Konten dari Pengguna

Menteri Pendidikan Terburuk Sepanjang Sejarah: SDM Indonesia Sedang Kritis

Rachma Alya Putri
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya Jurusan Ilmu Administrasi Negara
7 November 2024 12:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachma Alya Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Indonesia | Foto : Instagram @mendikbudristek27
zoom-in-whitePerbesar
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Indonesia | Foto : Instagram @mendikbudristek27
ADVERTISEMENT
Nadiem Makarim, menjabat sebagai menteri pendidikan dari tahun 2019 sampai tahun 2024. Pakar pendidikan nasional, Ki Darmaningtyas menilai Nadiem Makarim telah menjadi menteri pendidikan terburuk yang pernah ada. Julukan tersebut diberikan kepada seorang menteri Mendikbudristek berdasarkan apa yang dilakukannya selama ini sebagai orang nomor satu di dunia pendidikan tanah air. Menurut Ki Darmaningtyas jika dibandingkan dengan yang lain-lain tata kelola sistem pendidikan di masa Nadiem Makarim lebih tertutup dan lebih banyak melakukan klarifikasi kebijakan. Menurutnya berbagai klarifikasi yang dilakukan Kemendikbudristek berakar dari terlalu tertutupnya Nadiem Makarim terkait program yang tengah dibuat karena kebijakan itu tidak pernah dicoba untuk di-share dan meminta pendapat kepada orang-orang yang tahu dan berpengalaman dalam bidang tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu kebijakan ciptaan Nadiem Makarim yaitu Kurikulum Merdeka yang di adaptasi dari sistem pendidikan di Finlandia. Sebelum China muncul sebagai kiblat pendidikan baru. Finlandia juga sempat dijuluki sebagai kiblat pendidikan bagi semua negara karena sistem pendidikannya yang sangat baik. Kenapa begitu? karena, selain karena pendidikan gratis, sistem pendidikannya mengusung kurikulum yang fokus pada perkembangan anak sebagai pembelajar seumur hidup.
Sistem pendidikan di Finlandia tidak memiliki tes atau ujian yang diwajibkan, kecuali satu ujian pada akhir tahun terakhir siswa di sekolah menengah atas. Selain itu, tidak ada juga pemeringkatan. Hal ini yang membuat kualitas siswa di Finlandia bisa berkembang secara maksimal. Sebab, tidak ada perbandingan atau persaingan antar siswa, sekolah atau daerah. Anak-anak Finlandia memiliki kesempatan yang baik untuk mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang sama, tidak peduli apakah dia tinggal di pedesaan atau di kota.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang sering dikutip sebagai contoh dalam pendidikan, Finlandia memiliki sistem yang terkenal karena pendekatan inovatifnya. Namun, ketika Indonesia mencoba mengadopsi sebagian besar komponen dari sistem ini, hasilnya justru sebaliknya.
Sistem Zonasi
Kebijakan zonasi pendidikan di Indonesia juga diperkenalkan sebagai salah satu upaya untuk mendistribusikan siswa secara lebih merata dan meningkatkan kesetaraan dalam akses pendidikan. Namun, zonasi malah memperlihatkan tantangan tersendiri dalam penerapannya.
Di kota Malang, misalnya, distribusi sekolah menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Dari 10 sekolah menengah atas negeri (SMA Negeri) yang ada di kota tersebut, 8 sekolah berada di satu kecamatan. Hal ini menyebabkan siswa dari kecamatan lain kesulitan untuk mengakses sekolah negeri. Mereka harus memilih sekolah swasta atau sekolah kejuruan (SMK) yang mungkin tidak sesuai dengan pilihan akademis mereka.
