Konten dari Pengguna

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Berbahaya?

Qusthan A H Firdaus
Dosen studi humaniora di Universitas Multimedia Nusantara
14 Agustus 2021 19:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Qusthan A H Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/photos/iqm36Y14P5U
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/photos/iqm36Y14P5U
ADVERTISEMENT
Salah satu klaim yang cukup menarik seputar Pancasila ialah potensinya untuk menjadi ideologi terbuka. Potensi ini ibarat pisau bermata ganda yang dapat bermanfaat sekaligus berbahaya.
ADVERTISEMENT
Sejauh mana klaim Pancasila sebagai ideologi terbuka mengimplikasikan bahaya bagi bangsa Indonesia? Jika memang berbahaya, maka apa solusinya?

Pancasila

Historisitas atau sejarah perkembangan Pancasila menunjukkan pada kita pro dan kontra seputar beberapa ideologi seperti komunisme dan kapitalisme.
Di satu sisi, pemerintahan Sukarno selama kurang-lebih 21 tahun (1945-1966) menunjukkan penerimaan (jika bukan dukungan) pada komunisme.
Bahkan, Sukarno sendiri memodifikasi pemikirannya seputar nasionalisme, agama, dan marxisme di era kolonialisme Belanda; menjadi nasionalisme, agama, dan komunisme. Kita tahu bahwa komunisme merupakan varian yang lebih spesifik atau tafsir Vladimir Lenin terhadap marxisme sehingga komunisme juga mendapat sebutan sebagai marxisme-leninisme.
Di sisi lain, pemerintahan Suharto selama kurang-lebih 32 tahun (1966-1998) justru menunjukkan sikap antipati dan represif bukan hanya pada komunisme sebagai ideologi tetapi juga pada orang yang bersimpati atau sekadar mempelajarinya sebagai wacana akademis atau karya sastra.
ADVERTISEMENT
Masih jelas dalam ingatan sebagian orang bagaimana misalnya jantung bergetar dan bulu merinding pada masa Orde Baru ketika membaca salah satu novel dari Pramoedya Ananta Toer yang mendapat stereotyping sebagai seorang komunis.
Kemudian, amandemen Undang-Undang Dasar sebanyak empat kali dalam rentang empat tahun (1999-2002) membuka pintu dan membuka ruang seluas-luasnya bagi kapitalisme melalui pasal 33 ayat 4 yang secara eufemistik menggunakan istilah “demokrasi ekonomi.”
Dengan demikian, Pancasila nampak sangat terbuka dan fleksibel terhadap pelbagai ideologi yang kontradiktif satu sama lain. Padahal, filsafat Pancasila berkaitan erat dengan pemikiran filsuf Yunani antik bernama Aristoteles sebagaimana klaim Profesor Notonagoro.
Notonagoro berupaya meyakinkan kita bahwa Pancasila dapat kita urai dengan pemikiran Aristoteles ihwal empat kausa (materialis, formalis, finalis, dan efisien).
ADVERTISEMENT
Namun, sebagian penafsir Notonagoro justru mengembangkan klaim tersebut secara arbitrer. Contohnya, mereka secara semena menggunakan kausa finalis Aristoteles untuk menjustifikasi bahwa Pancasila sudah final.
Padahal, UUD hasil amandemen keempat hanya menyatakan dalam pasal 37 ayat 5 bahwa hanya NKRI yang tak dapat berubah.
Apabila kita konsisten pada pemikiran Aristoteles dan menggunakannya untuk mengembangkan diskursus Pancasila; maka kita seharusnya tidak mengesampingkan prinsip non-kontradiksi dalam logika Aristoteles.
Namun, nilai di dalam Pancasila justru terkesan mengabaikan prinsip non-kontradiksi sebagaimana nilai persatuan berseberangan dengan nilai kerakyatan. Maksudnya, permusyawaratan perwakilan dalam sila keempat sangat rentan pada represi dengan dalih persatuan.
Hal ini nampak jelas dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Maklumat Presiden 23 Juli 2001 yang mana keduanya secara serampangan membubarkan parlemen atau DPR. Bedanya, dekrit Sukarno berhasil membubarkan DPR hasil pemilu 1955 sedangkan maklumat Abdurrahman Wahid tidak.
ADVERTISEMENT
Kedua presiden sama-sama menggunakan semangat (jika bukan argumentasi) persatuan untuk membatalkan proses musyawarah melalui perwakilan di parlemen.
Sebaliknya, nilai di dalam sila keempat dapat meminggirkan nilai persatuan sebagaimana yang nampak dalam pilpres 2014 dan 2019.
Bukan hanya bangsa Indonesia yang mengalami segregasi sosial sebagai akibat mendukung Joko atau Prabowo, tetapi sebagian pasangan suami-istri justru bercerai karena berbeda pilihan calon presiden.
Mereka yang bercerai sepertinya kecewa ketika pada akhirnya mengetahui bahwa Presiden Joko mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan pada paruh kedua kepemimpinannya.
Sementara saya belum mendengar atau mendapatkan informasi bahwa mereka yang pernah bercerai karena beda pilihan capres juga ikut rujuk kembali.

