Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Slow Genocide: Menilai Tindakan Israel dari Sudut Pandang Normatif
27 Oktober 2024 9:45 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Rendy Artha Luvian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilmu Hubungan Internasional dipelajari untuk memahami dinamika global dan mempromosikan perdamaian serta keadilan diantara negara-negara di dunia ini. Oleh karena itu, setiap kali terjadi konflik atau peperangan, penting untuk menganalisisnya dari berbagai perspektif dalam hubungan internasional, terutama dari sudut pandang normatif yang menekankan pentingnya prinsip moral dan etika. Salah satu konflik yang telah berlangsung lama dan penuh kekerasan adalah konflik antara Israel dan Palestina, yang kembali mencuat dengan intensitas yang lebih ganas dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Gaza dan Tepi Barat.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif sejarah, sebelum terbentuknya negara Israel pada tahun 1948, wilayah Palestina merupakan tempat di mana berbagai komunitas, termasuk Yahudi, Muslim, dan Kristen, hidup berdampingan. Namun, pasca berdirinya negara Israel dengan dukungan kuat dari Inggris dan Amerika Serikat, dinamika politik dan sosial di wilayah tersebut mengalami perubahan drastis. Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa, terutama bagi warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan militer, blokade, dan serangan militer berulang dari pihak Israel.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah tindakan militer Israel di Gaza dan Tepi Barat sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam peperangan, atau apakah tindakan tersebut melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional? Dalam peperangan, norma-norma tertentu harus dipatuhi, termasuk yang diatur dalam hukum humaniter internasional (HHI), yang bertujuan untuk melindungi mereka yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, seperti warga sipil. Oleh karena itu, penting untuk menilai apakah tindakan Israel dapat dianggap melanggar norma-norma yang telah disepakati oleh komunitas internasional dan apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang atau bahkan genosida.
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Sejarah
Konflik antara Israel dan Palestina bermula sejak awal abad ke-20, ketika gerakan Zionisme mulai mengadvokasi pembentukan negara Yahudi di tanah Palestina, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah dan kemudian Inggris setelah Perang Dunia I. Ketegangan meningkat seiring dengan masuknya imigran Yahudi ke wilayah tersebut, yang akhirnya memuncak pada pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Deklarasi negara Israel menyebabkan eksodus massal warga Palestina (Nakba), dan konflik bersenjata pun tak terelakkan.
Gaza dan Tepi Barat adalah dua wilayah yang paling terdampak oleh konflik ini. Setelah Perang Enam Hari (Six Day War) tahun 1967, Israel menduduki Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza. Sejak itu, kedua wilayah ini menjadi medan pertempuran yang intens antara Israel dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina, terutama Hamas di Gaza. Israel telah memberlakukan blokade ketat terhadap Gaza sejak tahun 2007, yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada 7 Oktober 2023, Hamas meluncurkan serangan terhadap Israel yang menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Serangan ini kemudian digunakan oleh Israel sebagai alasan untuk melancarkan serangan militer besar-besaran ke Gaza, yang kini meluas hingga ke Tepi Barat. Israel mengklaim bahwa serangan ini adalah tindakan defensif yang diperlukan untuk melindungi keamanan nasionalnya. Namun, banyak pihak internasional melihat bahwa serangan tersebut hanyalah alasan klise yang digunakan Israel untuk melanjutkan agresi militernya.
Sebelum serangan 7 Oktober terjadi, rakyat Palestina sudah mengalami penyiksaan setiap hari di bawah pendudukan Israel. Penangkapan tanpa pengadilan, pembongkaran rumah, dan pembatasan akses terhadap kebutuhan dasar adalah sebagian dari tindakan yang dihadapi oleh warga Palestina secara terus-menerus. Tindakan ini, yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, dapat dianggap sebagai bentuk genosida perlahan (slow genocide) yang direncanakan untuk menghancurkan eksistensi bangsa Palestina di wilayah tersebut. Israel terus menggunakan kekuatannya untuk menekan dan melemahkan rakyat Palestina, sementara komunitas internasional, meskipun mengeluarkan kecaman, sering kali tidak mampu menghentikan kekerasan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Analisis Tindakan Israel Berdasarkan Hukum Genosida
Selain hukum humaniter internasional yang mengatur perilaku dalam peperangan, terdapat pula Konvensi Genosida 1948 yang memberikan definisi dan larangan tegas terhadap tindakan genosida, baik dalam masa perang maupun damai. Pasal 1 Konvensi Genosida dengan jelas menyatakan bahwa:
"The Contracting Parties confirm that genocide, whether committed in time of peace or in time of war, is a crime under international law which they undertake to prevent and to punish."
