Konten dari Pengguna

Warisan Soviet yang ditunjukkan Rusia dibawah Kepemimpinan Vladimir Putin

Rendy Artha Luvian
Saat ini menjalani keseharian sebagai mahasiswa Pascasarjana DTC HI Fakultas Fisipol UGM. Seorang penulis yang mencurahkan ide, gagasan, dan pemikirannya melalui tinta. Bekerja sebagai staf di Subbid Produksi Informasi Iklim & Kualitas Udara - BMKG.
17 Desember 2024 18:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rendy Artha Luvian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi AI, sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi AI, sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Manusia membuat sejarahnya sendiri, namun demikian, dia tidak bisa membuatnya sesuka hati dengan keadaan yang dapat dipilihnya sendiri. Manusia berinteraksi dengan kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang ada ketika ia tumbuh dan berkembang. Perspektif ini menggambarkan dialektika antara agen dan struktur, di mana agen adalah aktor sosial yang beroperasi dalam lingkungan struktur tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kepemimpinan Vladimir Putin, dialektika ini menjadi sangat relevan. Putin, sebagai mantan agen dalam struktur politik Soviet, tidak hanya sekedar memerintah dengan mengikuti ideologi Rusia yang baru, tetapi juga dipengaruhi oleh sejarah kejayaan Uni Soviet di masa lalu. Kepemimpinan Putin menggambarkan bagaimana interaksi antara seorang aktor dan struktur tempatnya berada ketika bertumbuh kembang dapat menciptakan perubahan signifikan dalam sejarah. Ia tidak hanya berperan sebagai penggerak, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan Rusia di panggung internasional.
Masa Kejayaan Uni Soviet dan Warisan Putin
sumber: freepik.com
Vladimir Putin bukan sekadar seorang politisi; ia adalah produk dari Uni Soviet. Sebagai mantan agen rahasia KGB, Putin menghabiskan masa mudanya di tengah ketegangan Perang Dingin, di mana Uni Soviet menjadi rival utama Amerika Serikat. Ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, Rusia yang baru berdiri di bawah Boris Yeltsin berupaya membuka diri pada dunia barat. Namun, transisi ini tidak berjalan mulus. Krisis ekonomi, instabilitas politik, dan ketidakpuasan sosial mengikis kepercayaan rakyat Rusia terhadap nilai-nilai demokrasi barat.
ADVERTISEMENT
Putin, yang naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1999 sebenarnya membawa visi berbeda. Meskipun di awal sudah berusaha untuk bertindak kooperatif dengan barat, namun kenangan akan kejayaan masa lalu dan rasa kehilangan akibat runtuhnya Uni Soviet kemudian menjadi fondasi narasi politiknya. Ia menyadari bahwa banyak rakyat Rusia merindukan posisi negara mereka sebagai kekuatan global yang dihormati dan ditakuti. Dalam pidatonya, Putin sering menyebut pentingnya membangun kembali "Rusia yang kuat" untuk menyeimbangkan dominasi barat, khususnya Amerika Serikat.
Dinamika Internasional di Era Putin
sumber: freepik.com
Nostalgia akan kejayaan Uni Soviet akhirnya menciptakan kebijakan luar negeri yang agresif. Salah satu langkah signifikan yang diambil adalah penentangan terhadap ekspansi NATO di Eropa Timur. Ketika Ukraina menunjukkan minat untuk bergabung dengan NATO, Rusia merespons dengan mencaplok Krimea pada tahun 2014. Langkah ini mencerminkan pandangan geopolitik Putin bahwa wilayah bekas Uni Soviet adalah "halaman belakang" Rusia yang harus dijaga dari pengaruh barat.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, Putin berusaha membangun aliansi baru yang dapat menantang dominasi ekonomi dan politik barat. Bersama Cina, India, Brasil, dan Afrika Selatan, Rusia mendirikan BRICS, sebuah blok ekonomi yang berupaya menciptakan keseimbangan dalam sistem internasional. Meskipun banyak yang melihat BRICS sebagai platform ekonomi, bagi Putin, ini adalah simbol perlawanan terhadap hegemoni barat.
