Konten dari Pengguna

Kontroversi Hukuman Mati : Kajian Hukum, Etika dan Implikasi Politik

Prastiyo Umardani
Analis lingkar studi masyarakat dan hukum (RUSH)
6 April 2025 15:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prastiyo Umardani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber https://pascasarjana.umsu.ac.id/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber https://pascasarjana.umsu.ac.id/
ADVERTISEMENT
Hukuman mati telah lama menjadi salah satu topik yang terus memicu perdebatan sengit di Indonesia, baik dari sisi hukum, moral, hingga politik. Kontroversi mengenai eksekusi hukuman mati tak hanya mengguncang sistem peradilan pidana dalam negeri, tetapi juga memperburuk hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Pelaksanaan hukuman mati sering kali menimbulkan pro kontra terkait dengan prosedur eksekusi, seberapa efektifnya hukuman ini dalam memberikan efek jera, serta dampaknya terhadap penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
Isu hukuman mati kembali mencuat ke permukaan setelah presiden menyampaikannya dalam pidato publik baru-baru ini. Polemik ini seakan berubah menjadi bola panas yang tak hanya menyebarkan aroma politik, tetapi juga mempengaruhi hubungan antarnegara. Pelaksanaan hukuman mati ternyata tak semudah yang dibayangkan, dengan perdebatan yang memanas mengenai jenis eksekusi yang sebaiknya diterapkan—sebuah tawar-menawar tentang cara kematian yang dianggap layak. Mari kita sejenak menoleh ke masa lalu, saat tembakan senapan laras panjang menggema, melesatkan timah panas yang merenggut nyawa Humphrey Ejike hingga Hansen Anthony Nwaolisa, serta sejumlah penyelundup internasional lainnya. Mereka menghadapi kematian dalam tujuh menit yang penuh derita, dan tiga menit setelah itu, dokter memastikan bahwa mereka telah meninggal. Sebuah kematian yang dicapai dalam waktu sepuluh menit lewat tembakan, sebuah ironi kecepatan yang menambah tragedi.
ADVERTISEMENT
Waktu meregang nyawa itu yang diperdebatkan dalam ‘musyawarah’ di Mahkamah Konstitusi, ketika Tim Pengacara Amrozi mengajukan gugatan ke MK. Selain ditembak ada alternatif lain, suntik mati. Waktu meregang nyawa lebih singkat dibanding ditembak. Suntik beracun dianggap lebih ‘nyaman’, terpidana dipingsankan, lalu diinjeksi dengan tujuan menghentikan kerja jantung. Reaksinya persis seperti serangan penyakit jantung. Hukuman tembak mati membuat terpidana menderita lebih lama, dan ini dianggap menyiksa, bertentangan dengan konvensi anti penyiksaan. Alternatif lain ialah pancung dan gantung. Para korban gantung diri tidak sempat meninggalkan catatan rentang waktu kematian mereka. Hukuman pancung? Dianggap paling cepat diantara semua pilihan. Tapi kedua model ini dianggap jalan terbaik menemui kematian, lebih cepat dan tak sesakit hukuman tembak yang ditujukan ke jantung namun meleset. Jika tepat sasaran jantung langsung pecah, tak selang berapa menit baru meninggal. Menurut dokter ahli bedah salah satu saksi ahli dalam uji materi meragukan akurasi tembakan eksekutor sehingga resikonya terpidana lebih menderita karena waktu kematianya semakin panjang. Dalam praktiknya, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia masih menghadapi tantangan teknis dan hukum. Salah satu aspek yang sering diperdebatkan adalah metode eksekusi. Selama ini, Indonesia menerapkan metode regu tembak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 KUHP, pasal ini berpendapat bahwa menghilangkan nyawa manusia atas ijin hakim diperkenankan asal memegang prinsip waktu: cepat mati dan sedikit tersiksa. KUHP menyediakan satu klausul yang mengatur hukuman mati dengan cara digantung. Akan tetapi, metode ini menimbulkan pertanyaan terkait durasi