Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pemuda Hijrah, Semoga Bukan Jadi Tren Sesaat
2 Oktober 2017 18:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Raden Muhammad Wisnu Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jagat dunia maya di tahun 2017 ini diramaikan oleh salah satu tren yang tergolong baru, yaitu sebuah gerakan dakwah bernama “Pemuda Hijrah”. Sebuah gerakan yang salah satunya dipelopori oleh Ustadz Evie Effendi. Seorang Dai nyentrik dengan busana gaul ini selalu menyelipkan puisi, bahasa sunda gaul, dan lagu populer sembari menyelipkan tauhid dan syariat Islam kepada para jamaah, terutama para pemuda. Seketika, para pemuda pun langsung menjadi penggemarnya dan memutuskan untuk hijrah dan memperdalam ilmu agama.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan “Pemuda Hijrah”salah satunya adalah karena faktor gaya bahasa para Dai yang populer dan menghindari istilah-istilah sulit dalam bahasa Arab. Para marketing “Pemuda Hijrah” juga pandai menyebarkan dakwahnya melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan juga Line. Topik-topik setiap pertemuan juga mengambil kalimat populer yang muda diingat seperti “Baper,” “Ketika cinta bertepuk sebelah tangan”, dan hal-hal lainnya. Selain itu, hijrahnya pemain band, pentolan klub motor, para artis, hingga para mantan narapidana berhasil memikat anak muda akan rasa sungkan untuk mendengarkan ceramah dan memperdalam ilmu agama.
Output-nya, begitu banyak teman-temanku yang memutuskan pasangannya (baca: pacarnya) saat itu, lalu memperdalam ilmu agama. Setelah itu, mereka melakukan kegiatan ta’aruf dan menikah dengan calon pasangan yang juga tergabung dalam “Pemuda Hijrah”. Lalu, mereka selalu memposting hal-hal positif dalam sosial media mereka, seperti dampak negatif berpacaran, dan alih-alih berpacaran, mereka menyerukan gerakan untuk langsung meminang pasangannya dengan metode ta’aruf untuk menghindari dosa dan membangun bangsa dari keluarga kecil yang mereka bangun secara Islami. Beberapa temanku juga meninggalkan hal-hal yang berbau riba seperti menabung di bank konvensional dan menuju bank syariah, dan meninggalkan barang-barang cicilan berbunga seperti kredit sepeda motor, barang elektronik, hingga properti yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri.
Dalam Islam sendiri, Hijrah dalam konteks Islam berarti meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya, atau yang dikenal dengan istilah "hijrah kepada Allah dan RasulNya". Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain, Rasulullah menegaskan bahwa berhijrah berarti meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. “Seorang Muslim ialah orang yang Muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
ADVERTISEMENT
Apakah ini bagus? Tentu saja! Alih-alih melakukan kegiatan tidak jelas seperti hedonisme di pusat perbelanjaan, mereka menyibukan diri engan mengikuti kajian-kajian di mesjid, serta menyebarluaskan tren positif ini di media sosial mereka. Namun, apakah mereka hijrah dari hati? Ataukah hanya sekedar mengikuti tren sesaat? Beberapa tahun lalu, ketika tren musik emo melanda tanah air, ribuan pemuda mengubah tampilan rambutnya dengan rambut emonya. Dan langsung berpenampilan hitam-hitam, memakai anting hitam, berkaos hitam, dan memakai jins hitam, dan seketika, menyebarluaskan paham mereka juga pada khalayak. Apakah “Pemuda Hijrah” hanya menjadi tren sesaat saja yang digandrungi secara sementara oleh para anak muda? Semoga tidak.
Beberapa pengikut “Pemuda Hijrah”, seketika memposting segala macam dalil keagamaan dan “judge” orang-orang yang belum ikut “Pemuda Hijrah” sebagai seorang yang amat berdosa sehingga dihakimi dan dinilai menakutkan sekaligus mengerikan. Believe me, it happens to me! Lalu, timbul pernyaan dalam benakku, “Selama ini kemana aja? Kok baru ke mesjid sekarang? Kok baru rajin salat sekarang? Dan yang paling penting, kenapa malah jadi menilai seseorang sebagai seorang pendosa setelah Anda mengikuti gerakan tersebut? Halo?!”
ADVERTISEMENT
Bukankah lebih baik tidak usah menggembor-gemborkan apa yang menjadi tren tersebut? Lebih baik jadi contoh yang baik, menjadi suri tauladan yang baik, alih-alih menjadi riya dan menghakimi orang-orang yang mereka anggap belum berhijrah seperti mereka. Karena, Islam sejati bukanlah mereka yang mengenakan baju koko dan memakai peci, ataupun sorban serba putih-putih, namun, bagaimana mereka bisa menjadi rahmat semesta alam, menjadi khalifah di muka bumi, menjaga bumi seperti yang digariskan oleh Tuhan Semesta Alam, menjadi Wakil Tuhan di muka bumi sesuai dengan peranannya masing-masing.
Dokter, melakukan tugasnya mengobati orang-orang yang sakit dan juga membutuhkan, dengan harapan Ridha Tuhan. Guru, melakukan tugasnya mengajari generasi penerus bangsa dengan mengajari mereka akan apa yang mereka ketahui sesuai dengan azas-azas ilmu pengetahuan yang terus berkebambang. Salah satu dosenku di Universitas Islam Bandung, Bapak Satya Indra Karsa pernah berkata, “Islam yang sesungguhnya adalah ketika Ia sedang berjalan di jalan raya, menemukan seoonggok sampah, dan menyingkirkannya walaupun bukan sampah yang Ia harus pertanggungjawabkan”. Sesederhana itu, namun itulah definisi Islam yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Seberapa banyak Muslim yang membuang sampah pada tempatnya? Faktanya, banjir yang terjadi dimana-mana adalah akibat sampah yang dibuang sembarangan. Juga, akibat pohon yang ditebang sembarangan, dalam arti mereka tidak menjaga lingkungan mereka hidup. Menghkianati apa yang digariskan Tuhan, sebagai pemelihara Bumi ini.
Dan, pertanyaan utama kita adalah, seberapa lamakah mereka akan bertahan akan gerakan ini? Seberapa lama mereka akan rajin pada kajian-kajian serta mempraktikkannya? Jawabannya ada di masing-masing individu yang menjalaninya, dan tentu saja, waktulah yang akan menjawab semuanya. Semoga saja, ini bukanlah tren sesaat saja.
Kepada para founder dari “Pemuda Hijrah”, kuucapkan terimakasih, setidaknya, dari 100 pemuda yang mutuskan hijrah, akan ada 1-2 orang yang betul-betul hijrah atas nama Tuhan, bukan sebuah tren duniawi yang sesaat, yang akan menjadi teladan bagi para manusia di sekitarnya, yang suatu saat akan menjadi amal jariyah, yaitu ilmu yang bermanfaat yang terus diamalkan sekalipun pencetusnya sudah dipanggil oleh Malaikat Maut. Semoga, apa yang kalian lakukan mendapat balasan dari Tuhan, dan menjadi amal jariyah. Amin.
ADVERTISEMENT