Cerpen: Hidup Itu Adil

Raden Putri
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta - Jurusan Teknik Grafika Penerbitan
Konten dari Pengguna
30 Maret 2021 21:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hidup. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hidup. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Matahari bersinar dengan teriknya. Menerobos celah dinding kayu dari gudang sebuah toko bahan bangunan. Aku duduk di pinggiran dindingnya, melepas lelah dan panas dari dalam tubuhku. Aku hempaskan napas berat.
ADVERTISEMENT
Dunia terasa berat bagi orang yang terlahir dengan status ekonomi menengah ke bawah sepertiku. Harus putus sekolah, bekerja sejak usia dini, hingga kesulitan hanya untuk makan setiap hari, sudah menjadi hal biasa.
Mungkin aku salah satu orang yang beruntung. Bisa menyelesaikan pendidikan SMA walau sambil bekerja serabutan seperti sekarang. Pada pagi hari aku akan berkeliling kampung, mencari sampah gelas plastik untuk dijual kembali.
Pada siang harinya, sepulang sekolah aku akan pergi ke pengepulan sampah untuk membantu membersihkan label-label dari sampah botol plastik. Dan pada malam harinya, aku akan ikut membantu tetanggaku untuk berjualan nasi goreng keliling. Sedangkan untuk akhir pekan, aku memilih bekerja di toko bangunan sebagai kuli. Ya walaupun penghasilannya tidak seberapa, tapi itu bisa membantuku membayar uang SPP yang setiap tahunnya selalu naik.
ADVERTISEMENT
Aku mengipas-ngipaskan topi butut pemberian Ibuku untuk menghalau sedikit panas di wajahku. Azan zuhur sudah berkumandang, aku berdiri dan mengambil baju ganti di tas yang selalu aku bawa. Aku pun meminta izin kepada bosku untuk pergi ke masjid terlebih dahulu.
Setelah berganti baju di toilet masjid dan berwudu, aku lantas mengambil sarung yang digantung di tempat peminjaman masjid. Udara segar menerpa wajahku. Kupejamkan mata seraya menghirup wanginya pengharum ruangan yang menempel di kipas angin dekat pintu.
Dinginnya lantai, harumnya ruangan, segarnya udara, dan lembutnya karpet membuat masjid selalu menjadi tempat paling nyaman untuk melepas penat terlebih untuk kehidupan dunia. Aku sempatkan salat sunah sambil menunggu ikamah.
Selesai salat zuhur, aku tidak langsung pergi. Aku duduk di dekat jendela, menggumamkan zikir sembari menikmati semilir angin yang menerpa wajah. Bayangan masa lalu tiba-tiba menghampiriku. Memperlihatkan bagaimana beratnya tekanan dan sulitnya bertahan hidup pada masa itu. Bagaimana saat ibuku digunjing dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Tak dianggap oleh keluarganya sendiri, bahkan oleh keluarga ayahku saja, dikucilkan. Padahal, dia sedang berjuang seorang diri menghidupi anaknya karena ayah yang tidak bekerja.
ADVERTISEMENT
Tak terasa air mataku jatuh. Hatiku terasa sakit, dadaku terasa sesak. Aku terisak dalam tangis. Berusaha meredam tangis agar tak terdengar orang. Ingatan-ingatan tentang kesulitan yang aku alami tak luput hadir dalam bayangan masa lalu itu. Tangisku semakin menjadi, dadaku sesak seperti tertimpa suatu batu yang sangat besar. Aku menangis hebat dalam diam.
“Diminum dulu, biar lebih lega” Kata seseorang sambil meletakkan air minum kemasan. Tangisku mulai mereda, aku berusaha mengatur napasku perlahan.
“Makasih” Ucapku sembari menyambar air minum tersebut untuk menghilangkan sakit di tenggorokanku karena berusaha menahan tangis.
