Dilan dan Rangga, Kenapa Kita Suka Mereka?

Raden Muhammad Wisnu Permana
Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana. Akun ini dikelola oleh beberapa admin. Silakan follow akun Twitternya di @wisnu93 dan akun Instagramnya di @Rwisnu93
Konten dari Pengguna
14 Januari 2019 21:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Muhammad Wisnu Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dilan dan Rangga, Kenapa Kita Suka Mereka?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Di kampus, pada suatu siang yang mendung, saya dan beberapa teman sedang menikmati musik melalui platform musik bernama Spotify di laptop saya. Sampai suatu ketika, salah satu mahasiswi bernama Ressy yang sedang makan siang kemudian nyeletuk, “Kok orang-orang suka dengan karya macam Raditya Dika, Fiersa Basari, Dilan, ya?”, sembari membaca postingan media sosial yang ramai diisi oleh ketiga tokoh tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagai pelengkap tulisan ini, mahasiswi Fakutlas Hukum asal Tasikmalaya yang bernama Ressy ini adalah anggota pers mahasiswa di kampus ini, dan cukup vokal dalam meneriakkan pendapatnya baik di kelas maupun forum-forum mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus.
Lalu, saya berkata, “Itu mah hiburan ringan aja sih. Kalau setiap hari baca karya semacam Madilog Tan Malaka, atau karya-karya Pramoedya Ananta Toer, kan pusing. Itu bacaan ringan aja sih. Aing baca Tan Malaka dan karya Pramoedya, terutama Larasati. Novelis Indonesia lainnya yang menurut aing bagus tuh Dewi Lestari. Supernova tuh edan pisan ceritanya.”
“Ah, aku sih gak nganggap itu karya sastra, Fiersa Basarie hanya memainkan kata saja. Bukan karya sastra. Raditya Dika dan Dilan juga cuma roman picisan”
ADVERTISEMENT
Itulah perbincangan singkat yang kami semua alami siang tersebut. Buku-buku karya penulis Indonesia yang pernah saya baca cukup banyak, seperti Ayat-Ayat Cinta dan karya-karya Kang Abik lainnya; Kambing Jantan beserta karya-karya Raditya Dika yang lain; Supernova karya Dewi Lestari; hingga Dilan karya Pidi Baiq. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk menulis tulisan ini.
Sebenarnya apa sih alasan kita menyukai kisah-kisah fiksi romantis anak SMA macam Dilan (Dilan dan Milea) hingga kisah Ada Apa Dengan Cinta (Rangga dan Cinta)? Cerita-cerita tersebut terlalu sempurna.
Pertama, kisah Dilan. Singkat cerita, Milea (Vanesha Prescilla) bertemu dengan Dilan (Iqbaal Ramadhan) di sekolah. Dilan digambarkan sebagai anak SMA yang tampan, pemberani, jago berkelahi, dan merupakan ketua geng motor terkemuka pada zamannya, tapi tetap pintar secara akademis--yang jatuh cinta pada Milea, murid baru yang cantik dan juga pintar.
ADVERTISEMENT
Kedua, kisah Ada Apa dengan Cinta. Rangga (Nicholas Saputra)--anak SMA yang pendiam, cenderung dingin, yang menyukai buku sastra lama macam Chairil Anwar--yang kebetulan dikisahkan berakhir jatuh cinta di akhir cerita dengan seorang gadis SMA populer dengan hidup gaya hidup yang serba berkecukupan bernama Cinta (Dian Satrowardoyo).
Dilan dan Rangga sama-sama bad boy dengan caranya sendiri. Dilan dan Rangga juga sama-sama sosok cerdas. Dan keduanya memiliki sisi romantis yang enggak mainstream yang membuat kita semua meleleh.
Lihat benang merahnya? Dari sudut pandang saya, saya ini tidak memiliki kehidupan masa SMA seindah Dilan maupun Rangga. Saya tidak tampan, populer, dan juga pintar, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Apalagi memiliki kekasih cantik macam Milea ataupun Cinta.
