Konten dari Pengguna

Katambung sebagai Simbol Spiritual Upacara Tiwah Suku dayak

Rabiatul Hasanah
Mahasiswa IAIN Palangka Raya
12 Juni 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rabiatul Hasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Upacara Tiwah merupakan sebuah upacara pemakaman tradisional yang memiliki nilai sakral dan spiritual yang sangat penting bagi suku Dayak di Kalimantan di mana dalam prosesi upacara ini, terdapat peran penting yang dimainkan oleh alat musik tradisional yang dikenal sebagai Katambung. Katambung merupakan alat musik yang terbuat dari bahan kayu keras (Ulin) yang dilubangi pada bagian tengahnya dengan sumber suaranya berasal dari kulit reptil yang ditempelkan menggunakan sejenis getah pada kulit tersebut, sehingga menghasilkan bunyi yang khas dan unik. Alat musik ini dimainkangan cara dipukul menggunakan telapak tangan, sehingga menciptakan irama yang mendalam dan memberikan nuansa sakral dalam setiap tahapan Upacara Tiwah, mengiringi setiap rangkaian ritual dengan nada yang memanggil roh leluhur dan menghubungkan dunia manusia dengan dunia roh, serta memperkuat nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi oleh suku Dayak.
ADVERTISEMENT
Katambung merupakan alat musik perkusi sejenis kendang yang memiliki panjang sekitar 75 cm, yang biasa digunakan oleh masyarakat suku Dayak Ngaju yang tinggal di Kalimantan Tengah, dan diperkirakan telah berkembang sebelum abad ke-10 . Bentuk alat musik ini tergolong unik karena menyerupai labu siam atau labu air, menambah keistimewaan tersendiri yang membedakannya dari alat musik perkusi lainnya. Keunikan ini tidak hanya terletak pada bentuknya, tetapi juga pada suara yang dihasilkan, yang membawa nuansa khas dan memiliki makna budaya serta spiritual mendalam bagi masyarakat Dayak Ngaju. Katambung menjadi salah satu elemen penting dalam berbagai upacara dan ritual adat, terutama dalam upacara pemakaman tradisional Tiwah.
Upacara Tiwah memiliki akar yang sangat dalam pada kebudayaan dan kepercayaan suku Dayak, khususnya Dayak Ngaju, yang menetap di Kalimantan Tengah. Sejarah awal mula Tiwah di Kalimantan Tengah dapat ditelusuri kembali ke masa sebelum abad ke-10 Masehi, saat masyarakat Dayak Ngaju mulai menetapkan berbagai tradisi dan ritual yang berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap roh leluhur dan dunia spiritual. Satu hal yang erat berhubungan dengan upacara kematian yaitu konsep mengenai dunia ahirat, di mana beberapa kelompok orang Dayak di Kalimantan Timur memiliki konsep yang sama mengenai dunia akhirat dengan beberapa kelompok orang Dayak yang tinggal di Kalimantan Tengah. Mereka percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal akan menetap di sebuah tempat yang namanya lumut. Nama tersebut berasal dari nama sebuah gunung yang mereka anggap sebagai tempat para arwah berdiam.
Foto : Pelaksanaan ritual Tiwah.
Karena, Pandangan orang Dayak terhadap kematian adalah kembalinya roh yang disebut dengan Salumpuk Liau. Salumpuk Liau harus dikembalikan kepad Hatalla. menjelaskan, prinsip keyakinan Kaharingan menyatakan bahwa roh harus diantar ke Lewu Liau (negeri arwah). Sebab roh orang Dayak yang baru meninggal dibawa oleh Nyalung Kaharingan Belum ke Lewu Bukit Nalian Lanting, belum sampai ke Lewun Tatau dimana Ranying Hatalla bertahta. Oleh sebab itu, keyakinan Kaharingan roh itu akan sampai kehadapan Ranying Hatalla melalui upacara Tiwah. Menurut pandangan Dayak Ngaju, setiap orang mati adalah Buli Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raja Isen Kamalasu Uhat, yaitu surga, tempat yang kaya raya, sejahtera dan membahagiakan. Tidak ada kesusahan dan kemiskinan serta kesengsaraan, disinilah peran upacara Tiwah itu menjadi penting.
