Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengalaman Saya Bekerja di Rumah Sakit saat Pandemi COVID-19
25 November 2020 12:07 WIB
Tulisan dari Raden Muhammad Wisnu Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Halo semua. Perkenalkan, saya Raden Muhammad Wisnu. Dari 1 Februari 2020 hingga 1 Agustus 2020, saya bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Kota Bandung. Meski lulusan ilmu jurnalistik, saya bekerja di rumah sakit. Kok bisa? Ya jelas bisa, saya bekerja di Instalasi Promosi Kesehatan dan Pemasaran salah satu rumah sakit swasta di Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Awal saya bekerja, semua berjalan sebagaimana mestinya, saya melakukan pekerjaan saya sebagaimana mestinya sesuai ilmu yang saya dapatkan saat kuliah dan pengalaman bekerja di perusahaan sebelumnya. Saya kerap kali melakukan sosialisasi di media sosial maupun di lingkungan rumah sakit pada masyarakat tentang COVID-19 yang sedang mewabah di sejumlah negara dan mengedukasi mereka cara pencegahan virus tersebut mulai dari cara memakai masker yang baik dan benar, cara mencuci tangan, hingga etika bersin dan batuk.
Semuanya berubah saat memasuki bulan Maret, ketika World Health Organization (WHO) dan pemerintah Indonesia resmi mengumumkan bahwa COVID-19 ini menjadi pandemi global yang menjangkiti hampir seluruh negara di seluruh dunia. Kepanikan melanda Indonesia dan negara-negara lainnya. Kaum kelas menengah memborong sejumlah sembako, tissue, masker medis, dan hand sanitizer di swalayan-swalayan besar. Masker sempat menjadi barang langka dan harganya tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Sejumlah rumah sakit besar bahkan membuka ruang donasi bagi masyarakat atau korporasi yang berniat membantu mereka dengan menyumbangkan sejumlah alat pelindung diri (APD), masker medis, hand sanitzier, hingga uang tunai ke rumah sakit. Keadaan di rumah sakit pun chaos, para petinggi rumah sakit, yakni jajaran direksi dan pejabat struktural melakukan rapat besar dan panjang terkait pandemi ini. Inilah kisah saya.
Pertama, rumah sakit sama sekali tidak diuntungkan dengan adanya pandemi ini! Banyak sekali teori konspirasi yang menuduh bahwa rumah sakit mencari untung dalam pandemi ini. Saya katakan, tidak sama sekali! Sejak awal pandemi, justru kami menerima banyak donasi berupa alat pelindung diri (APD), masker medis, hand sanitizer, hingga uang tunai dari para donatur.
ADVERTISEMENT
Mengapa? Biaya penyediaan alat pelindung diri (APD), masker medis, hand sanitizer, hingga menyediakan ruang isolasi untuk pasien COVID-19 itu tidak murah. Kami mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk itu. Dan sangat berterimakasih kepada seluruh donatur yang sudah berdonasi. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan kalian.
Belum lagi, sejumlah operasi banyak yang ditunda karena kami tidak mau mengambil risiko tenaga medis kami terpapar virus COVID-19 dari pasien, maupun risiko pasien terpapar virus COVID-19 dari kami, tenaga medis, maupun pasien dan pengunjung rumah sakit yang lain. Operasi yang sekiranya "tidak membuat meninggal" pasien dan tidak gawat darurat, kami tunda hingga angka penurunan COVID-19 ini menurun. Hal ini diperparah dengan ketakutan pasien untuk kontrol rutin ke rumah sakit. Mereka lebih memilih kontrol ke dokter umum, dokter spesialis ataupun bidan yang membuka klinik kecil maupun praktik di rumah pribadi mereka. Hal itu tentu saja membuat pendapatan rumah sakit menurun drastis.
ADVERTISEMENT
Saking turunnya pendapatan rumah sakit, rumah sakit tempat saya bekerja sempat "panas" karena sejumlah karyawan terpaksa dirumahkan untuk meminimalisir penularan virus COVID-19 dan menghemat anggaran. Beberapa karyawan seperti saya, yang "bisa" melakukan pekerjaannya dari rumah dengan bermodalkan laptop dan koneksi internet, akhirnya melakukan sistem work from home, meski tentu saja gaji pokok dipotong, uang makan dan sejumlah tunjangan pun tidak didapatkan. Sejumlah perawat melakukan sistem shift, yakni dua minggu bekerja, dan dibayar penuh, dan dua minggu libur, dan tidak dibayar sama sekali untuk mengakali neraca keuangan dan efisiensi karena jumlah pasien yang operasi ataupun pasien yang rawat inap berkurang drastis.
Hingga puncaknya, pada 1 Agustus 2020 pihak direksi dan HRD rumah sakit terpaksa melakukan pemutusan kontrak kepada saya. Mereka menegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan karena kinerja saya yang buruk, tapi karena keadaan keuangan rumah sakit yang defisit sehingga karyawan kontrak terpaksa tidak diperpanjang kontrak kerjanya.
ADVERTISEMENT
Kedua, rumah sakit sama sekali tidak meng-COVID kan sejumlah pasien yang dirawat sebagaimana banyak dituduhkan banyak orang di media sosial. Sejak awal pandemi, malah kalau bisa, kami tidak mau merawat pasien COVID-19. Biarlah itu menjadi tugas rumah sakit kelas A, terutama rumah sakit kelas A milik pemerintah karena mereka memiliki banyak dokter spesialis yang berkompeten, fasilitas yang lebih lengkap, dan disuntik dana oleh pemerintah, minimal untuk gaji dan tunjangan seluruh karyawannya, beda dengan rumah sakit swasta yang harus mencari uang sendiri.
