Aku tidak pernah merasa laju bus malam menuju kampungku terasa selamban ini. Tangan Jangkung tak pernah lepas dari bahuku. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku, bahkan untuk sekadar bertanya ke Jangkung soal keadaan terakhir Esih. Aku cuma ingat, hal terakhir yang Jangkung bilang adalah “tubuhnya hancur”, dan itu sudah cukup memukul keras harapanku untuk hidup bersama Esih. Kini pupus sudah rencana pernikahan kami, terganti begitu saja dengan kabar paling tragis yang pernah kudengar.
Tanganku cuma bisa menggenggam erat emas kawin yang tadi siang kubeli dengan perasaan paling bahagia yang pernah kurasakan seumur hidupku. Sekarang semua ucapan Esih di pagi sebelum aku berangkat ke kota terngiang kembali. Jika bisa, ingin rasanya aku tumpahkan semua air mataku sekaligus dan membanjiri tubuh dengannya.
“Bodoh! Kenapa aku tadi pagi harus pergi, Kung,” ucapku lirih penuh penyesalan sambil menatap Jangkung.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814