kematian dan tingkat penderitaan yang dialami oleh terpidana. Ukuran baik atau tidak baik terhadap kematian di mata hukum hanya persoalan ‘durasi meregang nyawa’ atau derita sakit yang dialami terpidana. Sebagian manusia merasa wenang, berhak, menghilangkan nyawa atas nama kebenaran, atas nama adat apalagi keyakinan. Juga atas nama tujuan, kekuasaan, ideologi, ekonomi dan bisnis. Urusan hukuman mati tidak sebatas ‘merebut’ hak Tuhan, tapi bagaimana segepok etika ikut terjunjung dijunjung ke atas harga kehidupan, sehingga kematian mempunyai nilai. Perbuatan manusia sadar tidak sadar ada dalam mainstream etika, adat dan azas keyakinan yang mereka junjung. Etika manusia memilah baik dan buruk, yang bersandar dari kata hati, dan tahap pra kata hati mengawali konstruksi tindakan (Poedjawiyatna, 1982). Semua ‘kodifikasi’ etika bukan berasal dari perjanjian antar manusia melalui permufakatan, voting, lobi apalagi sharing. Tingkah laku dan perbuatan manusia diverifikasi menurut etika baik determinismus atau indeterminismus, tidak diverifikasi berdasar pembakuan prosedur hukum. Sehingga derajat etika lebih tinggi dibandingkan dengan derajat hukum yang proses pembuatannya berdasar pola-pola kompromis kekuatan kepentingan wakil partai. Bahkan rumusan hukum positif berkesempatan untuk ditinjau ulang-kan. Uji materi dan musyawarah cara eksekusi bentuk ketidaksiapan hukum mengakomodir dimensi etik, tata nilai, yang dianut seseorang memaknai kematian. Kematian menjadi rangkaian etika, keyakinan, yang menebus dosa mengembalikan harga diri. Dalam konteks etika sosial dan budaya, makna kematian dalam berbagai tradisi di Indonesia menunjukkan adanya dimensi nilai tersebut yang melekat pada proses kematian. Beberapa tradisi lokal seperti Jallo dalam budaya Bugis atau belapati dalam budaya Jawa, memandang kematian sebagai upaya menebus kesalahan dan mengembalikan martabat diri. Perspektif ini menunjukkan bahwa makna kematian tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum dan procedural, tetapi juga memiliki dimensi moral dan simbolik yang mendalam. Hukum tidak mengenal nilai mati untuk mengembalikan martabat diri. Atas nama hukum, perbuatan salah, tidak sesuai etika, tidak perlu diganjar hukuman apapun asalkan mampu berargumentasi. Terhadap kata hati, orang tidak bisa membohongi tata nilai dari dalam dirinya sendiri. Berlawanan dengan makna ‘baik dan buruk’ yang hanya bersandar dari argumentasi. Hakim plus tata cara mengambil putusan representasi pasal-pasal, bukan representasi ukuran keadilan apalagi penegakan etika, baik dan buruk. Menjalani kematian dilakoni di berbagai ritual yang menghapus kesalahan, mengembalikan harga diri agar etika eksistensi kemanusiaan diberi tempat dalam koloninya. Kesalahan ditebus dengan nyawa, melalui kematian kesalahan tidak senantiasa dilekatkan pada namanya. Mematikan diri (bunuh diri) jadi penegasan identitas, membela kekerabatan, belapati di Jawa, turubela di Sulsel, sehingga mati menjadi jalan ksatriaan. Belapati, mati dan nilai semacam itu tidak diverifikasi berdasarkan rentetan pasal, tapi kerangka keyakinan etikanya. Apakah hukum positif memberi tempat pada persoalan semacam ini? Tidak. Terpidana bom Bali di masa lalu memberi kita sebuah kesadaran baru bahwa hukum hanya rangkaian prosedur-prosedur yang tidak menghargai kematian. Melihat kematian hanya dari sudut waktu, hukum mengabaikan makna kematian. Hukuman mati bukan tentang hak hidup, apalagi efek jera, bukan pula persoalan cara, tapi bagaimana mati menjadi alat mengembalikan nama baik, menegaskan identitas, hingga menjadi jalan para ksatria. Prastiyo Umardani Penulis adalah pengajar Pancasila serta pegiat lingkaR stUdi maSyarakat & Hukum (RUSH).
ADVERTISEMENT