Hal ini menunjukkan bahwa genosida dilarang dalam segala situasi, tanpa memperhatikan keadaan perang atau damai. Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional yang tidak hanya memerlukan pencegahan, tetapi juga hukuman bagi pelakunya. Dalam konteks Israel dan Palestina, tuduhan genosida sering kali muncul terkait dengan tindakan militer Israel yang berulang kali menargetkan penduduk sipil di Gaza dan Tepi Barat.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah definisi kejahatan genosida berdasarkan hukum internasional, khususnya dari Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi Genosida 1948). Poin-poin ini merujuk pada Pasal II Konvensi Genosida 1948 yang menjadi landasan dalam hukum internasional untuk mendefinisikan kejahatan genosida.
1. Membunuh anggota kelompok (killing members of the group): Tindakan pembunuhan yang ditujukan kepada individu-individu yang merupakan bagian dari kelompok tertentu dengan maksud untuk menghancurkan kelompok tersebut.
2. Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang serius kepada anggota kelompok (causing serious bodily or mental harm to members of the group): Tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang signifikan, seperti penyiksaan, perlakuan kejam, atau pelecehan yang ditargetkan terhadap anggota kelompok.
ADVERTISEMENT
3. Secara sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang akan menghancurkan kelompok tersebut secara fisik, baik sebagian atau seluruhnya (deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part): Tindakan yang menyebabkan kondisi kehidupan yang tidak layak, seperti kelaparan, deportasi, atau pengucilan, yang dirancang untuk menyebabkan kehancuran fisik kelompok.
4. Menerapkan langkah-langkah yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok (imposing measures intended to prevent births within the group): Kebijakan atau tindakan yang mencegah reproduksi kelompok, seperti sterilisasi paksa, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, atau larangan pernikahan di dalam kelompok tersebut.
5. Memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok ke kelompok lain (forcibly transferring children of the group to another group): Tindakan pemindahan anak-anak dari kelompok yang ditargetkan ke kelompok lain dengan tujuan untuk menghilangkan identitas kelompok asal.
ADVERTISEMENT
Jika tindakan Israel dianalisis berdasarkan definisi di atas, seluruh poinnya mengarah kepada tindakan genosida yang sudah dan sedang dilakukan oleh Israel. Misalnya, pembunuhan massal terhadap warga sipil Palestina, terutama di Gaza, melalui serangan udara dan penembakan, bisa dilihat sebagai bentuk "membunuh anggota kelompok" dan "mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat". Selain itu, blokade yang menyebabkan kelangkaan makanan, air, dan obat-obatan di Gaza dapat dikategorikan sebagai "menciptakan kondisi kehidupan yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik". Pembatasan akses ke obat-obatan dan peralatan medis terutama pemeriksaan kehamilan, perawatan prenatal, dan layanan persalinan merupakan betuk “tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran”. Kini, jika anak-anak di Palestina dipindah secara paksa, maka lengkaplah seluruh poin yang menunjukkan bukti bahwa kejahatan Israel sudah berada di level genosida.
ADVERTISEMENT
Perbandingan dengan Holocaust di Era Hitler
Untuk lebih memahami tuduhan genosida dalam konteks konflik Israel-Palestina, kita bisa membandingkannya dengan Holocaust, salah satu kasus genosida paling tragis di abad ke-20 yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler. Holocaust adalah kampanye sistematis untuk memusnahkan populasi Yahudi di Eropa melalui pembunuhan massal, termasuk di kamp-kamp konsentrasi. Holocaust dilakukan dengan tujuan yang jelas: pemusnahan total terhadap bangsa Yahudi, yang dianggap sebagai musuh rasial oleh Nazi.