Terbuka

Pancasila sebagai ideologi terbuka sekilas terkesan positif karena seolah adaptif terhadap berbagai ideologi asing yang masuk ke Indonesia. Bahkan, bangsa ini bukan hanya adaptif terhadap ideologi politis tetapi juga agama yang datang dari Timur Tengah, Asia Barat dan Asia Timur.
ADVERTISEMENT
Namun, istilah ‘terbuka’ juga memberikan kesan negatif karena nampak “murahan” serta gampangan untuk menerima apa yang asing dan baru. Bahkan, istilah ‘Pancasila’ itu sendiri juga kita pinjam dari istilah yang sama yang terdapat di dalam Buddhisme meski Sukarno tidak mengakui hal ini dalam pidatonya pada 1 Juni 1945.
Keterbukaan Pancasila--atau lebih tepatnya keterbukaan rezim penguasa--terhadap berbagai ideologi asing dan baru juga menyisakan potensi negatif seperti pikiran ahistoris yang nampak pada generasi muda.
Sebagai dosen yang turut mengajar mata kuliah Pancasila di universitas, saya merasakan secara langsung bagaimana mahasiswa semester satu atau dua terpapar tafsir Pancasila yang beraroma Orde Baru, monolitik dan pada taraf tertentu ultra-nasionalistik dari guru di sekolah asal mereka.
ADVERTISEMENT
Salah satu akibatnya, saya harus membongkar terlebih dahulu alam pikiran Orde Baru yang menghuni pikiran mahasiswa seputar Pancasila. Hal ini tidak mudah karena mahasiswa sudah telanjur bosan dan antipati pada tafsir Pancasila secara monolitik ala Orde Baru.
Apa yang menarik bagi mahasiswa justru sisi historis dari perkembangan Pancasila mulai dari rapat-rapat BPUPK pada akhir Mei dan Juni 1945 hingga penetapan UUD pada 18 Agustus 1945.
Secara lebih spesifik, mahasiswa tertarik pada uraian kritis terhadap buku Risalah Sidang terbitan Sekretariat Negara; yang berpotensi bias karena hanya merujuk pada buku Yamin berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 jilid pertama tahun 1959.
Buku Yamin itu menyelipkan salinan naskah pidato Yamin yang ia sendiri tidak pernah menyampaikannya di dalam sidang BPUPK. Dalam naskah itu, Yamin terkesan mendahului Sukarno mengenai isi atau substansi Pancasila.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa juga tertarik pada ketikan stenografi buatan Ny. TB Simatupang dan Ny. Netty Karundaeng yang hingga tulisan ini saya buat masih belum dapat kita akses di Arsip Nasional. Bahkan, Dr Yudi Latif juga pernah mengaku (di dalam sebuah kuliah umum yang terdapat rekamannya di Youtube – mulai menit ke-31) tidak mampu mengaksesnya meski ia ketika itu menjabat sebagai Ketua BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
Ketikan stenografi ini kemungkinan besar tidak memuat naskah tertulis yang Yamin selipkan belakangan di dalam bukunya. Dugaan ini mendapat dukungan dari fakta bahwa Yamin tidak pernah mengembalikan ketikan stenografi yang ia pinjam dari salah satu kakak-beradik Pringgodigdo.
Justru menantu Yamin yang juga seorang putri Solo yang mengembalikan ketikan stenografi itu setelah mengetahui pemerintah Belanda mengembalikan salinan serupa setelah mereka merampasnya pada agresi militer ke Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Historisitas Pancasila yang keruh atau kusut seperti ini yang justru atraktif dan menantang bagi mahasiswa generasi Y dan Z. Mereka memiliki berbagai alasan yang salah satu di antaranya ialah gugatan dan kekecewaan terhadap berbagai rezim penguasa yang menggunakan Pancasila hanya sebagai alat ketimbang tujuan.
Jika hal ini terus terjadi, maka Pancasila hanya akan menjadi alat untuk memukul lawan politik sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Kelompok masyarakat yang kritis pada Pancasila serta-merta mendapat label anti-Pancasila, ekstrem kanan atau ekstrem kiri.

