Konten dari Pengguna

Persoalan Inkonstitusional Bersyarat Omnibus Law Cipta Kerja

Raden Mahdum, SH
Akademisi Hukum dan Legal Corporate Officer
4 Januari 2022 18:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Mahdum, SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Omnibus Law Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Sumber: kumparan.com https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1560479483/yijix7ijvuezv7olaijt.jpg
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: kumparan.com https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1560479483/yijix7ijvuezv7olaijt.jpg
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara terkait pengujian Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptakerja) dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Inkonstitusional) bersyarat. Kemudian, konsekuensi dari dinyatakanya Omnibus Law Ciptakerja Inkonstitusional bersyarat, MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Omnibus Law Ciptakerja menjadi Inkonstitusional secara permanen.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian DPR dan Pemerintah harus memperhatikan dan secepatnya menindaklanjuti serta melaksanakan perintah putusan MK. Sebab untuk memperbaiki Omnibus Law Ciptakerja dalam waktu 2 (dua) tahun bukanlah hal yang mudah dilakukan. Apalagi dalam rangka memperbaiki UU tersebut juga harus memperhatikan keterbukaan dan pasrtisipasi masyarakat, guna menjadikan UU tersebut menjadi produk hukum yang responsif dan memenuhi asas-asas dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 (UU PPP).
Akibat Tidak Terlaksananya Putusan
Akibat langsung yang dapat dirasakan apabila Pembentuk undang-undang tidak mampu melaksanakan perbaikan atas Omnibus Law Ciptakerja dan juga sudah tertulis dalam amar putusan mengenai pengujian undang-undang tersebut adalah kembali kepada undang-undang lama. Artinya segala aktivitas investasi usaha dalam bidang apapun yang diatur dalam Omnibus Law Ciptakerja dalam waktu 2 (dua) tahun sejak Omnibus Law Ciptakerja disahkan, akan kembali ke undang-undang lama yang mengatur hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal yang demikian tentunya akan menimbulkan kekacauan. Karena pembangunan investasi sektoral yang dibangun selama 2 (dua) tahun dengan menggunakan Omnibus Law Ciptakerja yang telah mengalami sinkronasi, lalu digantikan kepada undang-undang lama yang saling tumpang tindih, ketika terjadi pergantian itu, maka para pelaku usaha investasi akan dirugikan, bahkan akan berdampak pada keterhambatan pemulihan ekonomi. Hal tersebut terlihat jelas bahwa dasar pembentukan dari pada Omnibus Law Ciptakerja adalah untuk pemulihan ekonomi. Tetapi ketika dalam perbaikanya mengalami kegagalan dan kembali kepada undang-undang lama, malah justru sebaliknya.
Merujuk pada pendapat mantan Hakim Konstitusi (2003-2008) Maruarar Siahaan, beliau berpendapat “Dalam regulasi, kita mengetahui di masa lalu apa yang dikatakan ketidak harmonisan sistem peraturan perundang-undangan, baik secara horizontal dalam arti 1 (satu) level dengan undang-undang tetapi di bidang yang lain memiliki kaitan terhadap suatu objek tertentu misalnya yang saling bertentangan, maupun secara vertikal peraturan di atas dengan di bawah, apakah itu peraturan-peraturan daerah yang saling mengikat di dalam suatu langkah-langkah kebijakan di bidang ekonomi misalnya perizinan dan lain-lain yang harus dipedomani oleh pemerintah oleh karena demikian luas nya.” Oleh karena itu, pada dasarnya pembentukan Omnibus Law Ciptakerja diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper regulation peraturan perundang-undangan mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidak pastian hukum.
ADVERTISEMENT
Sebab, apabila pembentuk undang-undang tidak membentuk Omnibus Law Ciptakerja, maka terdapat kurang lebih 78 undang-undang yang harus dibuat dalam waktu bersamaan dan pastinya membutuhkan waktu yang relatif lama, sedangkan kebutuhan akan adanya suatu regulasi yang komprehensif ini sangat dibutuhkan. Pembentukan, Omnibus Law Ciptakerja dapat mengatasi disharmonisasi peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien; pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif, dan efisien; meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait; menyeragamkan kebijakan pemerintah di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit; menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan; dan addresat undang-undang dimaksud, serta dapat melakukan sinkronisasi dan harmonisasi atas 78 undang-undang dengan 1.209 pasal terdampak menjadi substansi tunggal yang dimuat dalam Omnibus Law Ciptakerja.
ADVERTISEMENT
Masalah Jangka Waktu 2 Tahun
Kemudian, MK menyatakan pembentuk undang-undang harus memperbaiki undang-undang tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Jika kita bandingkan dengan putusan di masa lalu pada Putusan No. 012-016-19/PUU-IV/2006, MK memberikan masa 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan pada Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK perihal peradilan Tindak pidana korupsi dengan maksud untuk mencegah kekacauan. Jangka waktu 3 (tiga) tahun untuk memperbaiki pasal-pasal tersebut dirasa cukup, dengan pertimbangan pembentuk undang-undang harus sangat berhati-hati untuk memperbaiki pasal-pasal tersebut dengan memperhatikan ketentuan yang ada dalam asas-asas yang diatur dalam UU PPP.
Menjadi menarik adalah dalam putusan MK terkait pengujian Omnibus Law Ciptakerja, pembentuk undang-undang hanya diberikan jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan tersebut dibacakan. Artinya pembentuk undang-undang harus merubah keseluruh undang-undang tersebut karena undang-undang tersebut cacat formil. Pertimbangan inilah yang menjadi menarik, sebab mungkinkah pembentuk undang-undang dapat menyelesaikan perbaikan pada Omnibus Law Ciptakerja dan harus sesuai dengan asas-asas dalam UU PPP hanya dengan jangka waktu 2 (dua) tahun. Sebab sebelumnya undang-undang ini dinyatakan cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, yang artinya seluruh muatan dalam undang-undang tersebut Inkonstitusional.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya banyak dari para ahli dan juga penulis berpendapat, bahwa dalam memperbaiki Omnibus Law Ciptakerja dalam jangka waktu 2 (dua) tahun apalagi harus memenuhi asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah hal yang sulit. Sebab undang-undang tersebut pun dibahas dan dirancang tidak lebih dari 2 (dua) tahun dan dinyatakan Inkonstitusional yang berarti tidak memenuhi tata cara atau proses yang diatur dalam UU PPP.