Apakah Anda mau Bayar untuk Baca Berita Online?

Rachmadin Ismail
Sayang anak, doa ibu, takut istri.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2019 10:34 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmadin Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
NYT
zoom-in-whitePerbesar
NYT
ADVERTISEMENT
New York Times (NYT) baru saja mencatatkan pendapatan perusahaan sebesar USD 709 juta atau Rp 9.938.017.550.000 sepanjang tahun 2018. Sebagian besar pendapatannya, dari konten langganan berbayar, bukan lagi dari iklan.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan keuangan yang dilansir pada 6 Februari 2019 lalu, tercatat pendapatan dari konten digital berbayar mereka USD 400 juta. Sementara pendapatan dari iklan sebesar USD 259 juta. Sisanya, mereka mendapat uang dari layanan digital lainnya.
Total pelanggan layanan digital NYT sekarang mencapai lebih dari tiga juta orang. Selama kuarter keempat tahun lalu, NYT mendapat tambahan pelanggan terbesar sejak Pemilu Amerika Serikat (AS) 2016, yakni 265 ribu orang.
Duit-duit itu nantinya akan menambah biaya operasional newsroom di NYT. Mereka akan lebih banyak merekrut jurnalis papan atas dan memberi banyak pelatihan pada jurnalisnya. Termasuk berinvestasi untuk memberi pelatihan ilmu programming untuk jurnalis. Agar lebih paham tentang teknologi digital.
“Our appeal to subscribers — and to the world’s leading advertisers — depends more than anything on the quality of our journalism,”
ADVERTISEMENT
“That is why we have increased, rather than cut back, our investment in our newsroom and opinion departments. We want to accelerate our digital growth further, so in 2019, we will direct fresh investment into journalism, product and marketing,” kata Chief Executive NYT, Mark Thompson.
Bagaimana NYT, yang tadinya diprediksi bakal hancur terkena badai senja kala media cetak, bisa bertahan bahkan kini bisa lebih baik dari media-media digital lain? Mereka sudah pernah mengungkapkan rahasianya di dalam artikel ini: Journalism That Stands Apart.
Sudah dibaca? Kalau malas baca artikelnya ya sudah, saya coba elaborasi sedikit saja. Jadi karena NYT itu bisnis utamanya subscription-based, maka dia mencari formula paling penting dalam penyajian kontennya, yaitu konten-konten yang membuat orang rela bayar.
Apa saja konten yang membuat orang rela bayar? Tentu saja konten berkualitas. Konten yang secara jurnalistik memuaskan dahaga para pembaca. Konten yang bisa jadi punya nilai tambah buat pembaca. Sehingga ketika diminta merogoh uang, konten itu cukup berharga sebagai sebuah investasi.
ADVERTISEMENT
Banyak pendekatan baru yang dilakukan NYT dalam membuat konten. Seperti tertulis di artikel itu, mereka lebih dekat dengan teknologi. Para wartawannya diajak untuk bisa coding. Lalu, semua diberi pemahaman mendalam soal pentingnya visual dalam setiap konten. Terbukti banyak konten visual-grafik yang dibuat NYT. Selain tentunya konten investigatif yang ciamik.
“We are not trying to maximize clicks and sell low-margin advertising against them. We are not trying to win a pageviews arms race. We believe that the more sound business strategy for The Times is to provide journalism so strong that several million people around the world are willing to pay for it.”
Dean Baquet, Editor Eksekutif di NYT, mengatakan, kunci dari keberhasilan NYT untuk bisa mencapai targetnya di 2020 adalah dengan cara: “Make no mistake, this is the only way to protect our journalistic ambitions.”
Ilustrasi berita online berbayar Foto: pixabay
Apakah dengan fokus pada pelanggan berbayar membuat NYT jadi tidak peduli dengan iklan? Ternyata tidak juga. Dengan fokus pada pelanggan, mereka membuat kontennya jadi lebih punya nilai penting bagi pembaca. Mereka berhasil membangun engagement dengan para pembacanya, dan membuat kelompok pembaca loyal dalam jumlah signifikan. Rupanya, pembaca loyal ini lebih disukai pengiklan.
ADVERTISEMENT
Bisa dilihat di tabel ini, pendapatan subscriber mereka terus naik, tapi pendapatan iklannya tidak sampai anjlok parah. Di laporan terbaru tahun 2018, ada kenaikan malah sampai beberapa persen.
Penghasilan New York Times Foto: New York Times
Bisakah Media Online di Indonesia Meniru NYT?
Apakah mungkin media-media digital di Indonesia meniru NYT dengan membuat layanan berbayar? Saat ini, belum banyak pemain yang berani mewajibkan pembaca untuk membayar konten. Ada grup kompas membuat kompas.id dan ada Tempo untuk langganan majalah digital bulanan. Lalu ada juga layanan berbayar per bab buku yang dibuat oleh storial.co.
Saya tidak punya data berapa jumlah pelanggan Tempo dan kompas, termasuk dengan pendapatannya. Namun storial.co, dalam wawancara dengan kumparan mengatakan ada sekitar 55 ribu user.
ADVERTISEMENT
Bila ada media di Indonesia mau meniru NYT, apa yang harus dilakukan pertama kali? Menurut saya, studi kasus media di Belanda ini bisa jadi acuan.
Blendle, nama media tersebut, melakukan eksperimen cukup berani. Mereka membuat platform kurasi konten yang berbayar dengan metodologi yang menarik. Jadi, mereka mengajukan lisensi ke sejumlah media ternama dunia, lalu kontennya dipilih yang menarik, dan ‘dijual’ di laman Blendle.
Banyak orang menyebut Blendle sebagai ‘Netflix’ versi konten jurnalistik. Nah, dengan bermodal 250 ribu user yang terdiri dari anak-anak muda, mereka mulai menjual konten tersebut. Namun dengan perbaikan layanan seperti hanya perlu login sekali, bayar per konten bukan langganan bulanan, bila tidak suka kontennya maka uang kembali.
ADVERTISEMENT
Apa saja temuan mereka dengan eksperimen tersebut?
1. Orang mau mengeluarkan uang untuk konten konten analisis, opini berbobot, wawancara panjang. Dengan kata lain, orang lebih mau membayar untuk konten ‘why’ daripada konten ‘what’.
2. Hukuman untuk clickbait. Konten yang sifatnya ala-ala buzzfeed justru banyak yang meminta refund di Blendle.
3. Metric kualitas konten mereka diukur bukan lagi oleh pageviews, tapi oleh engagement. Namun di Blendle, ada tambahan metric yakni berapa angka penjualan yang dihasilkan dari sebuah berita dan berapa yang meminta refund. Jika angka revenue lebih besar dari refund, maka publisher tersebut baik baik saja. Sejauh ini, hanya 5 persen orang di Blendle yang meminta refund.
Sekali lagi, dua contoh di atas ada Eropa dan Amerika Serikat. Saya belum berani menyimpulkan itu akan berhasil di Indonesia. Kira-kira sebelum melangkah ke sana, ada beberapa pertanyaan yang mengkhawatirkan saya:
ADVERTISEMENT
Apakah market pembaca di Indonesia mau membayar untuk konten digital?
Bagaimana kalau konten berbayar itu di-copy paste, lalu ujungnya dibagikan gratis juga oleh orang lain?
Bagaimana teknologi layanan berbayarnya?
dll
Kalau saya ditanya, konten seperti apa yang saya rela bayar di kumparan, ada banyak. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
Bagaimana dengan Anda?