Menjaga 'Api' Demokrasi Tetap Menyala

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Konten dari Pengguna
19 Februari 2024 16:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Begitulah filsuf ternama itu berpesan. Moralitas yang sejatinya dekat, kini menjadi jauh dan sulit dijangkau. Seolah bintang di langit lebih dekat daripada moralitas yang berhuni dalam jiwa.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan Kant menyatakan itu. Nasihat yang ditulis pada batu nisan dirinya menjadi pesan terakhir bagi para cendekiawan di mana pun. Kritik filsuf kelahiran Jerman ini membangun kesadaran bersemainya benih kesombongan manusia kian meninggi. Lantaran kemampuan mengelola akal yang kemudian mengabaikan moralitas.
Nasihat pada abad ke 18 itu terasa cocok memotret perjalanan Pemilu 2024. Di mana praktik demokrasi dibiarkan coreng moreng. Mendegradasi moralitas. Lebih mempertontokan keagungan ilmu pengetahuan yang melupakan praktik moral. Persis kekhawatiran Immanuel Kant.

Memproduksi Kecacatan Demokrasi

Bagai drama berseri. Kecacatan demokrasi perhelatan Pemilu 2024 bergerak estafet. Dari episode satu berlanjut ke episode berikutnya. Bahkan sampai tahap rekapitulasi suara pun, drama kecacatan itu tak kunjung berhenti.
Film Dirty Vote yang ditayangkan kala masa tenang Pemilu 2024 sedikit membentuk kesadaran politik. Bagaimana para aktor negara mengelola dan memanfaatkan sedemikian rupa institusi dan regulasi untuk mencapai kepentingan politiknya. Demi bertahan sebagai penguasa.
ADVERTISEMENT
Terlepas pro-kontra pada film dokumenter besutan Dandhy Laksono, setidaknya memperlihatkan benih kecurangan sungguh disemai lama. Bahkan benih disebar tiga tahun sebelum Pemilu 2024. Kini tinggal menuai semua benih.
Benih kecurangan mulai kentara sejak putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan yang dinilai cacat moril itu pun tetap berjalan tanpa hambatan. Drama kisruh di MK dianggap berhenti setelah majelis kehormatan MK bekerja.
Tidak cukup sampai di situ. Drama kecurangan tetap sesuai skenario. Dugaan pemanfaatan sumber daya negara mulai dimainkan. Pengerahan aparatur, pengendalian aparat sampai pemanfaatan dana negara. Semua diarahkan pada satu titik. Demi bertahan sebagai penguasa.
Kekisruhan itu memang kian pelik dengan strategi transaksi politik. Partai politik sebagai syarat konstitusi untuk melenggangkan kekuasaan ikut dimainkan. Tak terkecuali tokoh-tokoh politiknya. Semua bersuara sama. Demi bertahan sebagai penguasa.
ADVERTISEMENT
Tentu saja melenggangkan semua proses kisruh tidak begitu saja. Pendekatan teknokratis dipersiapkan secara matang. Melalui lembaga-lembaga survei dan hasilnya. Pendekatan ilmiah milik para ilmuwan diseret dalam praktik-praktik membalut kecurangan. Sungguh alur yang apik.

Animal Rasionale dalam Demokrasi

Persis yang dikhawatirkan Immanuel Kant sejak awal. Kejahatan manusia bermula ketika merendahkan moralitas. Bahkan kejahatan itu seolah dibenarkan dengan dalih rasionalitas, melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Ilmuwan Inggris, Francis Bacon pun menggaungkan semboyan ‘Knowledge is Power’. Keagungan ilmu pengetahuan memang tidak ada salahnya. Ilmu pengetahuan yang merupakan kerja berpikir manusia telah menghadirkan kemakmuran dan kemewahan. Wajah kehidupan sejahtera pun terasa.
Dari pemujaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, secara perlahan menjadikan manusia begitu memuja ilmu pengetahuan. Secara perlahan pula mengabaikan moralitas. Inilah yang kemudian memunculkan istilah Animal Rasionale.
ADVERTISEMENT
Apakah tindakan animal rasionale terjadi pada demokrasi? Jawabannya tentu ‘iya’. Lihat saja penggunaan lembaga survei untuk mengukur elektabilitas kandidat dan partai politik menjadi dominan. Pemanfaatan data statistik untuk pengaruhi psikologis massa juga rajin digemborkan. Bahkan pemanfaatan dalil hukum kekuasaan secara sewenang-wenang. Semua itu tindakan animal rasionale.
Film Dirty Vote yang menghadirkan tiga aktor berlatar akademisi sudah cukup memberi penjelasan mendalam. Skenario pemenangan telah dibangun secara baik. Jauh sebelum pemilu digelar.
Kini ada dua cara mengembalikan semua pada jalurnya. Pertama kekaguman yang berlebihan pada ilmu pengetahuan perlu dijaga keseimbangannya. Kedua memasukkan moralitas dalam praktik ilmu pengetahuan.
Keduanya dihidupkan dalam praktik demokrasi. Dengan begitu api demokrasi tetap menyala. Menerangi kehidupan manusia. Itulah yang diharapkan Immanuel Kant dalam peristirahatannya.
ADVERTISEMENT