Konten dari Pengguna

Dilan dan Soe Hok Gie

Raden Muhammad Wisnu Permana
Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana. Akun ini dikelola oleh beberapa admin. Silakan follow akun Twitternya di @wisnu93 dan akun Instagramnya di @Rwisnu93
14 Juni 2018 8:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Muhammad Wisnu Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dilan dan Soe Hok Gie
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dilan vs Suripto dalam Film 'Dilan 1990'
Kemarin, aku baru saja menonton film 'Dilan 1990'. Terlambat beberapa bulan dari jadwal rilisnya. Namun, bukunya sudah lebih dahulu kubaca.
ADVERTISEMENT
Kejeniusan Pidi Baiq dalam menulis benar-benar membuatku kagum. Cerita remaja yang dikemas dengan bahasa yang remaja-able itu juga menyihir pembaca dewasa. Membawa romantisme Kota Bandung pada tahun 1990 yang sangat kurindukan.
Adegan paling penting bagiku dalam novel maupun filmnya bukanlah kisah cinta Dilan dan Milea, namun tentang oknum guru bernama Suripto.
Penggalannya dari Novel Dilan 1990:
Pada saat upacara bendera, Dilan ikut upacara bendera, tapi dia masuk di barisanku, sejajar denganku. Harusnya dia berada di barisan kawan-kawan sekelasnya. Buat aku sih gak masalah, justru menyenangkan, tapi tidak bagi guru yang bernama Suripto. Pasti, aku yakin.
Kekuatiranku terbukti, pada waktu Kepala Sekolah sedang pidato, diam-diam, dia ditegur oleh Pak Suripto, karena dianggap tidak berada di barisan yang seharusnya. Bukan cuma teguran, Pak Suripto menarik baju bagian belakang Dilan, dengan paksa, untuk memindahkan Dilan ke barisan seharusnya.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Pak Suripto membuat Dilan nyaris terjengkang. Dilan berseru:
"Heh? Apa ini?"
"Apa? Hah? Kamu mau melawan?" tanya Pak Suripto.
"Ya aku melawan!"
Pak Suripto menampar Dilan. Dilan balas menampar Pak Suripto. Pak Suripto mau menampar lagi, tapi Dilan keburu memukulnya dengan pukulan yang bertubi. Suasana menjadi ribut, menarik perhatian semua orang untuk memandang.
Pak Suripto lari menuju tengah lapangan upacara. Dilan mengejarnya. Aku melihat pak Suripto sempat terjatuh, merangkak sebentar untuk kemudian berdiri dan lari. Dilan mengejar Pak Suripto yang menyelusup di antara guru-guru yang pada baris di depan kami. Kepala Sekolah berteriak: "Apa ini?".
Upacara bendera menjadi kacau. Terdengar suara hiruk pikuk dari peserta upacara bendera. Guru-guru berusaha menahan Dilan. Kepala Sekolah turun dari mimbarnya. Dilan teriak kepada Pak Suripto yang entah sudah ada di mana:
ADVERTISEMENT
"Suripto! Pengecut kau!"
Aku melihat Piyan, Beyi, dan beberapa yang lain, pada lari untuk membantu guru menahan Dilan. Aku juga ke sana berharap bisa membantu untuk membuat Dilan jinak. Dilan marah. Beberapa guru menasehati Dilan untuk tenang. Ibu Rini, Guru Geografi, menepuk-nepuk bahu Dilan, sambil bilang:"Sabar, Dilan, Sabar!"
Syukurlah Dilan kemudian bisa tenang. Terdengar pengumuman upacara bendera dibubarkan. Aku, Piyan, Beyi dan beberapa guru, membawa Dilan ke ruang guru. Di sana kami duduk bersama Ibu Rini, Pak Syaiful, Pak Aslan, dan Ibu Pipi (Pegawai T.U)
"Sabar, Dilan", kata Bu Rini
"Aku bukan melawan guru, Bu. Aku melawan Suripto", kata Dilan. Aku diam terus, tidak tahu harus berkata apa.
ADVERTISEMENT
"Iya. Ibu ngerti", kata Bu Rini.
