Konten Jawaban yang Senilai dengan Nyawa

Lifeatkumparan
Konten dari Pengguna
1 Desember 2018 20:00 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konten Jawaban yang Senilai dengan Nyawa
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda diminta untuk menentukan hidup matinya seseorang? Saya pernah. Dan jelas tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, saya dan istri hendak memeriksa kandungan di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Pemeriksaan ini tidak sengaja, karena saat itu kami sedang menjenguk saudara, dan tiba tiba spontan mendaftar ke salah satu dokter di sana. Tanpa riset, tanpa tanya-tanya.
Ini adalah pemeriksaan awal kandungan setelah kami mengetahui kehamilan lewat test pack. Jelas banyak tanda tanya. Banyak ketidaktahuan. Banyak kebingungan. Tapi itu tidak mengalahkan kebahagiaan bahwa kami akan jadi orang tua.
Proses awal pemeriksaan, semua baik-baik saja. Dokter menyebut posisi janin ada di tempat yang tepat. Kondisinya normal, sesuai dengan usia kandungan yang masih muda. Tak ada masalah.
Sebelum beranjak pulang, tiba-tiba istri saya teringat sebuah peristiwa yang sedikit membuatnya gundah gulana. Langsung saja spontan ditanyakan pada dokternya.
ADVERTISEMENT
“Dok, saya beberapa hari lalu pernah melewati pemeriksaan X-Ray. Apakah itu ada pengaruhnya buat kehamilan saya?”
Pertanyaan singkat. Hanya 16 kata. Kami berharap jawabannya menenangkan jiwa. Ternyata tidak. Pertanyaan 16 kata itu dijawab dengan 16 kata juga. Bedanya, jawaban itu membuat kami merana.
“Berdasarkan pengalaman saya selama 40 tahun jadi dokter, ada kemungkinan 40 persen anak ibu akan cacat.”
Dokter memberi kami waktu 2 minggu untuk menentukan, apakah akan meneruskan kehamilan dengan risiko cacat, atau melakukan aborsi. Sebuah pilihan yang terkesan sederhana, tapi buat kami saat itu rasanya seperti neraka.
Dengan usia pernikahan kami yang belum seumur jagung, saat kami seharusnya menikmati masa ena-ena seperti pasangan lainnya, sekarang malah disuruh memilih hidup dan mati.
ADVERTISEMENT
Konten Jawaban
Setelah menangis dan bersedih, kami bersepakat untuk tidak menyerah. Seberapa pun takutnya kami sebagai orang tua punya anak yang kemungkinan berkebutuhan khusus, tidak mengalahkan rasa takut kami kehilangan kesempatan mempunyai anak. Jadi kami memutuskan untuk meneruskan kehamilan, apapun konsekuensinya.
Sebelum sampai pada keputusan itu, tentu kami sibuk mencari jawaban. Medium yang paling dekat dengan kami saat itu tentu saja konten di internet. Kami mencari ke sana ke sini, ke situs resmi sampai tak resmi, mulai dari jurnal sampai blog pribadi soal hubungan antara X-ray dan kehamilan.
Saya menulis kata kunci pertanyaan: apakah x-ray berbahaya bagi kehamilan? Dari semua konten yang saya temukan, terutama yang sumbernya valid, semua menyebut X-ray yang dilalui istri saya masuk dalam skala ringan dan tidak berbahaya bagi janin.
ADVERTISEMENT
Dari konten jawaban itu, saya kemudian memastikannya ke dokter secara langsung. Tapi bukan dokter yang random tadi. Kali ini saya riset. Saya mencari dokter yang mendasarkan analisis bukan pada pengalaman saja, tapi juga ada penjelasan ilmiahnya.
Dokter kedua yang saya temui juga memberi jawaban 16 kata:
“Bilang sama dokter yang sebelumnya, saya berani mempertaruhkan profesi saya, kalau anak bapak ibu pasti sehat,” ucapnya.
Hal yang saya ingat dari konten-konten yang saya temukan dan penjelasan dokter kedua tadi adalah, dalam proses kehamilan justru faktor psikologis yang berpotensi memberi pengaruh banyak pada kondisi janin. Semakin bahagia sang ibu, maka kondisi bayi juga akan semakin sehat. (Btw, anak saya sekarang sudah berusia 6 tahun. Alhamdulillah sehat dan bahagia).
ADVERTISEMENT
Dari sini, saya mengambil pelajaran penting dalam memandang sebuah konten. Sebagai orang yang bergelut dengan dunia informasi, selama ini sudut pandang saya lebih banyak porsinya sebagai penulis. Saya tidak begitu menaruh perhatian banyak pada perspektif pembaca.
Ternyata, ketika saya berperan sebagai pembaca yang benar-benar butuh informasi, apalagi menyangkut nyawa anak saya, saya merasa banyak hal yang harus saya perbaiki dalam cara menyampaikan informasi pada orang lain. Terutama dalam memberi jawaban.
Berikut hal-hal yang saya jadikan pelajaran dan harus diperhatikan ketika membuat konten jawaban:
1. Sumber informasi
Pastikan informasi yang kita rujuk atau kutip benar-benar datang dari sumber yang valid, hasil riset yang relevan, terbaru, dan terverifikasi. Ini penting untuk menentukan kualitas informasi jawaban yang kita mau berikan.
ADVERTISEMENT
Ketika mencari informasi tentang nasib anak saya, saya melihat banyak informasi tapi sumbernya tidak jelas. Itu jelas meragukan. Tapi ketika ada rujukan jurnal atau riset terbaru atau narasumber yang memang mendedikasikan hidupnya untuk riset tentang hal tersebut, itu lebih meyakinkan.
2. Data
Data dalam penyampaian konten jawaban jelas penting. Saya mau mencari data mengenai persentase data anak yang cacat karena x-ray, benarkah 40 persen tadi? Lalu berapa sebenarnya data level radiasi yang sampai mengancam kondisi janin? Dan lain-lain. Tanpa data, saya akan kurang yakin dengan jawaban yang saya dapat dari sebuah konten.
3. Visualisasi
Konten jawaban yang rumit dan berbasis sains biasanya butuh penyampaian yang lebih sederhana agar mudah dipahami. Visualisasi yang menarik adalah solusinya. Bisa dengan infografik atau videografik.
ADVERTISEMENT
4. Sabar
Konten jawaban biasanya tidak akan berdampak banyak pada peningkatan jumlah pembaca di media, tapi konten jawaban adalah investasi. Dia tidak akan terhalang oleh waktu, dan akan selalu muncul di saat orang membutuhkannya.
Saya tidak akan menentang konten-konten semacam Atta Halilintar mendatangi Lucinta Luna, Vicky gerebek Angel Lelga, atau drama Nikita Mirzani. Kita butuh konten itu untuk hiburan di tengah kondisi politik yang penuh intrik menyebalkan belakangan ini.
Tapi saya ingin mengajak kita juga tidak lupa membuat konten jawaban seperti yang dibuat oleh "kok bisa?" "anakbertanya", sampai Mba Najelaa. Karena itu tadi, kadang konten itu bisa senilai dengan nyawa. Setidaknya anak saya.
Seperti biasa, saya akan meninggalkan Anda dengan konten-konten jawaban yang ada di kumparan:
ADVERTISEMENT