Tenggelamnya Titanic : Sebuah Tragedi Kemanusiaan

Raden Muhammad Wisnu Permana
Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana. Akun ini dikelola oleh beberapa admin. Silakan follow akun Twitternya di @wisnu93 dan akun Instagramnya di @Rwisnu93
Konten dari Pengguna
22 September 2019 22:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Muhammad Wisnu Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Keberangkatan Titanic dari Pelabuhan Southmpton menuju New York City tahun 1912
zoom-in-whitePerbesar
Keberangkatan Titanic dari Pelabuhan Southmpton menuju New York City tahun 1912
ADVERTISEMENT
Untuk mengisi waktu luang (baca: menganggur), saya menonton film Titanic (1997). Dari dulu, film ini selalu ditayangkan televisi nasional Indonesia paling tidak setahun sekali. Dan tentu saja saya sudah hafal bagamana kisahnya. Ada hal yang berbeda ketika saya menonton film ini meskipun saya sudah menontonnya baik ketika SD, SMP, SMA hingga saat berkuliah. Inilah mengapa.
ADVERTISEMENT
Pertama, menit-menit pertama film ini memutar rekaman asli Titanic saat akan berangkat dari Pelabuhan Liverpool menuju New York City. Ketika ribuan penumpang melambaikan tangannya kepada kerabat yang mengantarkan mereka di pelabuhan. Tidak ada yang tahu kalau itu benar-benar perpisahan yang sesungguhnya. Sungguh, tidak ada yang tahu. Ditambah, musik tema Titanic yang membuat saya merinding ketika saya mendengarkannya.
Kedua, dibandingkan film bencana lainnya seperti Armagedon, 2012, atau Resident Evil yang menampilkan bencana meteor, bencana alam, hingga zombie apocalypse, Titanic ini benar-benar terjadi. Bukan fiksi belaka. Sekitar 1500 penumpang Titanic benar-benar gugur.
Penumpang Kelas Satu yang didahulukan naik sekoci dibandingkan penumpang kelas dua dan kelas tiga
Ketiga, sebagian besar penumpang Titanic adalah imigran. Ribuan imigran yang berasal dari Inggris, Irlandia, Italia, dan sejumlah negara Eropa lainnya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik di Amerika. Sayangnya, berakhir dengan maut karena faktor human error para staf Titanic. Dan sebagian besar korban adalah penumpang kelas tiga, yakni mereka yang miskin secara ekonomi. Bahkan di filmnya digambarkan bahwa penumpang kelas satu didahulukan untuk naik sekoci dibandingkan penumpang kelas dua dan kelas tiga. Ini sungguh tidak adil! Banyaky ang tidak menyadari bahwa film Titanic bukan saja tragedi antara Jack dan Rose, tapi bagaimana ribuan orang berusaha menyelamatkan hidup mereka ketika Titanic akan tenggelam. Bagaimana ribuan penumpang kelas tiga fokus menyelamatkan diri saat Titanic akan tenggelam, sementara penumpang kelas satu sudah naik sekoci terlebih dahulu.
Adegan ketika Jack yang berkorban agar Rose selamat
Dan bagi saya, adegan tersedih dalam film ini bukanlah adegan ketika Jack yang berkorban agar Rose selamat dari dinginnya samudera Atlantik, melainkan dua adegan berikut ini :
Sepasang kakek dan nenek yang memilih diam di tempat tidur saling berpelukan
Ibu dari anak laki-laki dan perempuan yang memilih untuk menidurkan anaknya
Pertama, adegan ketika sepasang kakek dan nenek yang memilih diam di tempat tidur saling berpelukan menunggu kapal tenggelam. Dan juga ketika Ibu dari anak laki-laki dan perempuan yang memilih untuk menidurkan anaknya tanpa mengetahui bahwa mereka akan tidur untuk selamanya.
Kapten Edward Smith yang memilih untuk tidak berusaha menyelamatkan diri saat Titanic tenggelam
Thomas Andrew, yang memilih berdiam diri di salah satu ruangan Titanic saat Titanic tenggelam
Kedua, tentang bagaimana kapten Titanic, Kapten Edward Smith yang memilih untuk tidak berusaha menyelamatkan diri sama sekali, melainkan berdiam diri di setir kemudi Titanic dan menunggu ajal menjemput karena beliau berpikir bahwa ini adalah kesalahannya sebagai seorang kapten. Masih dalam satu kesatuan, tentang bagaimana arsitek Titanic, Thomas Andrew, yang memilih berdiam diri di salah satu ruangan Titanic, menyadari kesalahannya yang salah kalkulasi dalam merancang Titanic, terutama tentang jumlah sekoci yang sangat kurang, tidak sampai setengah dari jumlah penumpang. Memang, tidak ada bukti sejarah yang membuktikan bahwa mereka berdua benar-benar melakukan itu semua. Tapi bagaimana usaha James Cameroon selaku sutradara ini menghormati mereka berdua sungguh benar-benar luar biasa. Semoga Tuhan menempatkan mereka berdua di surga-Nya.
ADVERTISEMENT
Dan Titanic bukanlah kisah klasik antara seorang pria miskin dan wanita yang kaya raya. Titanic bukanlah roman picisan klasik semacam itu. Tidak banyak yang mengerti. Sekali lagi, tidak banyak yang mengerti.
Bahwa tragedi Titanic adalah ketika ribuan imigran yang berharap akan kehidupan yang lebih baik di Amerika, malah tewas di Samudera Atlantik. Mereka tewas ketika berusaha mengejar impiannya. Impiannya tenggelam di Samudera Atlatik untuk selamanya.
Hanya karena ulah para pejabatnya yang berkata, “Tuhan sekalipun tidak akan mampu menenggelamkannya”, sehingga merasa cukup hanya dengan menyediakan jumlah sekoci yang hanya setengah dari keseluruhan jumlah penumpang.
They said it was the ship of dreams. And it really was. Saya hanya bisa mengucapkan, turut berduka cita atas 1500 penumpang yang tewas pada 15 April 1922. Sungguh tragedi Titanic ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Semoga kalian (para korban yang telah meninggalkan kita) menemukan impian kalian di surga-Nya.
ADVERTISEMENT