Inklusif

Untuk mengupayakan Pancasila sebagai ideologi yang bersifat inklusif, maka terdapat beberapa hal yang perlu kita kerjakan.
Pertama, pemerintah dalam hal ini Arsip Nasional perlu membuka akses seluasnya bagi publik untuk membaca salinan stenografi sidang-sidang BPUPK. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa pemerintah terbuka pada berbagai elemen yang berkepentingan dengan sejarah Pancasila.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah perlu merangkul berbagai kelompok masyarakat. Jangan lagi keliru mengampanyekan slogan seperti, “Saya Pancasila” yang seolah menantang atau bahkan mengklaim bahwa orang lain tidak Pancasilais.
Ketiga, bubarkan BPIP yang mengokohkan dominasi (jika bukan monopoli) tafsir atas Pancasila. Selama pemerintah masih menganggap perlu untuk mengedukasi masyarakat ihwal Pancasila secara monolitik, maka selama itu juga pemerintah menyimpang dari cita-cita Sukarno bahwa Pancasila merupakan hasil penggaliannya dari alam pikiran bangsa Indonesia.
Sesungguhnya, karakter dan sifat inklusif dari Pancasila terletak pada kemampuan bangsa ini untuk merangkul berbagai ideologi yang berkembang di masyarakat.
Sebaliknya, pendirian BPIP dan kampanye berlebihan tentang Pancasila hanya mengesankan sifat dan karakter eksklusif karena penguasa menggunakan Pancasila hanya sebagai alat untuk memukul liyan atau lawan politis.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Di satu sisi, Pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat berbahaya karena terlalu membuka diri terhadap berbagai ideologi asing dan baru yang terkadang menimbulkan benturan ideologis seperti yang nampak dalam sejarah perkembangan Pancasila di masa Sukarno.
Pancasila sebagai ideologi terbuka juga berbahaya karena memberikan kesempatan terlalu besar untuk rezim penguasa menggunakannya hanya sebagai alat untuk meraih kepentingan kelompok politiknya dengan berbagai cara.
Dengan kata lain, Pancasila bukan ideologi terbuka karena ia memiliki semacam pakem berupa rangkaian nilai ketuhanan-kemanusiaan-persatuan-kerakyatan-keadilan. Tepat di sini, warga bangsa perlu mengkritisinya: Apakah betul kelima nilai tersebut bersifat koheren satu sama lain?
Bukankah klaim Pancasila sebagai ideologi terbuka seharusnya juga menerima nilai ketidakmanusiaan, perpecahan, otoritarianisme dan ketidakadilan; agar konsisten dan konsekuen dengan penerimaan terhadap atheisme dan anti-theisme yang bertentangan dengan sila pertama?
ADVERTISEMENT
Inilah bahaya ideologi terbuka. Para pendukung ideologi terbuka tidak menjawab isu ini secara tuntas. Mereka hanya berdalih bahwa ketuhanan hanya urusan privat tetapi mengabaikan antonim dari keempat nilai lainnya dalam Pancasila.
Di sisi lain, keterbukaan Pancasila sebagai ideologi mengandung unsur positif dalam hal merangkul mereka yang berbeda. Namun, hal ini mensyaratkan rezim penguasa untuk berhenti mendikte tafsir monolitik atas Pancasila.
Tiga poin usulan di atas kiranya dapat menjadi solusi untuk mengupayakan Pancasila sebagai ideologi yang tidak terbuka tetapi juga tidak tertutup.
Pemosisian ini nampak aneh bagi mereka yang belum sanggup membebaskan pikiran dari cengkeraman prinsip non-kontradiksi Aristoteles; tetapi hal biasa bagi mereka yang terlatih dengan logika modern yang lebih lentur dan luwes.
ADVERTISEMENT
***