Medsos dan Keteladanan Manipulatif di Pilkada Serentak

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Konten dari Pengguna
22 April 2024 8:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kedigdayaan media sosial memang tak diragukan. Bekerja dengan metadata dan pendekatan algoritma menjadikan media sosial sebagai mesin perubahan sosial paling ampuh. Mampu menyasar berbagai lapisan sosial masyarakat dengan waktu tak terbatas.
ADVERTISEMENT
Tidak heran penggunaan media sosial menjadi begitu meluas. Mulai pelaku usaha, seniman, guru, birokrat, ulama, pelajar sampai aktor politik. Semua menggunakan media sosial untuk mengakselerasikan tujuan individu ataupun kolektif.
Kenyataannya masifnya penggunaan media sosial di pelbagai sendi kehidupan, tidak selalu berjalan positif. Fakta terjadinya perluasan tindakan negatif juga meningkat. Kasus penyebaran hoaks, berita palsu, fitnah, ancaman sampai sarkasme tak terbendung.
Bagaikan penyakit yang menular. Virus hoaks, fitnah, mengancam dan sebagainya dilakukan banyak aktor. Mulai pelajar, pendidik, aparatur negara, tokoh agama sampai aktor politik. Bahkan secara langsung menimbulkan gejolak sosial, ketegangan fisik hingga memicu bunuh diri. Gambaran tersebut yang memposisikan media sosial sebagai wabah. Wabah bagi manusia modern.

Metadata, Algoritma, dan Pendengung

Setidaknya ada tiga faktor penting yang menjadikan media sosial begitu canggih. Pertama metadata yang dimaknai sebagai luas dan lengkapnya data yang dibagikan. Hal tersebut disumbang dari semua pemilik akun media sosial. Setiap akun dapat membagikan berbagai data tanpa batasan waktu, batasan ruang dan juga batasan biaya. Semua dapat membagikan informasi sebegitu mudah. Semudah menghirup udara.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pemilik akun terus bertambah. Bahkan satu pengguna bisa memiliki akun media sosial lebih dari satu. Sehingga informasi yang dibagikan menjadi lebih luas. Jumlahnya pun meningkat. Dan itu dilakukan semua pemilik akun. Akibatnya terjadi keberlimpahan data yang dapat dikenali dan dinikmati pengguna media sosial.
Kedua, pemanfaatan algoritma. Bermodal algoritma yang menjadi bagian dari sistem media sosial memberikan kemudahan bagi pengguna. Memahami jejak dan sumber informasi untuk dinikmati. Sehingga pengguna mendapatkan informasi sesuai pola atau kebiasaan yang membentuk identitas atau karakter tersendiri bagi pengguna.
Kemudian ketiga adalah aktivitas para pendengung (buzzer). Secara tidak sadar setiap pengguna media sosial dapat menjadi pendengung (buzzer) secara sukarela. Karena kerap men-share kembali informasi yang dinilainya baik atau benar, sesuai pandangannya.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya peran pendengung ini menjadi strategis dalam mengkanalisasi informasi. Kenyataan tersebut melahirkan pekerjaan baru, yakni buzzer berbayar. Dengan tujuan-tujuan tertentu, sesuai kehendak pembeli jasa buzzer. Sehingga penggiringan opini dan seterusnya dapat terjadi.
Ketiga faktor tersebut dimanfaatkan berbagai pihak, di antaranya aktor-aktor politik. Tidak terkecuali para calon kepala daerah yang bakal ikut kontestasi Pilkada serentak 2024. Bahkan menjadikan media sosial sebagai strategi mendongkrak kepercayaan publik. Harapannya meningkatkan keterpilihan.

Menjual Keteladanan Semu

Apakah salah memanfaatkan media sosial untuk mendongkrak kepercayaan publik? Sudah barang tentu jawabannya tidak salah. Memanfaatkan media sosial sudah menjadi hal wajib di era digital. Semua sendi kehidupan pun memanfaatkan media sosial.
Peran media sosial dalam aktivitas politik yang kemudian akrab disebut ‘Politik Digital’ kian menguat di setiap pemilu. Hal itu seiring dengan keterlibatan Generasi Z yang masif. Di mana generasi Z merupakan pemilih, aktor politik sekaligus pengguna media sosial yang masif. Tentu pula tanpa mengabaikan kelompok generasi di atasnya.
ADVERTISEMENT
Aktor politik memahami keberadaan Generasi Z sebagai target politiknya. Atas argumentasi itu aktor politik menempatkan media sosial sebagai strategi yang efektif. Bukan saja membangun ruang dialogis antar aktor politik dan semua pihak, juga upaya untuk mempertajam gagasan, program dan visi – misi politiknya hingga kampanye personal.
Politik digital itu kemudian mewujud dalam bentuk konten video, foto atau narasi. Hasilnya dapat berupa jurnalisme warga, kampanye politik, dan berbagai kegiatan aktivisme lainnya yang dilakukan melalui telepon selular.
Walhasil media sosial memungkinkan masyarakat untuk berpolitik kapanpun, dimanapun, dan tidak terbatas ruang dan waktu. Itu lah yang dinyatakan Chadwick dan Howard dalam bukunya Routledge Handbook of Internet Politics menyatakan internet (media sosial) telah berevolusi menjadi media yang mendasari sistem komunikasi politik masyarakat (Chadwick & Howard, 2009).
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya kecanggihan media sosial itu ditunggangi rendahnya etika. Aktor politik yang harusnya menggunakan media sosial untuk ruang dialogis yang sehat. Justru menjadi sarana membangun ke semua yang penuh manipulasi. Keteladan yang menjadi modal personal, ternoda dengan maksud pencitraan semata. Kehilangan esensi sebenarnya sebagai pribadi yang teladan. Bahkan keteladan yang diciptakan pun penuh kepura-puraan. Drama semata.
Fenomena itu persis yang dikatang ilmuwan Jean Baudrillard. Dalam teori simulacra Jean Baudrillrad menjelaskan bahwa realitas dalam media adalah realitas semu dimana sesuatu kebenaran dimanipulasi agar masyarakat mengikuti dan mengonsumsinya (Ropip Asharudin; 2023).
Pendapat tersebut juga diperkuat Saumantri dan Zikrillah, 2020 yang menyebutkan komunikasi di media massa adalah sebuah potret komunikasi yang sering kali di manipulasi kebenaran dan faktanya.
ADVERTISEMENT
Kini yang menjadi tantangan bagi publik adalah memisahkan kesemuan dan kenyataan. Mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Tanpa manipulasi dan reka-reka. Caranya secara bijak memahami informasi yang berseliweran di media sosial. Karena media sosial adalah wabah bagi manusia modern.