Jika kita bandingkan dengan situasi di Gaza dan Tepi Barat, beberapa elemen dari tindakan Israel dapat dilihat sebagai upaya sistematis untuk menghancurkan kelompok bangsa atau etnis, dalam hal ini rakyat Palestina. Tindakan Israel, terutama blokade Gaza dan serangan berulang terhadap penduduk sipil, masuk dalam kategori “slow genocide”, di mana penghancuran terjadi secara bertahap melalui kebijakan dan tindakan yang menekan secara fisik dan mental.
ADVERTISEMENT
Pada era Holocaust, dunia internasional lambat dalam merespons, dan genosida Yahudi tidak dihentikan hingga perang usai. Ini memberikan pelajaran penting bagi komunitas internasional saat ini agar tidak mengabaikan tanda-tanda awal genosida dalam konflik modern. Dalam konteks Israel-Palestina, respon internasional sering kali terbelah antara kecaman terhadap tindakan Israel dan dukungan kuat yang diberikan oleh sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat.
Respon Internasional
Respon internasional terhadap tindakan militer Israel di Gaza dan Tepi Barat telah diwarnai oleh kecaman dan kritik dari berbagai negara dan organisasi internasional. Namun, Israel tampaknya tidak terpengaruh oleh tekanan global dan terus melanjutkan tindakan militernya. Kritik terhadap Israel sering kali dibarengi dengan dukungan kuat dari sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat, yang membuat upaya internasional untuk menghentikan agresi ini menjadi tidak efektif. Israel sudah "bermuka badak", seakan tuli terhadap seluruh protes yang terjadi di seluruh dunia. Protes-protes internasional, meskipun meluas, belum mampu memaksa Israel untuk menghentikan tindakannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang lebih konkret dan kuat. Salah satu opsi yang mungkin adalah memindahkan warga Palestina ke negara-negara Arab lain sebagai langkah darurat untuk melindungi mereka dari kekerasan yang terus berlanjut. Langkah ini tentu kontroversial dan penuh tantangan, tetapi bisa menjadi jalan keluar sementara untuk mengurangi penderitaan warga sipil. Alternatif lainnya adalah pengiriman pasukan militer internasional untuk memastikan perdamaian dan menghentikan genosida yang dilakukan oleh Israel. Jika tindakan ini tidak dimungkinkan di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena hambatan politik dan veto oleh negara-negara besar, maka tanggung jawab ini harus diambil oleh negara-negara yang masih menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Negara-negara ini harus bersatu dalam upaya kolektif untuk menghapuskan penjajahan dan mewujudkan perdamaian.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari kegagalan PBB untuk bertindak bisa jadi sangat serius. PBB bisa dianggap tidak berguna lagi jika tidak mampu menghentikan tindakan Israel yang semakin mengarah pada genosida. Selain itu, agresi militer Israel yang sudah kelewat batas berpotensi besar memicu perang dunia ketiga, terutama jika negara-negara Arab merasa harus bersatu untuk memberikan bantuan militer kepada Palestina. Dalam skenario ini, Afghanistan berpotensi memimpin koalisi negara-negara Muslim karena pengalaman mereka dalam memenangkan perang melawan kekuatan Barat. Pengalaman Afghanistan dalam melawan invasi Uni Soviet dan kemudian Amerika Serikat menunjukkan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk memimpin gerakan perlawanan yang dapat menginspirasi dan menyatukan negara-negara Muslim lainnya dalam menghadapi Israel.
Kesimpulan analisis ini, kegagalan komunitas internasional untuk bertindak lebih tegas tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas PBB, tetapi juga tentang kemunduran moral kolektif dunia. Apa artinya bagi norma-norma internasional jika pelanggaran hak asasi manusia sebesar ini dibiarkan berlanjut tanpa konsekuensi nyata? Kegagalan untuk bertindak tidak hanya merusak kredibilitas hukum internasional, tetapi juga mengikis rasa keadilan global. Komunitas internasional harus mempertimbangkan implikasi moral dari ketidakberdayaan mereka, karena hal ini dapat mengarah pada normalisasi kekerasan dan ketidakadilan dalam skala global. Penekanan lebih kuat pada aspek moral dan etika internasional sangat penting untuk mendorong tindakan yang tidak hanya legal tetapi juga benar secara moral.
ADVERTISEMENT