Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
AI dan Masa Depan Generasi Muda: Antara Potensi Inovasi dan Tantangan Etika
28 April 2025 15:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Raden Ahmad Haikal El-Musyaddat Arya Negara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perkembangan dunia kecerdasan artifisial (AI) membawa harapan baru sekaligus kekhawatiran bagi masyarakat, khususnya pada generasi muda Indonesia. Di satu sisi, teknologi ini dinilai mampu menjadi solusi atas tantangan pendidikan, lapangan kerja, hingga kesehatan mental. Namun di sisi lain, AI juga menyimpan potensi bahaya berupa bias algoritma, pelanggaran privasi, dan pengambilan keputusan yang tidak berbasis akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Data dari laporan ELSAM dan Access Partnership tahun 2023 menunjukkan bahwa pemanfaatan AI generatif di Indonesia diprediksi mampu menyumbang hingga USD 243,5 miliar ke dalam perekonomian nasional, setara dengan 18% dari PDB tahun 2022. Namun manfaat ini tidak akan optimal tanpa praktek penerapan yang bijak dan inklusif.
Permasalahan utama generasi muda saat ini adalah hilangnya kendali atas kehidupan digital mereka. Banyak dari mereka yang tidak memahami cara kerja algoritma, namun menerima pengaruhnya secara langsung. David Kaye, Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi, bahkan menyebut bahwa AI berpotensi menciptakan "kotak hitam" dalam pengambilan keputusan yang bisa mengikis kendali individu dan menimbulkan diskriminasi struktural, terutama terhadap kelompok muda yang termarjinalkan.
Membuminya Implementasi AI di Indonesia
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, teknologi AI mulai diterapkan secara nyata di berbagai sektor. Salah satunya dalam bidang pendidikan. Berkembangnya platform digital seperti Ruangguru dan Zenius menggunakan algoritma cerdas untuk menyesuaikan materi pembelajaran berdasarkan kebutuhan siswa. Kolaborasi dengan pemerintah pun dicanangkan, seperti penyediaan konten belajar di TVRI saat pandemi untuk menjangkau siswa di daerah terpencil.
Sementara itu, masalah kesehatan mental yang meningkat di kalangan remaja ditanggapi dengan lahirnya startup seperti Riliv. Aplikasi ini menghadirkan layanan konseling dengan dukungan chatbot AI yang menjadi “pertolongan pertama” psikologis bagi anak muda yang belum siap berkonsultasi langsung dengan profesional.
Di sektor ketenagakerjaan, aplikasi seperti GROW360 mulai digunakan untuk menyaring pelamar berdasarkan kompetensi, bukan hanya latar belakang institusi pendidikan. Ini menjadi angin segar bagi anak muda dari keluarga biasa yang kerap kalah bersaing dalam seleksi kerja.
ADVERTISEMENT
“Perusahaan-perusahaan harus didorong untuk menggunakan alat seleksi yang adil dan bebas bias, terutama dalam rekrutmen pertama anak muda,” kata Roby Tjiptadjaya, CEO Global Leadership Centre yang mengembangkan GROW360.
Dalam bidang pemerintahan, Kota Semarang menjadi salah satu daerah yang mulai menggunakan AI dalam sistem pengelolaan aspirasi publik. Melalui program “Lapor Hendi”, aduan masyarakat dipilah menggunakan teknologi Natural Language Processing (NLP), sehingga suara warga, termasuk anak muda, dapat diproses secara cepat dan tepat sasaran.
Namun ternyata tidak semua penggunaan AI berjalan mulus. Kasus penyebaran hoaks dan ujaran kebencian selama Pemilu 2019 dan 2024 menunjukkan kelemahan sistem moderasi konten digital. Pemerintah pun meluncurkan Cyber Drone 9 yang berupa sistem pemantau konten negatif berbasis AI. Sayangnya, sistem ini dinilai masih kurang transparan dan belum melibatkan publik dalam proses verifikasi data.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi Implementasi Etika dan Regulasi yang Jelas
Para pakar menyebutkan, bahwasannya teknologi AI yang tidak diimbangi dengan etika dan regulasi yang jelas, dapat menjadi bumerang. Filosof Jerman Martin Heidegger bahkan mengingatkan bahwa manusia bisa “tunduk” pada teknologi jika tidak membangun relasi yang sehat dengannya.
“Teknologi seharusnya membantu manusia, bukan sebaliknya,” tulis Heidegger dalam refleksi yang dikutip ELSAM.
Dalam hal ini, regulasi perlindungan data pribadi menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Generasi muda, sebagai pengguna utama platform digital, rentan menjadi sasaran manipulasi data. Transparansi algoritma, partisipasi anak muda dalam kebijakan digital, serta pendidikan literasi digital berbasis etika menjadi kunci utama dalam membangun budaya penerapan ai berbasis etika.
Peneliti ELSAM menyatakan, “Generasi muda adalah aktor sekaligus subjek dalam perkembangan AI. Mereka harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan dan pengembangan teknologi ini.”
ADVERTISEMENT
Kedepannya, dalam perjalanan memastikan AI menjadi sekutu, bukan ancaman bagi generasi muda Indonesia, menuntut kerja Bersama yang bersifat continue. Pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil harus bergandengan tangan mengembangkan AI yang inklusif, transparan, dan berkeadilan sosial. Masa depan digital Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana teknologi ini dikembangkan dan untuk siapa. AI tidak bisa dibiarkan berkembang liar, Ia harus ditambatkan pada nilai-nilai kemanusiaan, karena kemajuan tidak selalu berarti kebaikan, kecuali jika dikawal dengan kebijaksanaan.