Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Melawan Watak Kapitalisme Perguruan Tinggi
12 Juli 2021 11:22 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:02 WIB
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nyelekit pernyataan Jawaharlal Nehru ini. Ucapan negarawan asal India itu sejalan dengan pertemuan pemimpin negara di World Economic Forum 2020, Davos.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan petinggi berbagai negara membeberkan fakta kejamnya kapitalisme. Melalui survey yang diterbitkan "Edelman Trust Barometer", menemukan bahwa terjadi peningkatan ketidaksetaraan akses ekonomi masyarakat dunia.
Survei tersebut menyasar 34.000 orang di 28 negara. Mulai negara demokrasi liberal Barat seperti Amerika Serikat dan Prancis hingga negara Cina dan Rusia. Dengan simpulan 56 persen responden setuju kapitalisme lebih berbahaya daripada membawa kebaikan di dunia.
Kajian dari Oxfam International juga mengungkap hal serupa. Laporan berjudul "Time to Care" menyebut 2.153 orang kaya di dunia mengontrol kekayaan 4,6 miliar orang miskin di dunia. Data itu dilansir tahun 2019.
Kejamnya kapitalisme tidak hanya merasuk dunia industri dan perdagangan. Sektor publik seperti pendidikan pun, menjadi sasaran para kapitalis untuk memperbesar pundi-pundinya. Bagaimana potret kapitalisme pendidikan? Apa solusinya?
ADVERTISEMENT
Kapitalisme, Kesenjangan Akses dan Akuntabilitas
Persis ujaran Jawaharlal Nehru bahwa kapitalisme membuat jarak semakin jauh. Gejala itu pun terjadi pada pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Fakta keterhambatan akses pendidikan jenjang pendidikan tinggi terlihat pada Indeks pembangunan manusia (IPM) tahun 2020 yang dilansir BPS. Kendati IPM Indonesia naik 0,03 persen. Dengan skor 71,94, namun pada sektor pendidikan memperlihatkan keterhambatan akses.
Pada sektor pendidikan indikator Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah, memberikan gambaran unik. Di mana angka partisipasi sekolah (APS) kelompok usia 19-24 tahun, hanya 25,56 persen. Artinya hanya 25 persen lebih lulus SMA melanjutkan ke perguruan tinggi.
Hambatan itu disebabkan faktor daya tampung yang kurang dan biaya kuliah yang mahal. Akibatnya masyarakat tidak menjangkau pendidikan, yang berdampak rendahnya daya saing bangsa dan rendahnya kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain pemerintah berupaya memperluas akses pendidikan melalui keterlibatan masyarakat. Termasuk akses penyediaan jenjang pendidikan tinggi yang secara nyata membuka celah lahirnya pembelokan motif.
Pembelokan motif itu terlihat dari awalnya bermotifkan menciptakan pemerataan akses, berbelok menjadi peluang menjadikan sumber pendapatan melalui pendidikan tinggi. Hal ini yang kemudian dikenal komersialisasi pendidikan.
Dengan kata lain penyelenggaraan pendidikan tinggi berbasis masyarakat telah menjelma sebagai mesin pengeruk keuntungan bagi pihak pengelola. Bukan pada upaya peningkatan kualitas generasi. Inilah potret kapitalisme pendidikan tinggi telah merasuk.
Pemerintah pun telah memprediksi peluang pembelokan motif tersebut. Dengan memberikan batasan tegas, antara lain prinsip nirlaba sebagaimana Pasal 60, Ayat (2) UU Pendidikan Tinggi dan larangan memanfaatkan keuntungan dan kekayaan yang bertentangan dengan tujuan Yayasan, sesuai Pasal 5, Ayat (1) UU Yayasan.
ADVERTISEMENT
Jelas dan tegas bahwa pemerintah mengharamkan komersialisasi pendidikan tinggi. Sekaligus sebagai langkah melawan watak kapitalisme yang menyusup pada pendidikan tinggi.
Sayangnya sanksi atas pelanggaran masih jauh dari nilai keadilan. Pelanggaran atas Pasal 60 Ayat (2) UU Pendidikan Tinggi hanya diancam denda Rp. 1 miliar saja. Sedangkan bagi penyelenggara Yayasan yang terbukti melanggar ketentuan dikenakan sanksi penjara 5 tahun dan denda.
Tidak heran jika pengelola perguruan tinggi masih memandang sebelah mata atas ancaman sanksi. Maka sepatutnya pemerintah berikan sanksi lebih keras jika terbukti melakukan komersialisasi pendidikan. Bahkan memaksa penyelenggara pendidikan tinggi melaporkan akuntabilitas secara berkala, sesuai Pasal 78, ayat (4) UU Pendidikan Tinggi. Demi terwujudnya pendidikan bagi semua.
**Penulis adalah peneliti kebijakan publik IDP-LP
ADVERTISEMENT