Konten dari Pengguna
AI dan Meme Politik: Saat Ekspresi Satir Justru Mengantar ke Jeruji Besi
9 Juni 2025 12:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
Kiriman Pengguna
AI dan Meme Politik: Saat Ekspresi Satir Justru Mengantar ke Jeruji Besi
Kasus meme Prabowo-Jokowi buka perdebatan soal satir, hukum, dan kebebasan berekspresi di ruang digital. Perlukah kritik visual dikriminalisasi?Raden Fachry Nurrakhman
Tulisan dari Raden Fachry Nurrakhman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Meme sebagai Alat Politik, Satir Digital, dan Ancaman Kriminalisasi

ADVERTISEMENT
Penggunaan meme sebagai sarana komunikasi politik telah menjadi hal yang umum di era media sosial. Fatanti & Prabawangi (2021) menjelaskan bahwa meme politik mampu mengkritik isu-isu dengan cara yang kreatif dan ringan karena unsur humor. Dalam studi Komunikasi, hal ini dapat dipahami sebagai bentuk komunikasi visual yang mendorong kemungkinan untuk membangun dialog baru.
ADVERTISEMENT
Namun, munculnya meme AI menambah kompleksitas. Di satu sisi, ini adalah bentuk partisipasi politik digital. Di sisi lain, tanpa kecakapan media yang memadai menimbulkan risiko besar salah tafsir atau konsekuensi hukum. Inilah yang terjadi dalam kasus mahasiswi ITB, meme tersebut dianggap normatif secara hukum dan sosial, meskipun dia menegaskan bahwa interpretasinya adalah satir.
Meme politik yang ditingkatkan dengan AI dapat menyebabkan bias persepsi karena realisme grafiknya. Oleh karena itu, wajar untuk mengantisipasi mereka memanipulasi opini publik dalam banyak kasus, terutama di antara audiens dengan kecakapan media yang rendah. Inilah alasan mengapa media, bersama dengan institusi pendidikan, harus proaktif dalam membangun kesadaran tentang konten yang berkisar pada AI visual.
Mengapa Meme Ini Menjadi Viral?
Belum lama ini, publik dihebohkan dengan penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung berinisial SSS. SSS ditangkap oleh aparat sebagai pembuat dan penyebar gambar meme satir. Dalam isi meme itu terdapat foto interaksi fiktif yang terjadi antara sang Presiden RI saat ini, Prabowo Subianto, dan Presiden RI ke-7 Joko Widodo. Meme tersebut pertama kali tersebar melalui platform X (Twitter) dan dengan cepat booming di jagad maya (Mawardi, 2025). Polisi pun langsung menemukan si pembuat meme dan menetapkan bahwa SSS sebagai tersangka atas pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 1 Tahun 2024 dan UU Pornografi. (Octavia & Damarjati, 2025).
ADVERTISEMENT
Hal ini memiliki konsekuensi baik di pihak pro maupun di pihak kontra di ranah publik. Di satu sisi, beberapa orang masih menganggap meme sebagai bagian dari kritik sindiran demokratis yang normal di zaman kontemporer, terutama karena digitalisasi masyarakat. Di sisi lain, banyak yang menganggap bahwa itu sebagai ejekan terhadap martabat seorang kepala negara dan oleh karena itu termasuk pelanggaran etika dasar. Namun terlepas dari di mana seseorang berdiri pada masalah ini, fenomena ini memunculkan refleksi yang lebih mendalam tentang dampak media, terutama media sosial, pada kehidupan masyarakat kontemporer.
Tanggung jawab ini jelas berada di fungsi lembaga pendidikan. ITB sendiri terus memberikan pendampingan kepada mahasiswi yang ditangkap sembari mengimbau agar bijak bersosial media kepada sivitas akademika (Yulika, 2025). Sebaliknya, dalam hal ini aktivitas perkuliahan tidak boleh hanya terbatas pada peningkatan kapasitas akademik.
ADVERTISEMENT
Menelusuri Jejak: Bagaimana Meme AI Dibuat dan Diterima Oleh Masyarakat?
Meme digital merupakan bagian dari budaya internet yang sangat penting saat ini, teknologi AI sudah mempengaruhi cara meme diciptakan. Di masa lalu, meme hanya berupa tulisan atau gambar sederhana. Namun saat ini berkat perkembangan teknologi terutama AI, meme dapat dibuat dalam bentuk visual yang lebih kompleks dan meniru wajah publik figur seperti deepfake atau image generation creator. Teknologi ini memungkinkan orang untuk menyampaikan opini atau kritik dengan cara yang berbeda dan lebih kuat.
