Konten dari Pengguna

Papua di Persimpangan: Akumulasi Kapitalisme atau Keadilan Sosial?

RACHMAT ISMAIL RACHMAN
Mahasiswa Hubungan Internasional universitas kristen indonesia
6 Januari 2025 13:02 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari RACHMAT ISMAIL RACHMAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto ilustrasi mengambarkan aktivitas Kapitalisme kelapa sawit di Papua ( gambar ini dibuat oleh Rachmat 2025 )
zoom-in-whitePerbesar
foto ilustrasi mengambarkan aktivitas Kapitalisme kelapa sawit di Papua ( gambar ini dibuat oleh Rachmat 2025 )
ADVERTISEMENT
Dengan kekayaan alam yang melimpah, seharusnya menjadi pusat kesejahteraan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Proyek pembangunan yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam, seperti tambang, perkebunan kelapa sawit, dan energi, justru memperparah kesenjangan sosial.
ADVERTISEMENT
Masyarakat adat Papua yang bergantung pada tanah dan hutan kini menghadapi krisis akibat perampasan ruang hidup mereka. Perusahaan besar, dengan dalih investasi, merusak ekosistem sekaligus mengabaikan nilai budaya dan spiritual masyarakat setempat. Contohnya, perluasan perkebunan kelapa sawit di beberapa wilayah Papua telah menyebabkan hilangnya hak atas tanah adat, merusak hutan, dan mempersempit akses masyarakat pada sumber penghidupan tradisional mereka.
Pemerintah kerap berdalih bahwa pembangunan di Papua bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun, kenyataannya, kebijakan yang diambil lebih banyak menguntungkan korporasi dibandingkan rakyat kecil. Proyek infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan, sering kali dirancang untuk memperlancar akses eksploitasi sumber daya ketimbang memberi manfaat langsung kepada masyarakat lokal.
Ketimpangan ini memperparah rasa tidak adil di Papua. Masyarakat adat tidak hanya kehilangan tanah, tetapi juga kehilangan ruang untuk bersuara. Dalam sistem yang lebih memprioritaskan akumulasi kapital daripada keadilan sosial, Papua seolah berada di persimpangan jalan: terus menjadi korban eksploitasi, atau justru menjadi contoh pembangunan yang menghormati hak-hak manusia.
ADVERTISEMENT
Lalu, Apa Solusinya?
Pemerintah harus menghentikan pola pembangunan yang mengorbankan masyarakat adat. Partisipasi aktif masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan adalah kunci. Perusahaan yang beroperasi di Papua juga harus tunduk pada prinsip pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi, tetapi juga dampak sosial dan lingkungan.
Papua tidak membutuhkan pembangunan yang semata-mata berbasis kapitalisme. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih inklusif, menghormati hak adat, dan mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika tidak, ketimpangan di Papua hanya akan terus menjadi luka sosial yang sulit disembuhkan.