Fenomena 'Status WA' untuk Berdagang sampai Psywar

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Konten dari Pengguna
26 Juli 2021 13:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto penggunana Whatsapp (foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto penggunana Whatsapp (foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Jan Koum dan Brian Action tiada mengira, kreasi digitalnya layanan pengiriman pesan instan mendapat respons luar biasa dari pengguna hingga sekarang. Aplikasi berkomunikasi bernama WhatsApp (WA) ini digunakan lebih dari 2 miliar penduduk di tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Entah sejalan atau tidak, buah kecerdasan pemuda drop out dari San Jose State University, Amerika itu seperti mengadopsi pemikiran Plato. Dengan mengelola tiga syarat untuk manusia berperilaku, yakni adanya keinginan, adanya emosi dan adanya pengetahuan. Di mana ketiga syarat itu terasa mengalir pada semua menu layanan aplikasi WA, terlebih menu ‘Status WA’
Menu ‘Status WA’ kian fenomenal saat ini. Apalagi selama pandemi Covid-19. Pengguna WA memanfaatkan menu ‘Status WA’ tidak lagi sebagai eksistensi diri, tetapi meluas untuk kepentingan bisnis, kampanye sampai psywar. Bahkan buntut perang ‘Status WA’ pun tak terelakkan.

‘Status WA’ dalam Perspektif Sosiologis

Sebagaimana pemikiran Plato bahwa perilaku manusia mengalir dari keinginan, emosi dan pengetahuan. Begitu pula yang terjadi pada pengguna menu ‘Status WA’. Secara bersamaan mengalir keinginan, emosi dan pengetahuan setiap membuat ‘Status WA’.
ADVERTISEMENT
Mari belajar dari kasus seorang ASN di Banjarmasin yang akhirnya harus berurusan dengan polisi. Karena memposting pesan bernada kebencian pada menu ‘Status WA’. Kabarnya ASN bermasalah itu pun tersandung Pasal 27, Ayat (3) UU ITE.
Dari kasus tersebut menarik ditelisik. Menu ‘Status WA’ jika meneropong dari sosiologi merupakan ruang ekspresi individual untuk dapat menjadi bagian dari komunitasnya. Di mana ekspresi individual itu sebagai cerminan pemikiran, emosi dan pengetahuan sebagai simbol dukungan atau penolakan atas sesuatu.
Dalam konteks apa pun, keterbelahan sosial tidak dapat terelakkan. Semua itu sebagai buah pemikiran individual bercampur dengan suasana emosi diri. Hingga bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan dua kutub pendapat selalu terjadi.
Contoh saja, kebijakan PPKM Darurat level 4 diperpanjang menjadi isu yang ramai pada ‘Status WA’. Mulai ucapan amarah, ucapan doa sampai peluang meraih pendapatan. Inilah perang ‘Status WA’. Inilah psywar.
ADVERTISEMENT
Celakanya kebiasaan kepo membaca ‘Status WA’ itu berbuntut emosi baru. Terutama bagi dua kutub yang berbeda pendapat. Alhasil mengkritisi cuitan ‘Status WA’ itu dengan memposting pesan tandingan lewat menu ‘Status WA’. Akhirnya ribut dan berujung ke pengadilan.
Menariknya lagi keterbelahan sosial itu menjalar pada media sosial lain. Hingga semakin tampak dua kutub berbasis massa yang sama banyaknya saling berhadap-hadapan. Tak terkecuali yang terjadi pada menu 'Grup WA'.
Pada sisi lain, pengguna menu ‘Status WA’ menangkap sebagai peluang baik. Terutama menebar peluang di saat paceklik ini. Dengan memposting produk-produk komersil. Dari makanan, minuman, pakaian, buku, buah, sampai barang bekas. Semua diobral lewat menu ‘Status WA’.
Tiada dinyana layanan 'Status WA' itu membuahkan hasil manis. Arus transaksi pun terjadi. Raup keuntungan mengalir. Pedagang yang posting membalas dengan ucapan doa. Bagi pembeli memposting pujian. Ini pun perang 'Status WA'. Ini juga bisa jadi psywar.
ADVERTISEMENT
Apa pun itu semoga postingan ‘Status WA’ tidak berujung pada Pasal 27 UU ITE. Karena bisa diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 MIliar. Baik itu pesan bernada perang urat syaraf maupun dagangan.
Pastinya Jan dan Brian sebagai penemu aplikasi WhatsApp tidak pernah berharap produk kecerdasannya menjadi pemicu ketegangan. Kendati hal itu pula telah jauh dipikirkan Plato bahwa perilaku manusia mengalir dari keinginan, emosi dan pengetahuan.
**Penulis adalah peneliti kebijakan publik IDP-LP