ADVERTISEMENT
Upacara Tiwah adalah bagian dari agama asli Dayak, yaitu Kaharingan, yang menempatkan pentingnya pemujaan roh leluhur dalam kehidupan sehari-hari. Menurut kepercayaan Kaharingan, roh orang yang telah meninggal dunia memerlukan bantuan untuk mencapai Lewu Tatau atau tempat kedamaian di alam akhirat. Upacara Tiwah diberlakukan kepada orang atau anggota keluarga yang telah lama meninggal dan sudah lama dikubur dengan usia makam bisa 7 - 10 tahun lamanya karena yang diperlukan dalam ritual Tiwah adalah tulang-belulang orang yang telah meninggal. Setelah menunggu untuk waktu yang lama, barulah makam-nya bisa digali, kemudian dilakukan berbagai ritual, dan terakhir tulang-belulang tersebut akan diletakkan ke dalam "Sandung" atau "Pambak". Proses ini tidak hanya sekedar pemindahan jasad dari makam sementara ke Sandung, tetapi juga merupakan ritus penyucian yang memastikan bahwa roh tersebut dapat beristirahat dengan tenang dan membawa berkah bagi yang masih hidup.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Upacara Tiwah, Katambung memainkan peran esensial dalam menciptakan suasana sakral dan khidmat, mengiringi prosesi pemindahan tulang belulang dari makam sementara ke Sandung, serta membantu memastikan bahwa ritus penyucian tersebut dilaksanakan dengan penuh penghormatan dan keagungan. Melalui alunan suara Katambung, para peserta upacara diyakini dapat lebih mudah merasakan kehadiran dan berkah roh leluhur, sehingga instrumen ini menjadi elemen yang tak tergantikan dalam mempertahankan tradisi dan nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Dayak Ngaju, serta menjaga kesinambungan antara generasi masa lalu dan masa kini. Dalam aspek ritual, Katambung memainkan peran yang sangat penting dalam mendukung berbagai tahap upacara, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan inti upacara, di mana setiap bunyi yang dihasilkan oleh alat musik ini memiliki makna dan tujuan tertentu yang mendalam, seperti untuk mengusir roh jahat, memanggil roh leluhur, dan menciptakan suasana yang kondusif bagi pelaksanaan ritus.
ADVERTISEMENT
Di luar aspek ritual, Katambung juga berfungsi sebagai simbol identitas budaya dan spiritual masyarakat Dayak Ngaju, mengingat bahwa alat musik ini sering kali dibuat dan diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga mengandung nilai-nilai historis dan emosional yang sangat penting bagi kalangan tersebut. Dalam pelaksanaan Upacara Tiwah, kehadiran Katambung menjadi semacam jembatan yang menghubungkan dunia fisik dengan dunia spiritual, memberikan rasa aman dan tenteram kepada para peserta upacara, serta memastikan bahwa setiap tahapan upacara dilaksanakan sesuai dengan adat dan tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Dengan demikian, peran dan fungsi Katambung dalam Upacara Tiwah tidak hanya terbatas pada aspek musikal semata, tetapi juga mencakup aspek-aspek spiritual, kultural, dan sosial yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan dan keutuhan tradisi Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, upacara Tiwah masih dipraktikkan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, termasuk di Palangka Raya, dengan beberapa penyesuaian yang mencerminkan perubahan zaman, tetapi tetap mempertahankan inti dari tradisi tersebut. Upacara ini tidak hanya menjadi simbol spiritualitas tetapi juga menjadi daya tarik budaya yang memperkenalkan kekayaan tradisi Dayak kepada dunia luar.