Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menulis Puisi itu Ibarat membuat Tempe
20 November 2020 5:42 WIB
Tulisan dari PRIYANDONO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Covid-19 telah membuat paru paru kehidupan penuh bercak. Akibatnya, nafasnya pun menjadi tersengal sengal. Semua mengalami tekanan yang hebat. Di tengah mewabahnya virus ini, self healing menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan agar tetap waras. Salah satu cara untuk menjaga kewarasan adalah dengan membaca sastra.
ADVERTISEMENT
Yuk, kita simak puisi berikut;
Datanglah....
engkau tahu tak ada yang lebih menyiksa selain rindu yang terucap tapi tak terdengar
larut bersama tetes hujan//mengalir di antara rumput dan bebatuan tapi tak pernah bisa menyentuh muara
malam-malam berlalu dan fajar datang dengan muka ingin menikam
entah untuk yang keberapa
Datanglah......
sebab rindu ini tak bisa kuganti dengan keriangan dalam pijar cahaya purnama
atau dengan sajak-sajak yang kutulis dalam gelisah
Datanglah....
Siapa yang bisa menginterpretasikan puisi "Hujan Suatu Ketika" karya Junaidi Gafar di atas? Gejolak batin apa yang membuatnya merajut kata demi kata hingga menjadi sebuah mozaik aksara? Pesan apa yang ingin disampaikan?.
Saya sendiri tidak tahu pasti. Yang saya tahu cuma rindu itu berat. Meskipun demikian saya tetap memiliki penafsiran sendiri yang tentu berbeda dengan penafsiran pembaca lainnya
ADVERTISEMENT
Sam Mukhtar Chaniago, penyair yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengatakan, setiap pembaca berhak untuk menafsirkan sendiri-sendiri. " Setiap pembaca punya interpretasi sendiri sesuai dengan pengalaman batinnya masing-masing yang akan memiliki pemaknaannya sendiri.
Seorang penyair, lanjut Sam, tidak berhak lagi ikut serta memberi makna pada puisi yang telah dibuatnya. Penyair ketika membuat sebuah puisi Ibarat telah membuat sebuah tempe. Pembacanya akan menjadikan tempe itu seperti rasa semur itu sepenuhnya hak pembaca. Atau menjadikan tempe itu rasa sate, itu haknya. Atau bahkan menjadikan tempe seperti rasa strawberry, itu wewenangnya. "Itu yang saya yakini," tandasnya.
Lantas bagaimana dengan puisi yang tidak lolos kurasi. Apakah ini juga disebabkan karena penafsiran dan selera kurator?
ADVERTISEMENT
Sam tidak langsung meng-iya-kan. Tapi penyair kawakan ini menambahkan, ada banyak hal yang menyebabkan karya puisi tidak lolos kurasi. "Mungkin: tidak sesuai dengan tema yang diminta karena simbolik yang digunakan tidak semakna dengan kurator, penggambarannya terlalu dangkal terkait dengan tema yang diminta, dinilai melanggar SARA" sambungnya.
Rahasia Menulis Puisi
Menulis puisi merupakan aktivitas yang eksklusif. Sebab hal itu menjadi ranah personal. Puisi menjadi perantara penyair dengan sesuatu di luar penyair. Larik larik katanya seolah memiliki ruh, sehingga bisa menghidupkan rasa cinta. Cinta kepada Alloh. Cinta kepada Rasululloh. Cinta kepada orang tua. Cinta kepada Istri dan anak. Cinta kepada orang lain. Dan cinta kepada makhluk lainnya.
"Tulislah A untuk menyatakan B. Tersebab itu, maka perlu metafora. Itulah rahasia utama menulis puisi. Rahasia kecilnya lainnya adalah memasukkan perasaan kita. Karena puisi itu main rasa. Pilih kata-kata yang mengarah ke "rasa" yang kita inginkan. Misalnya, rasa takut, benci, sayang, sedih, prihatin, menyebalkan, muak, suka, tak nyaman, galau, menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Rasa menyebalkan, misalnya. Ambillah kata-kata yang mengarah ke sana. Gunakan metafora kopi: pahit, tak manis, ada rasa onak, ada rasa duri, menyengat, gelap, pekat, remang-remang, gamang, dan lain lain. Tujuan yang ingin dicapai gunakan metafora cahaya, rinduMu, rengkuhanNya
Rasa yang kita bangun harus mampu menyentuh pembaca. Agar pembaca juga merasakan yang kita rasakan. Kalau bisa buat kejutan yang bisa membuat pembaca terhentak pada baris terakhir. Kejutan biasanya di akhir bait atau baris. "Aku dalam setiap elahan nafasku, selalu menatap rinduMu. Ini kejutan. RinduMu. Rindu Alloh.
Puisi ada yang bernilai sastra, ada juga puisi yang tidak bernilai sastra. Syarat puisi yang bernilai sastra ada 2: Menyenangkan dan bermanfaat.
Puisi yang tidak bernilai sastra, bentuknya saja yang seperti untaian puisi, berbait-bait serta ada baris-baris kalimat. Kata-katanya indah, mungkin juga menyenangkan, tapi tidak mampu membuat pembaca memetik atau menyentuh rasanya. Tidak bisa membangun rasanya, membentuk pribadinya, bahkan karakternya.
ADVERTISEMENT