Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sebuah kalimat yang muncul di salah satu adegan di film Bohemian Rhapsody itu masih terngiang di kepala saya. Saat itu para personel Queen sedang sibuk berdiskusi dengan produser label. Mereka membahas soal lagu 'Bohemian Rhapsody' yang durasinya dianggap terlalu panjang yakni 6 menit, tak sesuai dengan formula lagu yang biasa tampil di radio yang hanya maksimal 3 menit.
ADVERTISEMENT
Perdebatan soal formula lagu itu akhirnya deadlock. Personel Queen merasa lagu itu layak tampil dengan 6 menit dan muncul utuh tanpa dipotong. Mereka menolak mentah-mentah konsep formula industri yang disampaikan oleh produser dan radio. Mereka kemudian pergi dan mencari label baru.
Belakangan terbukti, lagu itu meledak dan abadi sampai masa kini. Formula durasi tiga menit yang sebelumnya jadi pegangan dunia industri ternyata tidak selamanya benar.
Dominasi formula itu dirusak dan dikalahkan oleh rasa, keindahan, dan harmonisasi yang dibangun oleh idealisme para personel Queen. Sebuah idealisme yang dibangun berlandaskan values atau nilai-nilai yang mereka yakini dalam memproduksi sebuah lagu.
Film Laku dan Gak Laku
Ernest Prakasa dan Pandji Pragiwaksono suatu hari berdiskusi lewat sebuah vlog yang tayang di akun YouTube milik Pandji. Mereka berbicara soal film, terutama mencari formula film mana yang laku dan enggak laku.
ADVERTISEMENT
Pandji memulai diskusi lewat pertanyaan ke Ernest soal bagaimana sebuah film bisa mendapat jaminan ditonton lebih dari satu juta orang? Ernest sontak menjawab: tidak ada. Nama besar, produser ternama, penulis naskah, sampai sutradara bukanlah jaminan.
Namun menurut Ernest, ada satu faktor yang bisa jadi formula, yang bisa jadi harapan terkait produksi film. Dia menyebut film yang diangkat dari IP (intellectual property) seperti novel, cerpen, atau karya lain, cenderung punya peluang ‘laku’ lebih tinggi. Tapi itu pun sekali lagi, tidak bisa jadi jaminan, sebab banyak juga film berbasis IP yang gagal. Seperti halnya film lain yang berbasis ketokohan, dan lain-lain.
“Memang gak ada formulanya sih, its never easy,” kata Ernest.
ADVERTISEMENT
Di salah satu bagian video, ada satu poin menarik yang disampaikan Ernest soal kenapa filmnya yang berasal dari original screenplay (tak berasal dari novel), namun bisa meraih dua juta penonton. Dia menyebut istilah emotional investment ketika memproduksi sebuah film. Membuat penonton merasa punya kedekatan emosional dengan tokoh, konflik, dan cerita yang disampaikan.
Dalam konteks ini, Ernest tentu harus bekerja keras memikirkan kepekaan emosional yang akan dia bangun di film. Bukan soal tokoh, durasi, genre, tapi sebuah nilai dasar dalam kehidupan manusia.
Ernest jelas harus mengembangkan kemampuannya dalam melihat sebuah persoalan jauh di dalam hati manusia. Dia harus punya value, minimal peduli. Terbukti, Ernest dalam kehidupan sehari-harinya adalah orang yang sangat peduli terhadap nilai-nilai keberagaman dan toleransi. Tanya saja kicauannya terhadap Arie Untung yang baru-baru ini heboh.
ADVERTISEMENT
Konten Berita
Dua cerita di atas adalah tentang bagaimana para pelaku di industri lagu dan film merumuskan formula dalam memproduksi konten mereka. Lalu, bagaimana dengan industri media dalam memproduksi konten berita?
Di era digital, di mana semua konten itu terukur menggunakan data, diskusi yang membahas formula pada akhirnya tak bisa dihindari. Sama halnya seperti lagu, ada formula yang mengedepankan durasi dan bentuk seperti konten panjang atau konten pendek, breaking news atau in depth, feature atau straight news.
