Konten dari Pengguna

Waspada Agenda Neoliberalisme Dalam Digitalisasi Pangan

Rachmayani
Dosen Hubungan Internasional IISIP Jakarta
15 Oktober 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tahun 2018 lalu pemerintah Indonesia melalui kementerian pertanian secara resmi meluncurkan program digitalisasi Sistem Pertanian atau digitalisasi pangan. Program ini dikatakan dapat membantu petani meningkatkan nilai tambah produk pertanian, dan melepaskan para petani dari dampak praktik para tengkulak. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi dan inovasi saat ini merambah di segala bidang, termasuk bidang pertanian atau agrikultural. Sehingga pemerintah merancang program digitalisasi Sistem Pertanian atau digitalisasi panganagar agar industri pangan Indonesia engaged dengan perubahan teknologi saat ini, dengan tujuan utamanya mendukung ketahanan pangan Indonesia. Sebelum membahas lebih jauh, mari kita telusuri terlebih dahulu asal muasal konsep digitalisasi pangan itu sendiri. Sejak dunia industry memasuki Revolusi Industri 4.0 pada tahun 2011, dunia pangan juga melahirkan Agriculture 4.0. Badan Pangan Dunia (FAO) menjelaskan bahwa Agrikultur 4.0 merupakan sistem pangan yang harus terintegrasi kedalam teknologi informasi dan database dalam rangka mencapai efesiensi produksi.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan FAO, praktik pangan atau agrikultur selama ini --terutama secara tradisional- menghadapi tantangan karena praktiknya yang cenderung menimbulkan dampak yang cukup parah bagi manusia maupun alam. FAO juga berpendapat bahwa praktik budidaya tanaman pangan adalah penyebab utama deforestasi yang kemudian menyebabkan kerusakan ekologis dan berdampak pada habitat alami dan keanekaragaman hayati. Sehingga dengan adanya rancangan digitalisasi pangan ini diharapkan dampak buruk dari industry pangan selama ini dapat teratasi dan kelangkaan atau kerawanan pangan yang dikhawatirkan dunia saat ini dapat dicegah. Namun apakah tujuannya memang semulia itu? mari kita bahas lebih lanjut.
Pada tahun 2017 FAO menyebutkan dalam sebuah buku keluarannya yang berjudul “The Future of Food and Agriculture Trends and Challenges”, bahwa perkembangan tekhnologi dan inovasi yang pesat menawarkan prospek untuk memenuhi kebutuhan pangan secara berkelanjutan, hal ini dapat dicapai dengan peningkatan investasi dan kemitraan publik dan swasta. Kata kuncinya adalah investasi dan kemitraan public dan swasta, dimana ini mesyaratkan bahwa pangan yang merupakan hak dasar setiap manusia yang sejatinya dikelola oleh negara/pemerintah beralih pada pengelola swasta. Lebih jauh lagi dalam buku tersebut dinarasikan bahwa masuknya sektor swasta hingga Multi National Coperatioon (MNC) atau Perusahaan multinasional lewat investasi membawa percepatan dalam gerak mengatasi risiko keamanan pangan yang kemudian dapat memberikan sebuah standar yang menyediakan dasar bagi perdagangan yang lebih berkelanjutan dan menguntungkan dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Sekilas tidak ada masalah dengan narasi diatas, namun jika kita memahami lebih dalam bahwa selama ini organisasi internasional seperti FAO, WTO (Badan Perdagangan Dunia) atau World Bank (Bank Pembangunan Dunia) adalah organisasi neoliberalisme yang membawa kepentingan para kapitalis (pemodal) global dan negara-negara maju lewat kebijakan-kebijakan neolib mereka.
Neoliberalisme sendiri adalah sebuah paham dalam mazab ekonomi politik yang menekankan pada nilai persaingan bebas dan perdagangan bebas, sehingga peranan negara dalam bidang ini dibatasi. Adanya kekhawatiran atas masuknya agenda liberalisasi atau neoliberalisme dalam rancangan program digitalisasi pangan bukanlah tanpa sebab, mari kita bahas permasalahannya satu persatu :
Permasalahan keamanan data dan komodifikasi data dalam Digitalisasi Pangan / Agrikultur
Adanya sistem big data dalam digitalisasi pangan atau agrikultur yang diatur oleh korporasi dikhawatirkan akan mendikte atau mengarahkan petani untuk misalnya membeli benih atau pupuk ditempat yang sudah ditentukan, atau mengarahkan petani untuk melakukan proses penanaman dengan cara yang sudah ditentukan, ini mengacu pada data yang tersimpan dalam bigdata tersebut. Selain itu bigdata juga dikhawatirkan akan mengalami komodifikasi sesuai dengan kepentingan korporasi, karena korporasi yang telah memiliki banyak resource data ini kemudian, menjadi sebuah nilai bagi sebuah perusahaan dalam menarik investor, yang jelas endingnya untung kepentingan bisnis/kapital mereka, bukan lagi untuk kepentingan petani.
ADVERTISEMENT
Permasalahan Alat Produksi dalam digitalisasi pangan
Permasalahan selanjutnya pada digitalisasi pangan / agrikultur yang mempengaruhi pelaku agrikultur secara langsung, adalah permasalahan alat produksi atau peralatan pertanian tradisional seperti traktor, ataupun alat seperti pacul dan celurit/ arit. Masuknya digitalisasi akan menggeser penggunaan alat-alat tersebut, meskipun perubahan alat dapat dikatakan baik dan dibutuhkan dalam perkembangan dan keberlanjutan pertanian, permasalahan utama adalah menyangkut kontrak dan lisensi. selain itu, digitalisasi pangan akan mengintensifikasikan penggunaan teknologi yang pada praktiknya akan sangat berdampak buruk bagi alam termasuk pada kasus kekeringan atau kelangkaan air terjadi dalam usaha menyeimbangi pembuatan komponen teknologi selain berdampak merusak kualitas air dan tanah atas penggunaan bahan kimia yang berlebihan.
Permasalahan hasil produksi dan pasar / market dalam digitalisasi pangan
ADVERTISEMENT
Permasalahan ke 3 yaitu permasalahan hasil produksi dan pemasaran hasil produksi tersebut atau jaringan distribusinya. Terhadap hasil produksi dampaknya dapat disebabkan oleh modifikasi gen terhadap tanaman hingga ternak. Padahal cara ini dapat menyebabkan terjadinya penghilangan atas keragayaman hayati. Namun di satu sisi teknologi dalam modifikasi dan kepemilikan terhadap benih juga memiliki hak intelektual genetik oleh korporasi besar yang juga akan merugikan petani. Masuknya pasar neoliberal akan menciptakan potensi monopoli pangan—baik itu bahan baku, maupun hasil olahan—yang akan berdampak mengalienasi petani dan masyarakat kecil, yang bisa jadi tidak mampu dalam membeli produk tersebut, hal ini telah terlihat pada produk penciptaan rekayasa genetik, petani terpaksa membeli benih walaupun dengan harga sangat mahal.
ADVERTISEMENT
Informasi dan teknologi memang dibutuhkan dalam menunjang pertumbuhan pertanian, tetapi hal tersebut dapat menimbulkan kontroversi apabila kemudian petani tidak memiliki hak dan otonomi atas teknologi tersebut. ini lah yang patut diwaspadai dari setiap kebijakan atau program pemerintah yang bisa jadi ada agenda atau kepentingan pihak lain, apakah koorporasi atau negara yang mengusung neoliberalisme.
Digitalisasi Pangan di Indonesia, sumber : pribadi.