Konten dari Pengguna

Berharap Kepala Daerah Menjadikan Indonesia Terang

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
21 Februari 2025 16:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi mahasiswa dalam tajuk Indonesia Gelap sebagai suara protes terhadap kebijakan pemerintah. (foto: kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi mahasiswa dalam tajuk Indonesia Gelap sebagai suara protes terhadap kebijakan pemerintah. (foto: kumparan.com)
ADVERTISEMENT
Begitulah kutipan kritik di atas sebuah spanduk berukuran sedang yang dibawa ribuan mahasiswa dalam aksi yang ramai dengan tagar Indonesia Gelap. Bermodal cat berwarna merah – hitam, tulisan di atas spanduk putih itu menjadi begitu jelas. Sangat mudah dibaca. Memberi pesan penuh amarah.
ADVERTISEMENT
Derap kaki ribuan mahasiswa memadati ruas jalan di Jakarta. Berbaur dengan teriakan lantang bernada sinisme terdengar dari kejauhan. Menyindir kebijakan pemerintah yang dinilai amburadul.
Aksi mahasiswa merupakan ekspresi kegelisahan dan amarah yang pastinya mewakili mayoritas kepentingan publik. Suatu keadaan yang mengantarkan kembali pada nasehat Prof. Djohermansah Johan, pakar ilmu pemerintahan untuk pejabat pemerintah tidak memproduksi kegaduhan. Namun memberikan keteduhan. Melalui kebijakan yang berkeadilan.
Sebagai mantan birokrat, tentu nasehat itu bukanlah lahir secara mudah. Pengalamannya berada dalam lingkup pengambil kebijakan sangat menyadari konsekuensi besar bagi kehidupan rakyat. Rasanya pula nasehat tersebut tepat dan bermanfaat.
Indonesia Gelap vs Kepuasaan Kinerja
Titik persimpangan yang menarik terjadi. Sekaligus mengejutkan masyarakat. Lantaran aksi Indonesia Gelap berlangsung di saat sejumlah lembaga riset memberikan gambaran kepuasan publik terhadap 100 hari kinerja pemerintah Prabowo – Gibran.
ADVERTISEMENT
Tidak main-main riset tersebut memberi hasil mengagumkan. Setidaknya tiga lembaga riset menempatkan kepuasan publik terhadap kinerja Prabowo-Gibran di atas presiden sebelumnya. LSI memberi ponten 81,9 persen, Litbang Kompas membandrol nilai 80,9 persen dan Kedai KOPI memberikan skor 72,5 persen.
Anomali ini seakan memberikan pertanyaan lanjutan. Apakah riset itu tidak memiliki validasi yang memadai? Apakah terjadi penyimpangan praktik riset? Apakah pergeseran emosi publik mudah terjadi? Dari yang awalnya puas, dalam sekejap menjadi tidak puas.
Tentu saja banyak argumen untuk menampik pertanyaan itu. Dengan berbagai pendekatan teoritis bisa menjawab. Apapun itu realitasnya ribuan mahasiswa di berbagai daerah secara kolektif memiliki cara pandang yang sama terhadap pemerintah Prabowo-Gibran, yakni amburadul.
Singkatnya, narasi Indonesia Gelap merupakan perlawanan kolektif massa terhadap kebijakan pemerintah. Menuntut perubahan arah kebijakan. Dengan dalih kebijakan yang diterbitkan tidaklah memenuhi harapan rakyat.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain riset kepuasan kinerja menggambarkan penerimaan publik terhadap kerja pemerintah. Hal yang didekatkan pada makna penerimaan publik pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Tentu saja dengan rumus yang sama, bahwa rakyat dinilai puas berdasarkan riset.
Paradoks. Sekali lagi paradoks. Kata yang sama dituliskan dalam buku berjudul Paradoks Indonesia: Pandangan Strategis Prabowo Subianto karya Prabowo Subianto yang terbit pada 2017. Kemudian menjadi viral bersamaan pelantikan sebagai Presiden RI.