"Ibuku juga guru, kakakku juga guru", kata Dilan
"Iya. Dilan harus maklum dia memang begitu", kata Bu Rini
"Aku tidak bisa memaklumi guru yang begitu", jawab Dilan
"Kami juga gak suka dengan cara-cara dia", kata Bu Rini
"Siswa juga manusia", kata Dilan lagi
"Iya, tentu"
"Hormatilah orang lain kalau ingin dihormati", kata Dilan
"Kami mengerti", kata Pak Aslan
"Harus tahu, aku tidak melawan guru. Guru buatku, dia mulia. Sebagai guru, aku hormat ke dia, aku hanya melawan Suripto"
"Iya"
"Siapa pun dia....", kata Dilan
"Iya"
"Siapa pun dia, meskipun guru, jika tidak bisa menghargai orang lain, tak akan dihargai"
"Ibu, mengerti kenapa kamu begitu"
ADVERTISEMENT
"Jangan jabatan guru dijadikan alat kuasa untuk berbuat sewenang-wenang", kata Dilan
Kepala Sekolah datang, aku berdiri untuk memberi tempat dia duduk. Dia duduk di samping Dilan.
"Ada apa, Dilan?!", tanya Kepala Sekolah. Dia nampaknya sedang berusaha bicara hati-hati, karena kuatir Dilan akan juga menyerangnya
"Aku tidak melawan guru, aku melawan Suripto yang semena-mena"
"Kenapa dia?"
"Bapak harusnya tahu bagaimana perilaku dia. Kami tahu"
"Iya, tapi Dilan tidak harus begitu ke dia"
"Dia boleh begitu kepada kami?", Dilan nanya
"Begitu gimana?"
"Dia menjambak bajuku. Kayak ga ada cara lain. Ini bukan cuma ke saya. Sudah berapa orang kawan saya ditamparnya. Diperlakukan seenaknya", jawab Dilan. Jaman dulu, di sekolah, guru menampar siswa kayaknya sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, jauh berbeda dengan sekarang.
ADVERTISEMENT
"Maaf, mungkin kamu membandel?", tanya Kepala Sekolah
"Guru itu digugu dan ditiru, kalau dia mengajariku menampar, aku juga akan menampar"
"Bapak bukan mau membela dia. Mungkin Pak Suripto tidak bermaksud begitu", kata Kepala Sekolah seperti sedang membela Pak Suripto.
"Bapak tahu, waktu polisi datang ke sini? Pak Suripto bilang apa? Dia bilang: ini bukan urusan sekolah. Bawa aja ini, sambil nunjuk ke saya. Dia juga biang kerok, katanya"
"Ya sudah, kalau begitu nanti kita selesaikan", kata Kepala Sekolah
"Bapak harus tahu, dia juga melakukan pelecehan. Ada siswa perempuan yang ngadu ke saya"
"Iya, iya, kan ini baru sepihak. Nanti kita pertemukan"
"Aku ingin bertemu dia. Kalau tidak, aku datangi rumahnya"
ADVERTISEMENT
"Iya. Pasti diusahakan bisa ketemu. Bisa damai"
Habis itu, kami keluar dari Ruangan Guru, untuk masuk ke kelas masing-masing yang sudah mulai pada belajar. Sebelum pergi ke kelasnya, Dilan bilang:
"Aku bukan jagoan. Aku hanya melawan, Lia"
"Iya", jawabku
"Maaf, Lia"
"Iya, Dilan. Aku mengerti"
Jaket denim Dilan  (Foto: Instagram @falconpictures_)
zoom-in-whitePerbesar
Jaket denim Dilan (Foto: Instagram @falconpictures_)
Adegan ini tentu saja sempat viral dan dikecam banyak pihak. Tentu saja, dikhawatirkan para remaja yang menonton film ini akan sangat rentan terinspirasi oleh adegan tersebut. Tidak hanya tindakannya, gaya berpakaiannya pun akan mereka tiru. Dan para guru juga jangan terinspirasi oleh Pak Suripto yang suka main kasar pada muridnya.
Lebih dari setengah abad yang lalu pun, mendiang Soe Hok Gie mengeluhkan hal yang sama dikeluhkan oleh Dilan. Dalam film 'Gie' yang diperankan oleh Nicholas Saputra, diceritakan sewaktu masih SMA Soe Hok Gie pernah melancarkan protes keras terhadap gurunya di waktu pelajaran sastra.
Dilan dan Soe Hok Gie (2)
zoom-in-whitePerbesar
Soe Hok Gie, Remaja dalam Film 'Gie'
ADVERTISEMENT
"Pak bukankah ada perbedaan antara penerjemah dengan pengarang?"
"Dalam hal ini bisa dikatakan penerjemah sama dengan pengarang. Karena pengarang aslinya tidak dikenal di sini. Jadi bisa dikatakan Chairil Anwar adalah pengarang "Pulanglah Dia Si Anak Hilang"
"Tidak bisa begitu pak. Penerjemah tetaplah berbeda dengan pengarang. Lagi pula pengarang aslinya "Andre Gide" dikenal di sini."
