Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
John Walcott bersama dua reporternya, Jonathan Landay dan Warren Strobel, berjuang sendirian saat memberitakan buruknya intelijen pemerintahan George W. Bush saat hendak menginvasi Irak. Mereka melawan arus utama pemberitaan saat itu. Mereka kesepian. Tapi tetap berdiri tegak. Untuk bertahan.
ADVERTISEMENT
Dari film Shock and Awe yang baru saya tonton pekan lalu, terungkaplah sebuah cerita tentang Knight Ridder, salah satu jaringan media terbesar di AS, saat membuat berita. John Walcott adalah editor, sementara Landay dan Strobel adalah dua reporter investigasi yang bertugas di biro Washington DC. Mereka jadi tokoh utama dalam film tersebut.
Ceritanya begini…
Usai serangan 9/11 di Amerika Serikat, pemerintahan George W. Bush membidik dua target utama, yakni Al Qaeda dan Irak. Bush sangat bernafsu untuk membalaskan dendam rakyat AS. Terutama kepada dua sasaran tersebut.
Ketika Bush mengincar Al Qaeda dan Osama bin Laden, nyaris tak ada persoalan. Semua mendukung. Walaupun mereka mengobrak-abrik Afghanistan dan tak berhasil menangkap bin Laden, rakyat AS tetap percaya pada Bush.
ADVERTISEMENT
Namun untuk Irak, ada perpecahan di kalangan masyarakat AS mengenai perlukah Amerika Serikat menginvasi negara tersebut? Apakah layak anak-anak bangsa AS mengorbankan nyawa untuk sebuah perang di negara orang lain? Apalagi, salah satu alasannya adalah dugaan mengenai senjata pemusnah massal. Sesuatu yang masih sumir.
Mereka teringat momen Perang Vietnam, di mana saat itu AS berperang demi sesuatu yang tidak jelas tujuan dan dampaknya, namun menimbulkan korban yang besar. AS kehilangan lebih dari 50 ribu prajurit saat itu.
Nah, sejak awal muncul rumor AS akan meruntuhkan Saddam Husein, Knight Ridder adalah media yang paling kritis. Mereka mendapat sumber-sumber valid di kalangan pemerintahan, Kementerian Pertahanan, sampai parlemen bahwa informasi intelijen yang dijadikan dasar untuk menyerang Irak sangat lemah.
ADVERTISEMENT
Mereka menemukan sejumlah fakta bahwa Donald Rumsfeld, yang saat itu menjabat sebagai menteri pertahanan AS, terlalu memaksakan diri untuk berperang. Diduga, Rumsfeld menyembunyikan sejumlah informasi penting tentang senjata pemusnah massal di Irak. Info yang mendukung niatnya berperang dipertahankan, info sebaliknya dibuang.
Sayangnya, pemerintahan Bush terus mengeluarkan banyak propaganda soal pentingnya perang di Irak. Hampir seluruh media arus utama pun memberikan dukungan, tak terkecuali The New York Times. Berlandaskan keterangan-keterangan dari pejabat resmi AS, media arus utama di AS berada di pihak pemerintah. Knight Ridder dikucilkan. Dianggap penebar informasi palsu.
“Saat itulah kami merasa kesepian,” kata Strobel saat diwawancara berselang beberapa bulan setelah perang di Irak berakhir.
Serangan silih berganti menerjang Knight Ridder. Mereka tak dianggap ada hanya karena mengambil sikap berbeda.
ADVERTISEMENT
Dampaknya juga terasa pada para reporter. Kerabat terdekat mereka ada yang menyampaikan keraguan terkait cerita yang dibuat. Semua memandang sebelah mata kepada Walcott, Landy, dan Strobel. Dalam film digambarkan, bagaimana mereka sempat ragu untuk melanjutkan perjuangan dan mulai bertanya: apakah yang kita lakukan sudah benar?
Belakangan, ternyata Knight Ridder yang benar. Tak pernah ada bukti senjata pemusnah massal di Irak. Sampai saat ini, Irak masih jadi negara kacau balau. Korban terus berjatuhan. Sejak tahun 2003, ada lebih dari lima ribu tentara AS yang tewas. Untuk sesuatu yang tidak jelas.
Setelah fakta-fakta di Irak terungkap, orang mulai melihat kembali berita Knight Ridder. Ternyata selama ini, Walcott, Landy, dan Strobel yang benar. The New York Times sampai meminta maaf atas kesalahan yang dibuat. Mereka yang tadinya skeptis, jadi berbalik memberi apresiasi atas keteguhan Knight Ridder melakukan kerja jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Dari mereka, kita bisa belajar banyak hal soal praktik kerja jurnalistik. Pertama, sumber-sumber lapangan, mereka yang terlibat langsung, lebih kuat daripada pernyataan pejabat resmi. Di sinilah pentingnya wartawan dalam membangun jaringan di semua kalangan, tidak hanya menunggu keterangan resmi. Kedua, pentingnya memiliki sikap terhadap sebuah isu dan mempertahankannya ketika yakin itu benar.
Ketiga, dan ini yang paling penting menurut saya. Tim yang solid. Ada kalanya sebuah cerita dipertanyakan. Muncul serangan yang menimbulkan keraguan. Untuk melawannya, hanya ada satu cara: saling memperkuat satu sama lain.
Semoga kita bisa terus saling memperkuat. Pakuat pakait. Inhale, exhale.
“Kalau pemerintah menyatakan sesuatu, tugas kita hanya satu: mempertanyakan apakah itu benar?” John Walcott.