ADVERTISEMENT
Kebijakan zonasi pendidikan di Indonesia diperkenalkan sebagai salah satu upaya untuk mendistribusikan siswa secara lebih merata dan meningkatkan kesetaraan dalam akses pendidikan. Namun masalah migrasi domisili, sekolah kelebihan calon peserta didik, sekolah kekurangan siswa, adanya praktek pungli dan anak keluarga kurang mampu tidak tertampung di sekolah negeri muncul akibat diterapkannya sistem ini. Tujuannya baik, namun pelaksanaannya yang bermasalah.
Fasilitas dan Infrastuktur yang kurang memadai
Salah satu faktor utama kegagalan kebijakan pendidikan Finlandia di Indonesia adalah perbedaan besar dalam infrastruktur dan fasilitas. Finlandia memiliki fasilitas pendidikan yang merata di seluruh wilayah, dengan sekolah-sekolah yang dilengkapi laboratorium, fasilitas olahraga, dan ruang kelas yang modern. Di sisi lain, Indonesia masih menghadapi kekurangan fasilitas dasar di banyak daerah, terutama di wilayah pedesaan dan terpencil.
ADVERTISEMENT
Kebijakan zonasi yang diterapkan di Indonesia sering kali tidak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur. Sehingga, meskipun kebijakan tersebut bertujuan untuk pemerataan pendidikan, banyak siswa yang justru terkendala oleh ketidakadaan fasilitas memadai di dekat tempat tinggal mereka. Ini jelas menunjukkan bahwa adopsi kebijakan tanpa memperhatikan kesiapan infrastruktur tidak akan berhasil.
Kualitas Guru yang Kurang Mendukung
Setiap guru di Finlandia diwajibkan memiliki gelar master dan mendapatkan pelatihan intensif. Mereka juga diberikan gaji yang kompetitif, sehingga menarik individu terbaik untuk menjadi pendidik. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia, di mana banyak guru, terutama guru honorer, tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dan gaji yang cukup.
Di Indonesia, guru sering kali dibebani dengan tugas-tugas administratif yang memakan banyak waktu, tanpa mendapatkan dukungan yang memadai untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Banyak guru yang harus menghabiskan waktu mereka untuk menangani masalah administrasi, yang akhirnya mengurangi waktu yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih baik dan mendukung siswa secara lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Kurangnya dukungan kepada guru-guru honorer dan beban administrasi yang berat ini turut berkontribusi pada rendahnya kualitas pendidikan di banyak sekolah di Indonesia. Sementara itu, di Finlandia, pemerintah memastikan bahwa guru-gurunya diberi ruang dan fasilitas untuk berkembang dan fokus pada pengajaran.
Rendahnya Kesadaran Masyarakat Terhadap Pendidikan
Faktor lain yang membedakan antara Finlandia dan Indonesia dalam konteks pendidikan adalah kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan. Di Finlandia, pendidikan dianggap sebagai tanggung jawab bersama antara sekolah, pemerintah, dan keluarga. Orang tua dan komunitas sangat terlibat dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka, bahkan sejak usia dini.
Sebaliknya, di Indonesia, keterlibatan masyarakat dalam mendukung pendidikan belum merata, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak orang tua yang kurang menyadari pentingnya pendidikan formal, yang akhirnya memengaruhi partisipasi anak-anak mereka dalam proses pembelajaran. Kesadaran yang rendah ini juga menghambat upaya pemerintah dalam mengadopsi sistem pendidikan seperti Finlandia, karena pendidikan tidak dilihat sebagai prioritas utama oleh sebagian besar masyarakat.
ADVERTISEMENT
Outpun dari kurikulum merdeka yang merupakan program adaptasi dari finlandia sangat disayangkan. Hasil dari kurikulum merdeka sangat jauh berbeda dari kurikulum yang diterapkan sebelumnya. Baru baru ini viral sebuah video social experimen dari akun tiktok @dino_wakkjess yang menanyakan sebuah pertanyaan yang sangat basic kepada anak SMP. Pada video itu kita bisa menarik kesimpulan jika siswa dengan kurikulum merdeka sangat minim pengetahuan. Lalu apa yang mereka pelajari di sekolah?.