Mengapa? Seperti yang saya sebutkan di atas, biaya penyediaan alat pelindung diri (APD), masker medis, hand sanitizer, hingga menyediakan ruang isolasi COVID-19 dari ventilator yang sepaket dengan dokter dan perawat yang berjaga itu memakan biaya yang tidak sedikit. Jauh sebelum pandemi pun, pemerintah melalui BPJS Kesehatan saja masih menanggung utang puluhan miliar ke rumah sakit tempat saya bekerja. Kami terpaksa menalanginya. Dan ketika pandemi ini muncul, tentu saja kami pun bingung setengah mati bagaimana mengatur strategi keuangan dan strategi pemasaran yang harus kami ambil.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya kami memang menyediakan beberapa tempat tidur isolasi untuk pasien COVID-19, tapi yang kita rawat hanyalah pasien yang memiliki gejala berat. Pasien tanpa gejala kami arahkan untuk isolasi mandiri di rumah. Jika pasien tanpa gejala bersikukuh untuk dirawat di ruang isolasi, tentu saja kami persilakan tapi harus menjadi pasien umum yang tidak ditanggung pemerintah. Jangan tanya saya, coba tanya pada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang tidak pernah muncul di depan publik lagi.
Ketiga, kami sebagai karyawan rumah sakit pun geram dengan kebijakan World Health Organization (WHO) dan pemerintah Indonesia. Kedua lembaga ini pada mulanya bersikukuh bahwa masker medis khusus orang yang sakit, mulai dari yang flu ringan hingga batuk-batuk. Beberapa waktu kemudian, kebijakannya diganti bahwa seluruh masyarakat di dunia harus menggunakan masker, minimal masker kain ke mana-mana. Lalu kebijakan pun berganti lagi, masker kain harus distandarisasi dengan masker kain tiga lapis karena masker kain satu lapis diyakini tidak efektif mencegah penularan virus.
ADVERTISEMENT
Sejumlah negara melakukan lockdown untuk mencegah penularan virus ini. Indonesia malah melakukan pembatasan sosial berskala besar atau dikenal dengan PSBB. Tapi saya tidak melihat bedanya. Jalanan hanya "diringankan tingkat kemacetannya" ketika pagi hari karena anak sekolah tidak berangkat ke sekolah. Tapi siang, sore dan malam hari, jalanan tetap macet. Masyarakat banyak yang tidak memakai masker, dan berkerumun. Tidak ada sanksi yang tegas.
Hal ini diperparah dengan gugurnya ratusan dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya dalam pandemi ini. Tidak sedikit dari tenaga kesehatan yang kelelahan karena terus menerus bekerja, sedangkan bantuan insentif dari pemerintah tidak kunjung cair. Gugurnya ratusan tenaga medis dan pasien COVID-19 ini pun, tetap membuat pemerintah diam saja dan seolah tidak bekerja dan mementingkan hal yang sama sekali tidak penting, yakni berdebat tentang siapa yang salah dalam pengambilan kebijakan. Narasi antar penguasa dan oposisi yang kental selama beberapa tahun ini terus saja terjadi, padahal dunia telah dilanda pandemi. Tidak bisakah kita bekerja sama mengambil solusi terbaik untuk bertahan hidup, setidaknya sampai pandemi ini berakhir?
ADVERTISEMENT
Logika yang serba terbalik di mana sejumlah kegiatan seperti perhelatan liga sepakbola tidak diperbolehkan, resepsi pernikahan tidak diperbolehkan, hingga konser musik, bioskop dan sejumlah sektor bisnis lain tidak diperbolehkan karena dianggap mengumpulkan banyak orang. Bayangkan berapa banyak orang yang kehilangan mata pencahariannya? Namun, Pilkada serentak diperbolehkan! Salah satu penjemputan tokoh keagamaan diperbolehkan! Betapa pilih kasihnya.
Tidak heran banyak masyarakat dunia yang percaya bahwa COVID-19 ini hanyalah konspirasi elite global. Atau, setidaknya mereka menganggap COVID-19 ini tidak seberbahaya wabah Flu Spanyol satu abad yang lalu atau wabah pes 6 abad silam yang membuat ratusan juta manusia meninggal dunia. Karena tingkat kesembuhan yang tinggi dan tingkat kematian yang rendah jika dibandingkan dengan dua pandemi sebelumnya yang dialami oleh umat manusia tersebut.
ADVERTISEMENT
Apalagi, banyaknya orang tanpa gejala, terutama anak muda, atlet kelas dunia dan public figure yang dinyatakan positif tapi tanpa gejala apa-apa, sehingga banyak yang menganggap, bahwa anak muda, terutama yang aktif berolahraga, memiliki pola hidup sehat dan tidak memiliki penyakit bawaan yang bahkan sanggup melakukan olahraga dan aktivitas lainnya ketika jelas-jelas positif COVID-19. Meskipun ada juga anak muda yang aktif olahraga dan melakukan pola hidup sehat yang meninggal akibat COVID-19, tapi masyarkat kemudian menganggap bahwa probabilitas meninggal dunia akibat penyakit ini sangatlah rendah.
Pada akhirnya, #IndonesiaTerserah saja! Mau pakai masker silakan. Mau tidak menerapkan protokol kesehatan silakan saja. Suka-suka kalian dan pemerintah saja! Selamatkan diri kalian masing-masing menurut kepercayaan kalian masing-masing saja, sama seperti beragama, ikuti saja kepercayaan dan keyakinan masing-masing! Mudah-mudahan herd immunity tercapai, ataupun vaksin yang dibuat oleh sejumlah elite global ini berhasil dan sukses. Semoga Tuhan memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.
ADVERTISEMENT