Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Perempuan dalam Balutan Reformasi Arab Saudi
17 Desember 2022 19:27 WIB
Tulisan dari Resi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang terlintas di kepala kamu ketika mendengar "perempuan di negara Arab Saudi?" mungkin kamu akan ingat dengan para perempuan yang mengenakan abaya warna hitam dengan wajah terkadang tertutup cadar serta dibatasi dengan aturan super ketat. Geraknya sangat dibatasi oleh aturan larangan bepergian tanpa wali dan mengemudi kendaraan sendiri. Pada tahun 1999 ada 40 orang perempuan yang berinisiatif untuk mengemudi mobil dengan berkeliling kota Riyadh. Namun, aksi tersebut dihentikan oleh polisi setempat. Sebagai konsekuensinya, mereka dipecat dari pekerjaannya. Kemudian pada tahun 2013 ada 516 orang perempuan yang mengikuti gerakan kampanye mengemudi, tetapi kemudian perbuatan mereka dinyatakan bersalah oleh pemerintah Arab Saudi. Dari perbuatan tersebut, mereka dikenai denda sebesar 300 Riyal. Sejak saat itu, protes tidak pernah muncul kembali.
ADVERTISEMENT
Arab Saudi selama ini memang dikenal dengan negara yang membatasi hak-hak wanita. Di antaranya dalam aspek pendidikan, pemerintah Arab Saudi menerapkan kurikulum yang berbasis agama. Misalnya dalam pemilihan program studi, perempuan harus menaati aturan di mana dia hanya boleh memilih program studi yang cocok dengan perannya, seperti program studi yang berkaitan dengan ilmu keguruan, sastra, dan ilmu kesehatan. Sehingga program studi yang dipilih terkadang tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka. Adapun dalam aspek sosial, gerak perempuan dalam berkarir cukup dibatasi oleh adanya aturan larangan bepergian tanpa wali dan mengemudi kendaraan sendiri, hal inilah yang mempersulit mereka dalam mobilitas. Sedangkan dalam aspek politik, perempuan boleh berpartisipasi dalam pemilu, hanya jika pemilu tersebut dilaksanakan di negaranya sendiri, misalnya pemilihan kota, dan itu pun harus ada wali mereka yang ikut berpartisipasi dalam pemilu tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar masyarakat Arab Saudi masih meyakini bahwa tugas utama seorang perempuan adalah berada di dalam rumah. Pemerintah Arab Saudi mengaturnya dalam undang-undang bahwa perempuan Arab Saudi harus mendapatkan izin dari wali laki-laki mereka dalam melakukan berbagai aktivitas di kehidupan sehari-harinya. Dalam kehidupan rumah tangga, seorang laki-laki bertugas mencari nafkah sedangkan perempuan hanya boleh merawat anak-anaknya di rumah. Selain itu, perempuan tidak boleh meninggalkan rumahnya tanpa persetujuan dari seorang wali laki-laki, bahkan mereka juga tidak diperbolehkan memilih pekerjaan sesuka hati. Hal ini menimbulkan rasa ketidaksetaraan gender bagi perempuan Arab Saudi, di mana mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah setempat.
Pada tahun 2015 Raja Salman bin Abdulaziz naik takhta menggantikan Raja Abdullah. Kemudian pada tahun 2017 Raja Salman menunjuk Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) sebagai putra mahkota. Pada periode ini banyak perubahan yang terjadi, di antaranya pangeran MBS melakukan reformasi kebijakan salah satunya yakni kebijakan Visi 2030 Saudi Arabia dalam meningkatkan perekonomian Arab Saudi. Kebijakan ini dijalankan dengan cara membuka kesempatan yang sama dalam pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Sejak program Visi Saudi 2030 dicanangkan oleh Pangeran MBS, banyak perubahan drastis yang terjadi di Arab Saudi, di antaranya kesetaraan gender mulai terlihat. Kebijakan-kebijakan negara tersebut yang terkenal sangat membatasi perempuan, mulai dicabut satu per satu. Pada tanggal 26 September 2017, kebijakan yang dicabut adalah larangan perempuan dalam mengemudi kendaraan sendiri. Kemudian disusul pencabutan larangan bepergian tanpa wali laki-laki. Hal ini membantu perempuan Arab Saudi beraktivitas di luar dengan lebih leluasa. Keputusan ini cukup mengejutkan banyak pihak. Tidak hanya pihak-pihak yang berada dalam wilayah Arab Saudi tetapi juga komunitas internasional.
Namun, keputusan tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Arab Saudi. Berbagai penolakan muncul, mulai dari kaum laki-laki yang menyerukan penolakannya melalui media sosial sampai pada ulama konservatif Arab Saudi. Terbukti bahwa budaya patriarki Arab Saudi masih begitu kuat meskipun Arab Saudi tengah berbenah menjadi negara yang pro dengan kesetaraan gender. Hal ini disebabkan karena masyarakat Arab Saudi meyakini bahwa dengan mengizinkan perempuan mengemudi akan mengakibatkan reduksi nilai-nilai tradisional, seperti segregasi gender.
ADVERTISEMENT
Salah satu ulama konservatif di Arab Saudi yakni Syekh Abd al-Rahman al Barrak mengeluarkan fatwanya yang berisi peringatan terhadap kaum liberal untuk tidak mempromosikan kesetaraan gender karena menurutnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan dan pendidikan adalah haram, sebab interaksi antara keduanya akan mengundang syahwat dan menimbulkan kemudaratan. Bahkan menurutnya kaum yang mendukung kesetaraan gender adalah orang yang tidak beriman, serta dianggap murtad, sehingga jika mereka tidak bertaubat dapat dibunuh.
Meskipun banyaknya penolakan dari berbagai pihak, hal tersebut tidak membuat Pangeran MBS berhenti dalam menegakkan kesetaraan gender di negaranya. Pangeran MBS banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang kelonggaran aturan bagi perempuan Arab Saudi. Hal ini memiliki dampak dari dua sisi. Dampak baiknya perempuan Arab Saudi mendapatkan haknya, seperti melakukan pemilu dan duduk dalam pemerintahan. Sedangkan dampak buruknya, pencabutan aturan wajib memakai hijab dan penggunaan abaya, membuat perempuan Arab Saudi menjadi bebas. Padahal penggunaan abaya sudah diterapkan sejak 1932 sebelum kerajaan itu disatukan, penggunaan tersebut diadopsi dari Turki pada masa pemerintahan Kekaisaran Ottoman. Hal ini juga sejalan dengan al-Qur'an tentang kewajiban menutup aurat. Termasuk dalam penggunaan hijab, sekarang banyak perempuan-perempuan Arab Saudi yang melepas hijabnya untuk mengikuti trend rambut pendek di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Melihat hal di atas, transformasi kebijakan terhadap perempuan di arab Saudi menunjukkan adanya suatu pergeseran budaya dan hukum yang berlaku di negara tersebut. Reformasi kebijakan di negara tersebut berdampak pada terkikisnya nilai-nilai Islam. Seharusnya kebijakan-kebijakan dalam mengatasi permasalahan perekonomian tidak bertentangan dengan nilai agama. Pemerintah Arab Saudi harus berhati-hati agar reformasi yang dilakukan tidak membawa dampak negatif bagi perempuan di negara tersebut.