Dilan dan Rangga, Kenapa Kita Suka Mereka? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Adegan Romantis Dilan dan Milea
ADVERTISEMENT
Tentu, saya juga memiliki kekasih pada saat SMA. Tapi saya tidak mengalami kisah romantis mengendarai sepeda motor berdua dengan Milea di tengah hujan Kota Bandung pada tahun 1990-an yang romantis.
Dilan dan Rangga, Kenapa Kita Suka Mereka? (2)
zoom-in-whitePerbesar
Adegan Romantis Rangga dan Cinta
Juga, tidak mengalami sebuah ciuman pertama di Terminal Keberangkatan Internasional Bandara Soekarno Hatta secara dramatis sebelum penerbangan ke Amerika Serikat.
Barangkali, kita, atau setidaknya saya, menyukai kisah-kisah semacam ini karena fantasi kita yang membayangkan diri kita sendiri sebagai tokoh utamanya. Dalam hal ini, Dilan dan Rangga, yang kemudian mendapatkan Milea dan juga Cinta. Memang seberapa dari kita yang dilahirkan dengan tampang yang rupawan, tubuh yang atletis dan otak yang cerdas pada tingkatan anak SMA sih? Kebanyakan masih culun, masih naif dan juga tingkat intelektual yang rendah.
ADVERTISEMENT
Dulu kita masih remaja
Usia anak sma
Di sekolah kita berjumpa
Pulang pasti kita berdua
Dan kini kamu ada di mana
Dan kini rindu, apa khabarmu
Dan ingin lagi, dan ingin lagi
Jumpa
(Lirik Lagu Dulu Kita Masih Remaja - OST Dilan 1990)
Saat mendengarkan lagu tersebut, pikiran saya melayang pada kisah yang tidak tercapai pada saat SMA. Saya kerap kali gagal mendapatkan gadis impian saya pada saat SMA. Kalah berkelahi dengan rival saya saat SMA, hingga gagal masuk Institut Teknologi Bandung. Dan saat ini, mantan kekasih saya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik di luar negeri dengan suami dan anaknya.
Dalam hidup ini
Arungi semua cerita indahku
Saat saat remaja yang terindah
ADVERTISEMENT
Tak bisa terulang
(Lirik Lagu Kubahagia Melly Goeslaw)
Saat mendengarkan lagu tersebut, pikiran saya melayang pada kisah remaja yang tidak dapat terulang lagi. Dengan rekan-rekan seperjuangan saat SMA dahulu, saya ingat bagaimana asyiknya berwisata di Yogyakarta, bolos pelajaran sekolah, bermain petasan, sama-sama menonton film porno, hingga menangis bersama saat perpisahan sekolah.
Saat ini, sekadar ngopi di coffee shop sambil mengenang masa lalu saja sangatlah sulit. Ada yang sudah bekerja di luar negeri, hingga sudah berumah tangga dan memiliki anak.
Barangkali itulah. Mengapa, kita semua, atau saya, adalah pecundang dalam hidup ini yang tidak bisa mendapatkan apa yang sangat diinginkan dan diidam-idamkan. Dan film adalah pelipur laranya, sebagai obat dari segala ketidakadilan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti dalam kehidupan yang sesungguhnya, di film, tokoh utama selalu menang. Kisah cinta selalu indah. Di dunia nyata, penjahatlah yang selalu menang.
Sebagai sarjana ilmu komunikasi, saya paham betul, pada teori komunikasi massa, ada sebuah teori bernama teori kultivasi yang menyimpulkan bahwa orang yang sering menonton film, akan terbentuk pemikiran yang secara tidak langsung "memupuk" persepsi kita tentang kehidupan nyata, seolah-olah apa yang terjadi dalam cerita khayalan tersebut juga benar-benar terjadi di dunia nyata.