Lalu di era multimedia seperti ini, perdebatan formula konten berita akan berlanjut kepada medium penyampaian konten. Seperti tulisan, video, foto, atau infografik sampai halaman interaktif. Video juga bisa jadi perdebatan tersendiri, video pendek, panjang, video podcast atau vlog, dll. Belum lagi ketika membahas tema, penjudulan, sampai format penyampaian.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak variabel bentuk, durasi, dan tema, bagaimana kita menentukan formula seperti apa yang akan laku dikonsumsi oleh user? Jawabannya mungkin sama seperti diskusi Pandji dan Ernest, tidak ada yang bisa memberi jaminan pasti.
Apalagi bila dikaitkan dengan jumlah pembaca/user tertentu. Tak ada jenis/bentuk konten berita yang bisa menjamin akan dikonsumsi oleh satu juta orang. Kecuali itu ada peristiwa besar yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Untuk sehari-hari, saya secara pribadi meyakini, membuat formula konten bukanlah ilmu pasti. Dinamikanya sangat tinggi. Selera pasar selalu berubah.
Lalu bagaimana solusinya? Apa yang harus dillakukan para pemain di industri media agar bisa bekerja secara efektif dan kontennya laku? Menurut saya, jawabannya adalah mengedepankan value. Baru setelah itu mendiskusikan soal bentuk dan jenis kontennya.
ADVERTISEMENT
Jadi, values atau nilai-nilai dalam pemberian informasi itu harus jadi poin utama. Diskusi soal bentuk penyampaiannya atau delivery bisa dilakukan setelahnya sebagai salah satu poin kreatif.
Misalnya begini. Nilai yang utama dalam konten breaking news adalah kecepatan dan akurasi. Bagi saya itu dua hal yang bisa beriringan sejalan. Contohnya, soal berita breaking news kemaceten.
Dengan membuat konten kemacetan yang cepat dan akurat, bisa mempengaruhi keputusan pengendara jalan, apakah tetap lanjut di jalur yang akan dilalui atau melalui jalur alternatif lain. Nilai kecepatan dan akurasi itu yang dibangun, lalu selanjutnya kita bisa diskusi mengenai formula penyampaiannya apakah dengan format pendek, thread update seperti di Twitter, running news, atau live feed.
ADVERTISEMENT
Konten in depth menurut saya nilai yang dibangun adalah eksklusivitas dan memberi jawaban. Sementara untuk konten feature harus bisa dekat ke user dan emosional. Untuk penyampaiannya sangat tergantung tema yang dipilih, bisa dalam bentuk infografik, videografik, video, tulisan berseri, kumpulan kutipan saja, dan lain-lainnya.
Jadi, bentuk konten seperti video, tulisan panjang, pendek, dan lain-lain adalah alat untuk mencapai tujuan dari value tadi. Itu formulanya.
Namun untuk mencapai nilai-nilai itu, saya merasa ada juga nilai-nilai yang harus dimiliki seorang pembuat konten dalam bekerja. Tujuannya agar bisa menjadi seperti Ernest, berawal dari value yang ada diri sendiri kemudian diterjemahkan ke dalam karya.
Berikut beberapa nilai-nilai yang menurut saya bisa dikembangkan pada wartawan:
ADVERTISEMENT
1. Peduli. Ini memang sangat luas. Tapi bila dipersempit dalam konteks jurnalistik, peduli di sini bisa diartikan peduli terhadap dampak bagi objek yang kita tulis dan peduli terhadap dampak untuk mereka yang membacanya.
Ini akan berpengaruh banyak terhadap cara kita menggali informasi, cara menulis, memberikan narasi, mencantumkan foto, menambahkan video, memberi penjelasan runut, gampang dimengerti, dan lain-lainnya. Ini akan memberi efek besar pada produksi konten jawaban dan emosional terhadap pembaca.
2. Rendah hati. Nilai ini mempengaruhi cara kita berkomunikasi. Akan berdampak pada kemampuan memperoleh jaringan, kemampuan bertanya sampai memperdalam informasi.
Selanjutnya akan mempengaruhi kita dalam membuat konten breaking news yang membutuhkan kecepatan dan jaringan yang luas. Juga akan membantu dalam memperoleh informasi eksklusif dan mendapatkan jawaban memuaskan dari narasumber serta menambah unsur emosional dalam cerita.
ADVERTISEMENT
Nilai lainnya, Anda bisa tambahkan sendiri. Ini hanyalah teori, yang belum tentu sudah saya kerjakan sendiri.