Konten dari Pengguna

Dibalik Transisi Energi Hijau Kendaraan Listrik Bagi Republik Demokratik Kongo

Rachel Wotulo
Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia
27 Oktober 2024 1:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachel Wotulo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perkembangan Energi Hijau Mobil Listrik Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Perkembangan Energi Hijau Mobil Listrik Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Republik Demokratik Kongo sebagai negara yang memiliki sumber daya terkaya di dunia, yakni kobalt, tembaga, emas, dan berlian memiliki peran krusial dalam industri teknologi global. Salah satu sumber daya yang saat ini diperlukan adalah bahan utama pembuatan baterai untuk mobil listrik dan elektronik. Bagi negara-negara maju akses ke sumber daya ini sangat penting dalam mendukung ekonomi di era transisi energi hijau yang sejalan dengan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs).
ADVERTISEMENT
Perkembangan transisi energi hijau, telah diidentifikasi sebagai langkah penting dalam mengurangi emisi karbon global dan memperlambat laju perubahan iklim. Namun, di balik narasi yang optimistis mengenai perkembangan teknologi ini, terdapat kenyataan pahit mengenai eksploitasi yang terjadi di Republic Democratic of Congo (DRC).
DRC, yang kaya akan kobalt, merupakan salah satu negara penghasil terbesar mineral, yang sangat penting dalam produksi baterai untuk mobil listrik. Sayangnya, kekayaan ini tidak dapat dimanfaatkan atau diolah sendiri oleh Kongo dan banyak negara-negara barat dan Tiongkok yang mengeksploitasi dan memperebutkan 2K ini yakni Kepentingan dan Keuntungannya.
Mengapa dapat menyebabkan kerusakan lingkungan?
Penambangan Kobalt dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dimana dalam perkembangan mobil listrik ini memerlukan baterai lithium-ion, yang salah satu komponen utamanya adalah kobalt. Kobalt membantu meningkatkan kepadatan energi dan daya tahan baterai. Diperkirakan sekitar 70% dari produksi kobalt dunia berasal dari DRC, yang didukung dengan permintaan kobalt terus mengalami pertumbuhan sebesar 22% Pada tahun 2021 dan diperkirakan akan naik sebesar 13% per tahun yang membuat negara ini menjadi pusat perhatian global dalam revolusi kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Kemudian limbah bahan kimia berbahaya dari proses penambangan dapat mencemari sumber air, dan menurunkan kualitas tanaman. Tingginya konsentrasi kobalt juga dapat membunuh tanaman dan cacing yang berperan penting dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, polusi udara akibat penambangan kobalt sangat berbahaya karena kandungan zat beracun yang dapat membahayakan kesehatan jika terhirup.
Ironisnya, mobil listrik yang dipromosikan sebagai solusi hijau justru memiliki jejak menghancurkan lingkungan di DRC yang tidak sesuai dengan tujuan awal dalam menjaga lingkungan. Mobil listrik yang diharapkan dapat mengurangi emisi karbon justru memberikan dampak buruk bagi negara penghasil bahan baku baterai ini dengan krisis ekologi dan sosial yang akut. Selain itu kondisi pekerja di pertambangan dipertanyakan keselamatannya. Faktanya banyak anak-anak juga diikutsertakan di tambang kobalt, tanpa peralatan keselamatan, dengan bayaran yang sangat rendah. Eksploitasi ini terjadi di bawah pengawasan pemerintah yang lemah dan sering kali melibatkan Multinational Coorperation (MNC) yang mencari keuntungan dengan mencari bahan baku murah untuk produksi baterai.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, alih-alih membawa perubahan untuk industri hijau, keberadaan industri kobalt di Kongo menjadi tantangan baru konsep SDGs yang akan dicapai dalam 2030 dipertanyakan karena saat ini dapat dinilai menutup lubang dan menggali lubang permasalahan baru, perlu ditinjau lebih jauh mengenai solusi yang ditawarkan mengenai transisi energi dengan perkembangan mobil listrik.
Penggunaan kobalt sebagai bahan utama dalam produksi baterai mobil listrik mengungkapkan ketidakadilan struktural dalam transisi energi global. Meski mobil listrik dipromosikan sebagai solusi untuk memerangi perubahan iklim, dampaknya terhadap negara-negara penghasil sumber daya seperti Demodratic Republic of Congo sangatlah tidak adil. Ini mencerminkan bagaimana narasi keberlanjutan global sering kali masih tidak sesuai dengan yang terjadi dilapangan terutama di negara-negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Regulasi SDGs masih belum seimbang antara tujuan-tujuan global dan realitas lokal. implementasinya sering kali tidak sesuai atau merugikan negara-negara yang masih berkembang. Maka diperlukan regulasi dan peninjauan yang lebih baik sesuai dengan prinsip “no one left behind