Ramuan Indonesia untuk Redam Gejolak Ketidakpastian Global

Rabiul Misa
Pegawai Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2023 20:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rabiul Misa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerja sama. Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerja sama. Sumber: Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam satu dekade terakhir, dunia diwarnai tensi perang dagang Amerika dan Tiongkok disusul ketegangan geopolitik yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, pandemi covid-19 berujung pada scarring effect. Tak pelak, kondisi ini memberikan dampak langsung terhadap kestabilan ekonomi global.
Indeks economic policy uncertainty (EPU) yang kerap dijadikan acuan ketidakpastian kondisi global, memperlihatkan tren yang mulai meningkat semenjak 2008.
Bahkan, indeks EPU terus mencapai puncaknya pada April 2020 seiring maraknya pembatasan aktivitas masyarakat dan industri guna merespons wabah virus covid-19 yang merebak di berbagai penjuru dunia.

Urgensi Langkah Dedolarisasi

Hingga saat ini, supremasi dolar AS sebagai mata uang internasional masih mampu mendestabilisasi kebijakan moneter di banyak negara, pasalnya greenback mendominasi hampir 60% cadangan devisa global.
Tak ayal diskursus dedolarisasi menghangat di kalangan bank sentral semenjak medio 2022 silam. Upaya ini dimaksudkan untuk menghilangkan/mengurangi penggunaan dolar AS oleh suatu negara.
ADVERTISEMENT
Langkah inisiatif pertama kali diambil oleh Rusia ketika AS menetapkan sanksi atas invasi yang dilakukannya terhadap Ukraina. Pada saat itu, Negeri Paman Sam menempuh jalur weaponization dengan membekukan cadangan devisa Negeri Beruang Merah sebanyak lebih dari 300 milar dollar AS.
Tidak berhenti sampai disitu, Rusia juga dikeluarkan dari akses jaringan perbankan global (SWIFT) sebagai sarana setelmen transaksi lintas-batas.
Lantas strategi tersebut direspon pemerintah Rusia dengan menghentikan penggunaan mata uang dollar AS untuk transaksi bilateral dengan negara-negara pendukungnya, termasuk China, Brasil, dan India.
Rusia turut mengembangkan jaringan pesan pembayarannya sendiri, yang disebut SPFS. Sistem ini telah menangani sekitar seperlima pembayaran domestik, meskipun tidak seefisien jaringan SWIFT.
Setali tiga uang, tren dedolarisasi mulai menjalar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tingginya tingkat inflasi dan tumbangnya beberapa bank memicu kekhawatiran akan instabilitas pasar keuangan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Alhasil, dedolarisasi kemudian dianggap sebagai solusi efektif untuk meminimalkan efek rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.

Akselerasi Transaksi Mata Uang Lokal

Ilustrasi mata uang asing. Sumber: Pexels.com
Di Indonesia sendiri, Bank Indonesia tengah gencar mengakselerasi local currency transaction (LCT) dalam beberapa kurun waktu terakhir agar mengurangi ketergantungan terhadap Dollar AS ketika bertransaksi dengan negara mitra.
LCT sendiri merupakan penyelesaian transaksi bilateral yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara dimana setelmen dilakukan di dalam yurisdiksi wilayahnya.
Terkini, LCT tengah mendapat perhatian publik dalam perhelatan ASEAN Chairmanship 2023 hingga ditetapkan sebagai salah satu target capaian ekonomi atau priority economic deliverables (PEDs), yakni memajukan konektivitas sistem pembayaran dan mempromosikan literasi dan inklusi keuangan digital untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, serta memperkuat ketahanan sektor keuangan.
ADVERTISEMENT
Tentunya, LCT digadang-gadang dapat menjadi lokomotif potensial dalam rangka mereduksi hegemoni dollar AS yang pada gilirannya dapat memperkuat bargaining position ASEAN sebagai “Epicentrum of Growth”.
Eksistensi platform tersebut perlahan mulai mencuat ke permukaan, Bank Indonesia mencatat nilai transaksi LCT Indonesia dengan empat negara mitra dagang (Thailand, Malaysia, Jepang dan Tiongkok) berhasil menembus 4,1 miliar dolar AS pada 2022.
Angka tersebut mengalami pertumbuhan eksponensial sejak awal peluncurannya pada 2018 yang tercatat hanya 348,5 juta dolar AS.
Tak terbantahkan lagi, hadirnya LCT semakin mempermudah transaksi bilateral antara pelaku usaha di negara mitra seiring rendahnya biaya transaksi hingga tersedianya likuiditas yang cukup.

Kolaborasi QR Code Lintas-Batas

Segendang sepenarian, Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran tanah air terus berupaya membangun konektivitas pembayaran ritel dengan negara ASEAN melalui penggunaan kode QR.
ADVERTISEMENT
Teranyar, Bank Indonesia telah menjalin kerja sama Cross-border QR Payment Linkage dengan Malaysia. Kolaborasi ini memungkinkan turis Indonesia yang hendak bertransaksi dengan merchant Negeri Jiran, cukup memindai Duit Now QR (Kode QR Malaysia) menggunakan aplikasi pembayaran tanah air. Demikian pula sebaliknya.
Kolaborasi serupa tengah digarap dengan Singapura yang memasuki tahap inisiasi. Bahkan, Vietnam, Brunei Darussalam, Kamboja, dan Laos disinyalir berminat untuk ikut andil dalam ekosistem tersebut.
Hal ini sejalan dengan publikasi Visa berjudul ‘Consumer Payment Attitudes Study 2022’ yang menyatakan 83% responden di ASEAN memiliki ketertarikan menggunakan pembayaran kode QR.
Berangkat dari suksesi kepemimpinan penyelenggaraan ASEAN Chairmanship tahun ini, Indonesia diharapkan senantiasa menjalin sinergi yang kuat dalam memajukan konektivitas sistem pembayaran negara-negara di kawasan ASEAN.
ADVERTISEMENT
Muara akhirnya, stabilitas ekonomi maupun keuangan domestik semakin robust dan resilient untuk meredam gejolak ketidakpastian global.