Konten dari Pengguna

Lika-Liku Kebijakan PPN 12% di Indonesia

Rachel Jenny
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
1 Februari 2025 18:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachel Jenny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lika-Liku Kebijakan PPN 12% di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pada penghujung tahun 2024, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Di berbagai platform media sosial terlihat banyak sekali kritik dan keluh kesah yang dilontarkan masyarakat kepada pemerintah terkait kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Masyarakat menilai kebijakan ini merugikan rakyat karena di Indonesia masih banyak penduduk dengan penghasilan di bawah rata-rata, sehingga dengan adanya kenaikan tarif PPN ini akan membebankan mereka karena meningkatnya harga barang kena pajak yang dijual.
Kenaikan tarif PPN ini sebenarnya sudah diamanatkan di UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tepatnya pada pasal 7 ayat (1) huruf b, yang menyebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12% ini mulai berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.
Selain itu, dalam pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen). Jadi, tarif 12% ini masih masuk dalam range yang telah ditentukan dalam UU.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan UU HPP, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, serta uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Selain keempat barang ini, semua barang yang dikonsumsi masyarakat akan dikenai PPN. Inilah yang menyebabkan banyak masyarakat yang tidak setuju dengan kenaikan PPN, karena mereka harus mengeluarkan uang yang lebih dari sebelumnya dalam kegiatan konsumsi mereka.
Selain rumah tangga, para pelaku UMKM pun juga merasa terbebani karena dengan naiknya PPN, mereka juga harus menyesuaikan harga barang yang dijual menjadi lebih mahal dari sebelumnya. Kenaikan harga inilah yang akan mengurangi daya beli masyarakat, sehingga penjualan menjadi turun.
Walaupun kenaikan tarif PPN ini dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi jika daya beli masyarakat menurun, maka dalam jangka pendek perekonomian akan menjadi lesu karena masyarakat lebih memilih menyimpan uang mereka dan membatasi konsumsi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan UU, karena telah disahkan oleh DPR, maka pemerintah harus tetap memberlakukan kenaikan PPN 12% ini. Sehari menjelang tahun baru 2025, yaitu pada tanggal 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto resmi mengumumkan bahwa kenaikan PPN sebesar 12% resmi diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Namun, tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN 12%, melainkan hanya barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, yaitu barang yang saat ini dikenakan PPnBM.
Berdasarkan Pasal 16B UU HPP tentang Pajak Pertambahan Nilai, untuk barang dan jasa lain seperti yang termasuk kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran, kemudian juga jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, air minum tetap diberikan pembebasan PPN yaitu tarif 0%.
ADVERTISEMENT
Lalu apakah barang dan jasa lainnya tetap terkena tarif PPN 11%? Jawabannya tidak seperti itu. Walaupun PPN 12% hanya untuk barang kena pajak yang tergolong mewah, namun tarif 12% tetap berlaku untuk barang kena pajak non-mewah, tetapi dengan rumus atau dasar pengenaan pajak yang berbeda.
Mengacu pada Pasal 2 ayat (2) PMK 131/2024, untuk barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah, PPN dikenakan dengan mengalikan tarif 12% dengan harga jual barang atau nilai impor barang.
Selain barang kena pajak yang tergolong mewah, sisanya, berdasarkan Pasal 3 ayat (3) dan (4), PPN dikenakan dengan cara mengalikan tarif 12% dengan dasar pengenaan pajak sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Jadi, untuk barang non-mewah, tarif 12% tidak langsung dikalikan dengan harga barang. Sehingga untuk barang non-mewah, tetap dikenakan PPN efektif 11%.
ADVERTISEMENT
Walaupun banyak masyarakat yang kontra dengan kebijakan kenaikan tarif PPN 12% ini, namun karena telah diatur dalam UU HPP, maka pemerintah harus tetap menjalankannya.
Langkah yang diambil pemerintah merupakan langkah yang tepat karena tanpa mengubah atau merevisi UU HPP, pemerintah memutuskan untuk menggunakan DPP nilai lain sebagaimana diatur dalam PMK 131/2024. Keputusan pemerintah tanpa menyalahi ketentuan UU ini diambil agar masyarakat tidak terbebani dengan kenaikan PPN dan masyarakat tidak perlu khawatir dengan harga barang yang akan naik, karena pada dasarnya penghitungan PPN ini sama saja dengan tarif PPN 11% yang berlaku sebelumnya.