"Iya kamu kenal. Tapi yang lain?"
"Tukang becak juga tidak kenal dengan Chairil Anwar"
Tidak hanya itu, Soe Hok Gie karena nilai pelajaran sastranya yang seharusnya mendapatkan nilai 8 dikurangi 3 oleh gurunya tersebut sehingga Ia hanya mendapatkan nilai 5.Soe Hok Gie sangat kecewa dengan sikap gurunya yang tidak mau terbuka terhadap kritik dan selalu menganggap jawabanya sendiri yang paling benar. Mendiang Soe Hok Gie kemudian berkata, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
ADVERTISEMENT
Walau sudah lebih dari 8 tahun lulus SMA, aku sangat berapi-api saat membaca dan menonton kedua adegan tersebut. Dua adegan lintas zaman, namun kupikir masih sangat relevan dengan apa yang terjadi di tanah air saat ini. Jika kita menonton kedua film “Gie” dan “Dilan 1990”, serta membaca buku “Catatan Seorang Demonstran” dan “Trilogy Dilan”, kita akan mengerti bagaimana kedua tokoh yang berbeda, yakni yang satu sosok non fiksi dan yang satu adalah sosok fiksi tersebut memiliki satu akar yang sama, yaitu menuntut sebuah keadalian dari dunia yang tidak adil. Sekaligus, kedua tokoh lintas universe tersebut sangat menginspirasiku dalam memandang makna hidup dan kehidupan yang fana ini.
Tentu, dua kejadian di atas tersebut ukanlah salah Suripto dan guru Soe Hok Gie sepenuhnya. Warisan Pendidikan zaman kolonial masih membekas jauh di kalangan tenaga Pendidikan kita. Mereka belum dibekali ilmu Pendidikan yang baik dan benar layaknya Finlandia. Sistem Pendidikan kita pun masih banyak bobrok dan korupnya. Tenaga Pendidikan digaji seadanya, bahkan tidak layak. Guru tidak merasa dihormati oleh negara, padahal dari tukang becak hingga presiden dicetak oleh para guru yang mulia ini. Tidak heran banyak guru yang bertindak seperti Suripto karena gejolak dalam hatinya yang berteriak, perut istri dan keluarganya yang juga butuh makan.
ADVERTISEMENT
12 tahun bersekolah formal, aku pun mendapati banyak oknum guru seperti itu. Aku tahu betul. Dan mengalaminya sendiri. Banyak sekali oknum tenaga Pendidikan yang suka sewenang-wenang pada peserta didiknya. Dari tindakan verbal maupun non verbal, sampai tindakan psikis seperti Pak Suripto. Yang ekstrim, banyak juga oknum guru yang melecehkan peserta didik secara seksual. Ini mengerikan.
Saat ini juga, banyak guru yang dipidanakan karena berusaha menegakkan nilai-nilai budi pekerti pada peserta didiknya. Guru yang mencubit peserta didik karena muridnya nakal, berakhir di balik jeruji besi. Guru dituntut mencetak pemimpin bangsa, namun tidak dilindungi secara hokum, apalagi secara ekonomi. Keluarganya mau makan apa?
Itulah mengapa aku tuliskan bahwa adegan Suripto adalah adegan terpenting dalam kisah Dilan. Sebuah sisi kelam dunia Pendidikan Indonesia. Banyak temanku yang merupakan lulusan Universitas Pendidikan Indonesia yang berkonsentrasi di fakutlas Pendidikan berbagai disiplin ilmu mengurungkan niatnya menjadi guru dan memutuskan untuk mencari pekerjaan lain karena guru digaji dengan amat tidak layak, seringkali dibawah UMR tanpa tunjangan yang besar layaknya PNS, apalagi pegawai BUMN. Bahkan, kebanyakan dari mereka berkuliah keguruan bukan panggilan hati, namun karena passing gradenya hanya cukup disitu saja. Target utamanya tentu saja ITB, UI, UNPAD, atau UGM. Lagipula menjadi guru, beban kerjanya melebihi PNS dan pegawai BUMN. Dunia dan akhirat pula pertanggungjawabannya. Pertanyaannya, kapankah dunia Pendidikan Indonesia maju seperti Finlandia dimana tenaga pendidikannya digaji besar, sistem Pendidikan yang bagus, dan sarana prasarananya juga memadai, serta berprestasi di hampir seluruh bidang disiplin ilmu?
ADVERTISEMENT