Langkah-langkah yang diambil Putin telah menciptakan dinamika internasional yang mengingatkan pada era Perang Dingin. Kebijakan luar negeri Rusia di bawah Putin sering kali berbenturan dengan kepentingan barat, mulai dari konflik di Suriah hingga keterlibatan dalam pemilu negara-negara lain. Ketegangan ini semakin memuncak dengan invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, yang memicu sanksi ekonomi besar-besaran dari negara-negara barat.
ADVERTISEMENT
Putin tampaknya tidak gentar dengan isolasi yang dialami Rusia. Sebaliknya, ia menggunakan situasi ini untuk memperkuat narasi nasionalisme domestik. Rakyat Rusia diajak untuk melihat barat sebagai ancaman yang harus dilawan, dan Putin sebagai pemimpin yang mampu melindungi kepentingan nasional Rusia. Ini mencerminkan perspektif realis dalam hubungan internasional, di mana negara dianggap sebagai aktor utama yang berjuang untuk bertahan dan mencapai kekuatan maksimal dalam sistem yang anarkis.
Perspektif Realis dalam Kebijakan Putin
sumber: freepik.com
Pendekatan Putin terhadap politik internasional sangat berakar pada pandangan realis. Dalam perspektif ini, kekuatan militer dan ekonomi menjadi elemen utama dalam menentukan posisi suatu negara di sistem internasional. Putin melihat Amerika Serikat dan Eropa sebagai ancaman potensial terhadap kedaulatan Rusia, sama halnya pada saat di zaman Uni Soviet dahulu. Oleh karena itu, ia selalu berusaha memperkuat perekonomian yang dilakukan dengan semangat de-dolarisasi. Lalu menjaga pengaruh di sekitar wilayah kekuasaan, terutama daerah-daerah perbatasan yang strategis. Peningkatan kapabilitas militer Rusia yang selalu melakukan modernisasi senjata militer dengan teknologi canggih juga menjadi salah satu cara agar tidak tertinggal dengan teknologi militer Amerika.
ADVERTISEMENT
Selain itu Putin juga menyadari pentingnya membangun aliansi strategis untuk menyeimbangkan kekuatan dengan barat. Hubungan dekat dengan Cina, misalnya, menjadi bagian dari strategi ini. Kedua negara berbagi pandangan bahwa dominasi Amerika Serikat dalam sistem internasional harus diimbangi. Selain itu, Rusia juga memperluas pengaruhnya di Timur Tengah dan Afrika, menawarkan alternatif bagi negara-negara yang merasa terpinggirkan.
Kebijakan agresif Putin telah membawa Rusia kembali ke peta kekuatan global, tetapi dengan biaya yang mahal. Isolasi internasional dan sanksi ekonomi telah melemahkan ekonomi Rusia. Namun, bagi Putin, mempertahankan posisi Rusia sebagai kekuatan besar lebih penting daripada pertimbangan ekonomi jangka pendek. Oleh karena itu Rusia, seperti halnya Uni Soviet di masa lalu juga membangun aliansi strategis bersama Brazil, Indina, Cina, dan Afrika Selatan. Di sisi lain, ketegangan yang meningkat antara Rusia dan barat menciptakan risiko konflik yang lebih besar. Dunia tampaknya sedang berada di ambang Perang Dunia Ketiga, yang tidak hanya bisa dilihat dari konflik militer namun juga dari sisi persaingan teknologi dan ekonomi global yang ikut menjadi medan perang.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan Vladimir Putin menunjukkan bagaimana seorang aktor dapat dipengaruhi oleh struktur di masa lalu dalam menciptakan sejarah pada sruktur yang baru, yang sayangnya belum banyak berubah jika dilihat dari peristiwa historis yang sudah pernah terjadi. Dengan menghidupkan kembali semangat kejayaan Uni Soviet, Putin telah mengubah Rusia menjadi saingan utama barat. Meskipun langkah-langkah ini membawa Rusia ke dalam konfrontasi langsung dengan Amerika Serikat dan sekutunya, Putin tetap teguh pada visinya untuk membangun kembali kejayaan Rusia. Sebagai hasilnya, dunia kini menghadapi realitas baru: berlanjutnya perang dingin yang lambat laun akan bertransformasi menjadi perang dunia ketiga.