Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Cincin Jeremy Lin untuk Kita Semua
14 Juni 2019 20:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Rachmadin Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari fans Bandwagon Warriors, saya mengucapkan selamat kepada Toronto Raptors atas kemenangannya sebagai juara NBA 2019. Wabil khusus saya ucapkan kepada Jeremy Lin, orang keturunan Asia pertama yang akhirnya dapat cincin NBA. You deserve it!
ADVERTISEMENT
Lin tidak bermain banyak selama playoffs 2019 ini. Di final, wajahnya nyaris tak terlihat di lapangan. Sepanjang playoffs, dia rata-rata hanya berada di lapangan selama 3,4 menit setiap game atau hanya bermain total selama 27 menit saja. Dalam durasi itu, dia hanya mencetak total 9 poin.
Sangat jauh di bawah rata-rata waktu bermainnya saat musim reguler yang mencapai 19,4 menit dan mencetak angka rata-rata per pertandingan 9 poin.
Tapi bukan itu yang mau saya soroti dari Lin. Kalau saya jadi pelatih Nick Nurse, pasti saya juga gak akan lama-lama memainkan Lin. Karena saya punya Kyle Lowry dan Freed Vanvlet yang bermain sangat ciamik saat bertahan maupun menyerang.
Mari kita bicara tentang Lin dari sudut pandang lain. Sudut pandang orang Asia. Sudut pandang minoritas. Sudut pandang kisah Cinderella. Sedikit banyak, sudut pandang orang-orang seperti kita, seperti saya.
Lin adalah orang keturunan Asia (Taiwan) yang lahir di Amerika Serikat. Sejak kecil, dia memang sudah cinta terhadap basket. Namun kisahnya tidak semulus atlet lain, ya tentu saja karena dia keturunan Asia.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan Majalah Time, dia menceritakan perlakuan diskriminatif banyak orang terhadapnya ketika bermain basket. Dia kerap menerima pernyataan rasial yang merendahkannya.
“Aku pikir jika rasku lain, aku akan diperlakukan berbeda. Aku telah mendengar semuanya: 'Pulanglah ke China. Orkestra di sisi lain dari kampus ini. Buka matamu lebih lebar,'" kata Lin di majalah Time.
Lin dianggap tidak cocok main basket karena dia orang Asia. Dia kerap disarankan untuk bermain voli. Bahkan ada yang menyebutnya Chink, suatu istilah penghinaan untuk orang China, ketika dia bermain di Ivy League.
Tapi Lin yang juga lulusan Harvard ini bukan orang yang gampang menyerah, apalagi pundungan. Dia terus bermain, hingga akhirnya bisa menembus NBA.
ADVERTISEMENT
Sebuah ironi menarik soal kisah Lin di NBA. Dia baru saja mendapatkan cincin juara setelah timnya mengalahkan Golden State Warriors. Ternyata, GSW adalah tim pertama yang merekrutnya. Kala itu, Lin sempat menjadi idola di San Francisco Bay Area karena di kawasan tersebut banyak orang Asia.
Kariernya kemudian berkembang di klub lain seperti Houston Rockets, New York Knicks, hingga akhirnya berlabuh di Toronto Raptors. Lin kini jadi Asian American pertama yang berhasil menjadi juara.
Sangat tepat majalah Time menjulukinya Linsanity. Dia mendapat cincin duluan dibandingkan James Harden, bahkan Carmelo Anthony.
Perjuangan Lin menggambarkan bagaimana basket tidak pernah lepas dari perlakuan diskriminatif. Sebagai pemain, saya juga pernah merasakan itu. Bedanya, bukan diskriminasi ras yang saya dapatkan, tapi lebih kepada diskriminasi demografi, mungkin juga sedikit ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pada suatu waktu, saya yang bersekolah di kampung ingin mengikuti turnamen basket di sebuah sekolah elite di wilayah kota Bogor. Waktu itu, saat saya dan teman-teman mendaftar sambil membawa persyaratan, uang hasil patungan, dan hendak mengisi formulir, pihak panitia menanyakan lokasi sekolah kami yang tak dikenalnya.
Dia lalu bilang: Ini turnamen cuma buat sekolah di kota Bogor, kabupaten ga boleh.
Alasan yang aneh, karena di selebaran turnamen tak ada penjelasan soal area domisili sekolah peserta. Turnamen itu tertulis terbuka. Dan menurut rekan-rekan kami sebelumnya, ada juga sekolah di kabupaten yang ikut.
Kami lalu protes dan berdebat. Kami merasa, larangan itu tidak adil. Sampai akhirnya kami diizinkan untuk ikut bermain.
ADVERTISEMENT
Perlakuan kurang enak tak berhenti sampai di situ. Saat bertanding, kami merasa tidak diperlakukan sama dan dipandang sebelah mata. Tapi kami cuek saja. Datang dengan mobil bak terbuka, lalu memakai seragam tim seadanya, dengan sepatu KW1 taman puring, kami tetap bermain seperti biasa.
Perjalanan kami di turnamen itu hanya sampai penyisihan grup. Kami menang dua kali dan kalah sekali dengan skor tipis. Karena yang diambil juara grup, kami tidak lolos. Kami bisa menang dua pertandingan hanya bermodal semangat dan main fast break, tak ada pola serangan, tak ada strategi. Hanya berlari. Tapi setidaknya, itu mengubah pandangan tim-tim lain dan panitia itu terhadap kami… Anak kampung enggak jelek-jelek amat mainnya.