Konten dari Pengguna

Masalah Besar Kita Adalah Persoalan Mental-Karakter

PRIYANDONO
Tinggal di Gresik. Menulis di berbagai majalah, koran dan media online. Buku terbarunya: Berbisnis dengan Tuhan (2018). Guru Pengangkut Air (2018).
13 Mei 2021 5:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PRIYANDONO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi foto: pixabay.com/AbsolutVision.
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi foto: pixabay.com/AbsolutVision.
ADVERTISEMENT
Sekolah Penggerak (Bagian-2)
Intervensi kedua bagi sekolah yang mengikuti Program Sekolah Penggerak (PSP) adalah pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kompetensi dan penguatan karakter. Ini sebenarnya bukan barang baru. Sebab pada masa Presiden Jokowi-Yusuf Kalla program penguatan pendidikan karakter (PPK) dijadikan kebijakan pendidikan yang tujuan utamanya mengimplementasikan Nawacita. PPK terintegrasi dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yaitu perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dalam PSP ini, Mas Menteri Nadiem Makariem mengembangkan PPK dengan menambah satu nilai karakter kebinekaan, sehingga menjadi enam. Enam nilai karakter itu merupakan cermin profil pelajar pancasila yang menjadi goal PSP.
Mental memiliki hubungan yang erat dengan karakter. Mental merupakan suasana batin seseorang dalam menghadapi sebuah kejadian. Keadaan jiwa seseorang memang tidak dapat dilihat, tetapi bisa diketahui dari gejala-gejalanya. Jika seseorang itu kuat dalam menyikapi sebuah peristiwa, mereka dikatakan memiliki mental yang kuat. Sebaliknya, jika seseorang itu larut dalam sebuah peristiwa tanpa mampu mengontrol dan mengarahkan peristiwa yang dihadapi, mereka dikatakan memiliki mental yang lemah.
Sikap mental seseorang yang ajek dan spesifik itu menjadi cerminan karakter seseorang. Cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas seseorang. Sebagaimana diungkapkan Wyne, karakter berasal dari bahasa Yunani "karasso" yang berarti "to mark" yaitu menandai atau mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
ADVERTISEMENT
Persoalan mental-karakter ini menjadi PR besar. Oleh karena itu sangat tepat dan cukup beralasan kalau Mas Menteri masih tetap memberi perhatian serius terhadap masalah penguatan karakter. Sebab masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah persoalan karakter.
Saya jadi ingat apa yang disampaikan Emha Ainun Nadjib. Cak Nun, sapaan akrabnya mengatakan korupsi itu persoalan mental-karakter. Bukan masalah moral. Kalau masalah moral semua sudah pada paham. Semua baik baik saja. Koruptor itu kan sopan. Mereka baik kepada tetangganya dan anak istrinya. Jadi takmir masjid juga sering memberikan bantuan untuk masjid. Artinya, secara moral mereka itu baik-baik saja, tetapi mentalnya yang kurang ditata.
Kita memiliki catatan yang kurang bagus dalam penyelenggaraan pendidikan. Kala itu sekolah-sekolah cenderung mengagung-agungkan sains dan matematika. Sementara, penguatan pendidikan karakter tidak diurus. Aspek mental dipinggirkan. Mereka justru hanya berpikir tentang ujian-ujian dan keberhasilan sekolah. Bahkan tertarik dengan berita dan canda. Pendidikan yang sejati dipinggirkan.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan sekolah hanya diukur dari aspek akademik semata. Sekolah dinilai maju diukur dari tingginya nilai yang diperoleh peserta didiknya pada saat ujian akhir. Demikian juga, peserta dinilai sukses manakala mampu mendulang skor yang cukup tinggi pada saat ulangan. Mental-karakter peserta didik sama sekali tidak memperoleh penanganan yang berarti. Semua sibuk memikirkan kemajuan sekolah.
Sekolah memiliki tanggung jawab membangun mental-karakter siswa. Akan tetapi akan menjadi tidak rasional bila semua tanggung jawab mencetak manusia yang berkarakter dan bermental kuat itu dibebankan sekolah. Dan menjadi semakin berat bila tugas melahirkan pelajar pancasila itu dibebankan guru di sekolah. Lebih lebih di era pandemi seperti sekarang ini. Semua dilakukan di kelas maya lewat virtual learning.
ADVERTISEMENT
Ini bukan berarti pesimis. Tapi melahirkan profil pelajar pancasila yang memiliki 6 karakter itu harus bersama sama. Guru sudah berdarah darah membangun mental karakter siswa melalui habituasi di sekolah, kemudian di luar sekolah siswa dihadapkan dengan kabar menteri, kepala daerah serta pejabat lainnya melakukan pelanggaran terhadap norma hukum, normal agama, dan norma sosial.
Guru sudah dedel dhuwel menanamkan sikap mental yang baik, tiba tiba siswa dihadapkan pada sebuah kenyataan adanya "penumpang gelap" di berbagai instansi pelat merah. Hal ini justru akan membuat siswa dan guru putus asa. Artinya, kerja keras guru harus diimbangi dengan teladan yang baik dari para pemimpin.
Siswa sekarang tidak pandai mendengar apa yang disampaikan guru. Masyarakat juga tidak pernah cermat mendengar pidato para pejabat, tapi mereka tidak pernah gagal dalam meniru
ADVERTISEMENT
Melalui PSP diharapkan paradigma lama itu akan bergeser. Indikator akademik sudah tidak signifikan lagi dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pendidikan. Nilai ujian bukan merupakan kompetensi siswa yang sesungguhnya.
Sebaliknya, indikator kecerdasan emosi, seperti kemampuan menahan diri, memiliki stabilitas emosi, selalu memahami orang lain, tidak mudah putus asa, pantang menyerah, sabar, memiliki kesadaran diri, punya motivasi yang berlipat, punya kreativitas yang dinamis, memiliki empati, dan toleran, merupakan karakteristik yang jauh lebih penting dimiliki siswa ketimbang sekadar pencapaian angka-angka yang tertulis di rapor/ijazah itu sendiri(**/Bersambung)