Buku yang menuangkan pemikiran strategis Prabowo Subianto terhadap keadaan Indonesia sepanjang perjalanan sejarah. Secara mendalam mengupas isu ketimpangan di Indonesia. Memotret ragam gejala aneh di tengah kekayaan berlimpah. Sekaligus memberikan rumusan solusinya. Namun sayangnya, seperti layu untuk diimplementasikan.
Pemikiran strategis Prabowo Subianto dalam buku yang dapat menjadi peta jalan bagi Indonesia menuju terang, tidak bernada sama. Kekuasaan yang ada pada tanganya sebagai Presiden seakan bernada minor. Jauh dari peta jalan dalam buku Paradoks Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejak awal pelantikannya berulang kali ketimpangan pemikiran dan tindakan diperlihatkan. Suara lantang melawan koruptor, dalam sekejap berbeda. Lebih menyuguhkan hasrat mengampuni koruptor.
Penghormatan pada proses demokrasi yang menjadi ruang keterlibatan berbagai pihak dalam politik nasional, sekejap pula disempitkan. Lebih pembatasan keterlibatan publik dalam pesta demokrasi. Belum lagi sejumlah aparatur negara yang menyakitkan perasaan publik.
Tentu saja serangkaian itu mendapatkan respon negatif publik. Suara perlawanan pun muncul di media sosial, mulai dari tagar tolak bayar pajak, tagar kabur aja dulu hingga tagar Indonesia Gelap. Semua itu merupakan rangkuman ketidak percayaan terhadap pemerintahan.
Berharap pada Kepala Daerah
Tepat 20 Februari, kegelisahan sebagian masyarakat pada pemerintahan yang tak berpihak, seakan terobati. Prosesi pelantikan kepala daerah terpilih bagaikan penjernih perasaan. Berharap kepala daerah dapat berpihak pada diri masyarakat. Melalui kebijakan yang berkeadilan dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Harapan itu bukan tanpa alasan. Sebanyak 481 kepala daerah yang dilantik, pada tingkat Gubernur, Bupati dan Walikota adalah orang pilihan bagi rakyat. Sebagai sosok yang dianggap paling dekat dengan rakyat lokalnya.
Brian C Smith, dalam bukunya Decentralization: The Territorial Dimension Of The State menyebutkan model desentralisasi pemerintahan sesungguhnya untuk mendekatkan masyarakat pada pemerintahan. Dengan argumen ilmiah kedekatan yang erat menghadirkan pemerintahaan berorientasi kepentingan rakyat.
Tidak cukup itu, Brian C Smith pun meyakini interaksi mendalam aktor pemerintahan lokal pada masyarakat lokal dapat meningkatkan kesejahteraan. Hal yang menjadi esensial bagi tujuan kegiatan pemerintahan.
Bersandar pada pandangan tersebut, menjadi rasional eforia massa setelah pelantikan kepala daerah. Banjirnya pendukung di kantor kepala daerah memberi makna harapan. Seakan kegelisahan pada pemerintahan pusat, terjawab dengan hadirnya kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Kini tantangan itu ada pada bahu kepala daerah. Target kerja yang tertuang pada visi-misi selama kampanye perlu diwujudkan. Dengan juga melihat berbagai kondisi terbaru. Sehubungan tatanan kehidupan masyarakat saat ini penuh ketidakpastian.
Kepala daerah perlu membuat program prioritas terbaiknya sesuai tantangan daerahnya. Secara umum masalah yang dialami pada aspek iklim usaha, lapangan pekerjaan, pengendalian inflasi, bencana alam, keamanan dan layanan pemerintahan.
Kepala daerah tidak perlu melirik 100 hari kerja. Teruslah bekerja membangun perubahan yang signifikan. Berdialog dan dengarkan suara rakyatnya. Gandeng dan berbaurlah merumuskan program. Sekaligus bekerjalah bersama rakyat. Karena kepala daerah menjadi sandaran rakyat menuju Indonesia terang. Semoga.
Penulis sebagai peneliti kebijakan publik