Tak hanya itu, masih banyak sekali video social experimen menanyakan pengetahuan umum beredar di tiktok yang menunjukkan SDM kita sedang kritis. Banyak dari mereka yang membaca, namun tidak paham apa yang mereka baca. Pada kurikulum merdeka, guru hanya menjadi pendamping selama pembelajaran, sedangkan siswa harus aktif. Namun seperti yang kita tau, siswa di indonesia masih sedikit yang mempunyai semangat belajar yang tinggi, jika diberlakukan kebijakan seperti itu, apa ilmu yang di dapat oleh siswa. Mereka hanya belajar saat mau ujian, kalo ga ada ujian?. Selain itu siswa di indonesia juga merasa bahwa mereka tidak punya ancaman jIka mereka tidak belajar. Bagaimana tidak, banyak sekolah-sekolah yang tetap menaikkan kelas pada siswa yang belum lancar Calistung di tingkat smp untuk menjaga reputasi sekolah.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengamat, sulit untuk tidak mengkritisi arah kebijakan pendidikan saat ini, terutama ketika melihat realitas di lapangan yang justru jauh dari tujuan yang diinginkan. Kurikulum Merdeka seolah-olah bertujuan membebaskan siswa untuk menjadi pembelajar mandiri dan kreatif, tetapi kenyataannya, keadaan di Indoneesia tidak siap. Kebebasan belajar memang bagus jika siswa memiliki dasar motivasi yang kuat, tetapi ini adalah konsep yang mungkin lebih cocok di lingkungan di mana budaya belajar dan dukungan pendidikan sudah mapan, seperti di Finlandia. Di Indonesia, konsep ini malah bisa merugikan siswa, karena banyak yang akhirnya merasa “bebas” tanpa panduan yang cukup kuat untuk mengembangkan keterampilan dasar dan pengetahuan umum.
Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum 2013 (K13) dan Kurikulum Merdeka memiliki perbedaan mendasar dalam orientasi pembelajaran dan hasil yang diharapkan. K13 menekankan pada pengetahuan dasar dan keterampilan akademis melalui pendekatan terpadu serta fokus pada pemahaman kognitif yang jelas. Struktur kurikulum ini cenderung terarah dan terstandar, dengan ujian yang memantau hasil belajar di tingkat nasional.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Kurikulum Merdeka dirancang dengan pendekatan yang lebih fleksibel, berfokus pada proyek dan pemahaman kontekstual sesuai minat siswa. Tujuannya adalah memberikan kebebasan pada siswa untuk menggali minat mereka, namun ini terkadang menyebabkan siswa kurang memahami materi dasar yang dianggap esensial. Akibatnya, siswa di Kurikulum Merdeka mungkin kurang memiliki pengetahuan umum yang baik.
Melihat perjalanan kebijakan pendidikan di bawah Nadiem Makarim, khususnya pada penerapan Kurikulum Merdeka, ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Kurikulum ini, meski dirancang untuk membebaskan siswa dan menumbuhkan kreativitas, justru memunculkan berbagai tantangan yang mencerminkan kurangnya kesiapan di berbagai aspek pendidikan kita. Dari infrastruktur yang belum memadai hingga kurangnya keaktifan siswa, semua ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan inovatif harus disertai dengan persiapan yang matang dan komprehensif.
ADVERTISEMENT
Namun, dari segala kritik yang muncul, harapan tetap ada. Setiap kebijakan pasti memiliki ruang untuk perbaikan, dan di sinilah peran penting menteri pendidikan yang baru. Dengan evaluasi yang mendalam dan pendekatan yang lebih inklusif, ada harapan bahwa masa depan pendidikan Indonesia akan lebih baik. Semoga ke depan, kebijakan yang diterapkan tidak hanya adaptif terhadap kebutuhan zaman, tetapi juga realistis dengan kondisi di lapangan.