Lankshear & Knobel (2020) mengungkapkan bahwa meme di internet pada saat ini bukanlah merupakan candaan semata, tetapi telah menjadi senjata diskursif untuk mempengaruhi publik. Dalam komunikasi yang berkaitan dengan politik, meme menjadi sarana kritik dalam bentuk yang simpel, menghibur namun sangat dalam dari aspek politik maupun sosial. AI sudah membuat proses penciptaan konten tersebut lebih mudah dan lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Permasalahan sosial seperti yang dijabarkan oleh Nyoman et al (2020) dengan gaya bahasa satir yang ada pada meme menjadi senjata berlawanan yang tidak langsung. Bersamaan dengan gaya tersebut menjadikan meme sebagai senjata untuk protes sosial maupun politik yang lebih efektif. Elemen humor dalam meme sangat bermanfaat untuk meredakan ketegangan dan membuat pandangan publik lebih positif.
AI dan Etika Komunikasi Massa
Dalam bidang komunikasi, keberadaan AI sebagai alat pencipta konten harus dipertimbangkan secara mendalam. Peters & Allan (2022) mendiskusikan konsep “mimetic weaponization”, yaitu meme yang digunakan secara lusinan untuk menargetkan simbol, tokoh, atau ideologi tertentu. AI tidak bisa lagi pemikir netral teknologi, tetapi bisa disalahgunakan secara politis.
Leiser (2022) memaparkan bahwa pengguna media sosial dengan mudah dan cepat mengekspresikan pandangan politik mereka melalui meme. Hal ini mendukung beredarnya AI sebagai alat komunikasi partisipatif, tetapi di lain pihak, melewati batas-batas etika dan regulasi. Tidak ada pengertian dari dampak sosialnya berpotensi menjebak pengguna dalam tindakan yang di mata hukum dianggap melanggar.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan utama yang perlu dihadapi adalah perlunya penyesuaian regulasi hukum dengan perkembangan teknologi dalam mempercepat laju perubahan. Terkait fenomena konten berbasis AI, banyak undang-undang belum dapat mengakomodasi, dan berpotensi multitafsir dalam penegakannya. Dengan maksud kritik sosial, hal ini berpotensi menimbulkan pengkriminalan terhadap konten kreatif yang sejatinya dimaksudkan.
AI sebagai Tantangan Baru dalam Ilmu Komunikasi
Penerapan AI di bidang komunikasi tidak hanya terbatas pada produksi meme. Namun dapat meluas ke analitik data besar, distribusi pesan algoritma, otomatisasi interaksi publik, dan lainnya. Namun, ketika datang ke meme, AI berfungsi sebagai alat impresif komunikasi politik visual.
Meme politik sering kali digunakan untuk menggoyahkan kekuasaan di ruang digital yang dikendalikan secara ketat, seperti yang dicatat oleh Soh (2020). Meme yang didorong oleh AI dapat secara efektif menyembunyikan identitas penciptanya sekaligus menawarkan kritik sosial yang kuat. Ini menghadirkan tantangan baru bagi regulasi, karena jejak AI dapat disembunyikan, menyulitkan penelusuran asal konten.
ADVERTISEMENT
Di era di mana AI dapat mereproduksi kenyataan melalui citra, pesan meme dapat disampaikan dengan kuat dan seketika. Oleh karena itu, komunikator abad ke-21 harus menyadari bahwa AI bukan hanya alat untuk produksi, ia adalah bagian dari sistem rumit yang mentransmisikan makna. Penguasaan teknologi disertai dengan sensitivitas etika yang tajam sangat penting untuk komunikasi massa di era AI.
Menjaga Pemikiran Kritis di Zaman Visualisasi Otomatis
Meme AI yang melibatkan mahasiswi ITB tidak hanya menciptakan satu permasalahan hukum, tetapi juga memberi perhatian penting pada perkembangan ilmu komunikasi. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, masyarakat telah dan akan terus terpengaruh oleh opini publik, dan dengan kehadiran meme AI pendapat publik baru menjadi lebih mudah. Sementara di dunia komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi tanpa kendali AI perlu dimitigasi menggunakan etika, regulasi, dan literasi kritis. Jika tidak, inovasi yang dihadirkan justru seperti meme AI dapat membungkam, bukan memberdayakan, emosi serta ungkapan ekspresi publik.
ADVERTISEMENT
Transformasi yang diciptakan AI menciptakan peluang tidak terbatas dalam bidang belajar, berpartisipasi dalam politik, serta dalam penguatan dan perkembangan sebuah demokrasi digital. Dengan mengedepankan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab untuk berekspresi, serta dengan penerapan teknologi, khususnya dalam kreasi dan distribusi gambar bergerak, AI berpotensi memberikan manfaat besar bagi publik.
Jika dulu meme adalah bentuk kritik ringan, kini meme berbasis AI bisa menjadi alat kritik yang membahayakan si pembuatnya. Dan jika hukum tak kunjung adaptif, maka bukan kekuasaan yang akan terguncang, melainkan demokrasi itu sendiri.
Raden Fachry Nurrakhman
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran

