berbeda dilakukan.
ADVERTISEMENT
Hal yang lebih memprihatinkan adalah seseorang yang harus menjadi pelindung malah justru menjadi pelaku. Selain itu, ruang tempat untuk bekerja, menuntut ilmu malah menjadi ruang untuk kekerasan seksual. Padahal, menciptakan ruang aman tanpa diskriminasi buruh perempuan merupakan salah satu hak setiap manusia.
Melihat hal itu tentu ini menjadi pr buat kita semua, bagaimana nantinya kita menyediakan lingkungan yang aman bagi buruh perempuan. Sejatinya, jaminan rasa aman merupakan hak konstitusional yang diatur dalam dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28 G ayat (1) yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai yang merupakan hak asasi.”
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Mengacu pada aturan hukum di atas, menunjukkan bahwa hukum positif Indonesia mengatur dan menjamin rasa aman bagi seluruh rakyat Negara Republik Indonesia tanpa terkecuali. Lalu mengapa masih terjadi kekerasan serta diskriminasi bagi buruh perempuan?
ADVERTISEMENT
Kita juga melihat dari peraturan perundang-undangan lainnya salah satunya yaitu Undang-undang Cipta Kerja Pasal 88 B, bahwasannya terdapat pengabaian perlindungan terhadap buruh perempuan yang mana terdapat pengaturan bahwa upah ditentukan oleh waktu dan/atau satuan hasil.
Melihat hal itu tentu sangat merugikan bagi buruh perempuan. Selain itu terkait dengan cuti haid dan hak cuti hamil-melahirkan hal itu diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Seharusnya hak menjalankan fungsi reproduksi perempuan ditegaskan dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Masih banyak celah yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk melanggar meskipun hal itu sudah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Melihat hal itu tentu ada peluang besar bagi pelaku atau perusahaan untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Melihat permasalahan di atas, perlu adanya regulasi yang lebih tepat dan lagi tegas agar buruh perempuan mendapatkan ruang yang aman dan juga mendapatkan haknya sebagai perempuan. Hal ini menjadi alasan mengapa urgennya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk disahkan.
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jaringan Muda Setara melakukan aksi dengan membawa poster saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
RUU PKS hadir untuk melindungi Hak Asasi Manusia merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi dalam demokrasi. RUU PKS menjadi salah satu wadah pemenuhan hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan.
Dalam hal ini RUU PKS bukan hanya semata perlindungan korban seksual saja bahkan RUU PKS erat kaitanya dengan Hak Asasi Manusia. Semua orang terlahir dalam keadaan merdeka dan mempunyai martabat serta hak haknya dalam kesetaraan perlakuan.
Dengan hadirnnya RUU PKS ini menjadi angin segar dari permasalahan ketidakamanan buruh perempuan. Selain itu, RUU PKS memperjelas bahwa negara ada untuk korban kekerasan seksual yang selama ini terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, sudah seharusnya pemerintah untuk mencabut pasal kontroversial dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan menerapkan upah yang layak untuk buruh perempuan, serta mengesahkan RUU PKS agar permasalahan yang masih berkelanjutan ini bisa teratasi dengan optimal.