Konten dari Pengguna

Kaum Terdidik Tidak Boleh 'Kerdil'

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
20 Juni 2021 8:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kaum terdidik melawan takut dengan pengetahuan (ilustrasi: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Kaum terdidik melawan takut dengan pengetahuan (ilustrasi: istimewa)
ADVERTISEMENT
Pemikiran filsuf Yunani ini mampu menyengat kalangan mana pun. Dari individu terdidik ataupun tidak. Dari kalangan ningrat ataupun tidak. Dari kalangan berduit ataupun tidak. Ketika takut menguasai jiwa, maka kerdil pula jiwanya.
ADVERTISEMENT
Tidak heran kaum penakut itu menjadi bungkam. Karena memilih lari dari tanggung jawabnya. Mengingkari alam pikirnya yang sehat untuk menemukan kebenarannya. Lebih pilih bersembunyi dari ancaman yang datang. Tidak tegak berdiri.
Bersyukur Indonesia berdiri dari darah para pemuda pemberani. Jiwa kaum pemuda yang tidak memupuk rasa takutnya. Membangun menara keberanian hingga menjangkau langit. Pemuda yang berani tegak di hadapan bayonet dan peluru.
Tentu saja, jika pemuda itu kerdil jiwanya, rasanya Indonesia tidak tegak berdiri. Indonesia bisa jadi hanya nama di atas kertas sejarah. Tidak jelas wujud nyatanya.

Runtuhnya Keberanian Kaum Terdidik

Masih ingatkah cuplikan drama heroik pada 19 September 1945? Di saat ribuan pemuda berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta untuk agenda rapat akbar. Padahal di sekeliling lapangan berdiri ratusan tentara Jepang bersenjata otomatis yang siap bombardir peluru pada tubuh-tubuh pemberani pemuda negeri. Namun tidak sedikit pun pemuda itu surut semangat.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai di situ drama mengagumkan. Hadir pertama kali di lapangan Ikada adalah Ki Hajar Dewantara bersama dua sahabatnya yang membakar semangat pemuda. Sosok pendidik nasional yang selalu dielu-elukan pemikirannya oleh para pendidik negeri ini, memilih tidak ciut nyali sedikit pun.
Usianya yang sepuh tak menghalangi keberanian yang membaja. Tubuhnya yang ramping mampu kalahkan ancaman peluru. Bahkan jiwanya seakan siap menggapai maut. Hanya untuk membela kebenaran dan fakta bangsa yang merdeka. Ki Hajar Dewantara sungguh seorang pemberani.
Belum cukup itu saja, organisasi Boedi Oetomo juga punya kisah heroiknya. Kisah pemuda yang pertama kali dalam sejarah bangsa ini membentuk organisasi modern, berhasil melawan takut dari belenggu penjajah. Bahkan pemikirannya yang bebas telah menumbuhkan semangat juang pemuda lainnya. Pendiri gerakan Boedi Oetomo, mereka adalah pemberani.
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah hebat tersebut terasa kering saat ini. Sejatinya simbol-simbol perlawanan rasa takut pada penjajah, telah banyak dicontohkan dari kaum terdidik di negeri ini. Mereka melawan takut dengan pengetahuan yang dimilikinya. Itulah rumus baku melawan ketakutan.
Kini, kaum cerdik pandai lebih banyak beternak ketakutan. Memilih bungkam, mengabaikan kebenaran ilmiah. Terkalahkan dengan rasa takut yang mengusai relung jiwa. Bahkan ilmu yang dimiliki gagal memilah air dan minyak. Gagal mengusir debu di atas cermin. Lebih bangga berselimut takut tanpa menggerakkan akal sehatnya.

Kaum Terdidik Melawan Takut

Rumus melawan takut adalah rasionalitas. Di mana rasionalitas sebagai ruang tumbuhnya ilmu pengetahuan. Tempat di mana hipotesa diuji, diuji dan dirumuskan. Hingga mampu memaknai sebuah kenyataan. Bagaikan guru menjelaskan peristiwa hujan.
ADVERTISEMENT
Mitos tentang hujan di zaman dulu begitu beragam. Hujan dimaknai sebagai amarah para dewa. Hujan sebagai simbol teguran alam pada manusia dan ragam cerita lainnya. Hingga kala itu hujan memaksa manusia untuk bersembunyi. Agar terhindar dari amarah dewa.
Nyatanya berbeda. Hujan sebagai peristiwa alamiah biasa. Di mana ilmu pengetahuan mampu menjelaskan begitu detail. Dengan menyebut hujan sebagai kumpulan benih air di udara yang terbawa angin. Benih air itu berkumpul bersama ribuan partikel lain yang membentuknya menjadi awan gelap. Tidak lama hujan pun turun.
Begitu sederhana memaknai hujan. Ilmiah dan bisa teruji. Tidak ada pesan dewa yang murka dan sebagainya. Terjabarkan bahwa peristiwa hujan melalui proses ilmiah yang disebut ilmu pengetahuan. Kini peristiwa hujan menjadi berbeda makna dan perlakuannya. Mengusir mitos tentang hujan sebagai amarah dewa.
ADVERTISEMENT
Inilah yang sepatutnya tumbuh dalam diri kaum cerdik pandai. Nalar sehatnya mengurai ragam persoalan. Mengungkap berbagai ketidakpastian. Sebagai pengusir rasa ketakutan, agar menjadi pribadi punya kemandirian.
Bukanlah sebaliknya. Cerdik pandai membiarkan nalar sehat terperangkap dalam sangkar ketakutan. Sengaja membunuh ilmu pengetahuan. Tidak lagi mampu terjemahkan benar dan salah. Inilah yang dimaksudkan filsuf Yunani tentang ketakutan dan jiwa merdeka. Lawanlah rasa takut, wahai kaum cerdik.
**Penulis adalah peneliti kebijakan publik IDP-LP