“Maaf sebelumnya jika saya tiba-tiba berbicara seperti ini, tapi laki-laki juga boleh nangis, kok. Itu hal yang wajar. Lagi pula gak ada yang minta kamu buat tetep kuat dan terlihat baik-baik saja, kan?” Katanya mengambil duduk di dekatku. Matanya menerawang jauh ke depan.
ADVERTISEMENT
Aku terdiam. Senyum kecil terangkat di wajahku, “Orang kecil seperti saya, jika memperlihatkan kesedihannya hanya akan menjadi omongan orang. Dibilang kurang bersyukurlah, banyak ngeluhlah, kurang rajinlah kerjanya, kurang deket sama Allah, padahal, saya hanya merasa lelah. Apa kita tidak boleh merasa lelah?”
“Loh? Kata siapa gak boleh? Boleh kok. Itu hal yang wajar sekali. Terkadang kita perlu istirahat sejenak dari lelahnya perjalanan kehidupan ini. Bukan untuk berhenti dan menyerah, tapi untuk istirahat dan melepas lelah. Karena setiap jalan pasti ada rintangannya, setiap jalur pasti ada risikonya. Tinggal kita saja yang memilih, mau terus berjalan walau sambil tertatih, atau berhenti dan menyerah tanpa berjuang sekuat tenaga” Jelasnya.
“Hahahahaa, berjalan hingga akhir itu untuk mereka yang mempunyai kelebihan materi saja. Hidup itu gak adil, karena cuma orang-orang kecil seperti saya yang merasa sakit sendiri.” Ucapku mulai melantur.
ADVERTISEMENT
“Iya sih, saya juga ngerasa hidup ini gak adil” Jawabnya sambil mengangguk-angguk.
“Tuh kan Abang juga ngerasa hal yang sama, kan?” Ucapku meyakinkan.
“Ya makanya hidup itu adil.” Jawabnya berbeda. Aku menengok ke arahnya, ia masih setia menatap lurus ke depan.
“Karena kita yang sebenernya saling gak kenal ini aja ngerasa kalau hidup itu gak adil. Itu artinya Tuhan adil, kan? Karena setiap manusia pernah merasakan bahwa hidup itu gak adil. Tinggal bagaimana cara kita membalut ketidakadilan itu menjadi keadilan dan sumber kekuatan” Ucapnya dengan penuh keyakinan dan tersenyum kecil menatapku.
“Lagi pula, jika kita hanya merenungi kehidupan tanpa berusaha memaksimalkan apa yang kita miliki, kita tidak akan mendapatkan hal yang maksimal juga. Ingat, Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah dirinya sendiri. Kita juga harus ingat tentang apa yang kita tanam, itu yang kita tuai. Tentu dalam pelaksanaannya kita harus memberikan pupuk yang baik agar apa yang kita tuai kelak juga berbuah baik. Jadi, daripada kita hanya menyumpahi nasib, lebih baik kita berusaha mengubahnya.” Katanya panjang lebar.
ADVERTISEMENT
Aku terdiam. Berusaha mencerna kata-katanya. Ucapannya tadi sangat menamparku, menyadarkanku tentang bagaimana adilnya Tuhan mengatur kehidupan makhluknya–yang berjuang yang akan mendapatkan.
Selama ini aku tidak pernah mengembangkan potensi dalam diriku, aku tidak pernah berusaha menyenangkan diriku sendiri. Aku hanya fokus untuk mendapatkan uang apa pun pekerjaannya. Aku terlalu sibuk menjadi orang lain, hingga saat aku sendiri, aku tidak mengenali diriku sendiri.
Aku harus mulai mengubah pola pikirku dari yang awalnya, “Yang penting dapet uang buat makan dan sehari-hari” menjadi “Aku harus menjadi diriku sendiri dan mengembangkan potensi untuk menjadi lebih baik lagi”. Aku harus berlaku adil pada diriku, sebagaimana Tuhan berlaku adil untuk seluruh makhluknya.
Dan yang terpenting dari itu semua, adalah bagaimana cara kita untuk yakin, ketentuan Tuhan lebih baik dari keinginan kita. Karena Tuhan, Maha Adil.
ADVERTISEMENT