Cerpen: Sebuah Mimpi dan Cita-cita

Raden Putri
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta - Jurusan Teknik Grafika Penerbitan
Konten dari Pengguna
18 Maret 2021 17:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tulisan "Live Your Dream". Sumber foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Tulisan "Live Your Dream". Sumber foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kamu harus punya mimpi masuk universitas negeri terkemuka. Mimpi kamu harus melampaui kakak-kakakmu. Kalau kamu tidak mau jadi dokter, kamu boleh ambil teknik pertambangan.” Kata Ayahku di depan keluarga besar kami.
ADVERTISEMENT
Aku Ankarian, anak terakhir dari enam bersaudara. Keluargaku termasuk keluarga yang disegani oleh masyarakat sekitar. Dibesarkan oleh tata krama, pandangan sosial, dan derajat yang mereka anggap tinggi.
Sebagai anak, wajib hukumnya mengikuti kemauan orang tua. Jika tidak, maka akan di cap sebagai pembangkang. Definisi sukses dan bahagia yang dipikirkan hanyalah soal derajat dan materi. Padahal lebih dari itu, kebahagiaan adalah bagaimana kita menikmati proses hidup menjadi lebih berarti.
Jika melihat riwayat pendidikan dari keluarga besarku, mencapai strata satu sudah sangat biasa. Bahkan setiap anak wajib melewati gapaian kakak-kakaknya. Dari prestasi akademik hingga non-akademik, semua anak wajib menorehkan nama.
Aku terlahir menjadi yang paling biasa. Paling tidak ingin repot karena tuntutan orang-orang dewasa. Paling tidak ingin memiliki ambisi berlebihan. Paling tidak ingin memaksakan hidup hingga lupa menikmati hidup.
ADVERTISEMENT
Aku ingin berproses dengan caraku sendiri. Aku ingin bergerak sendiri, aku ingin mengambil keputusan dengan pilihanku sendiri. Dan aku ingin hidup dengan jalanku sendiri. Setidaknya, aku ingin benar-benar hidup dengan kemampuanku sendiri.
Sayangnya, semua hanya keinginanku saja. Tidak pernah dapat terwujud dan tak pernah berani aku lakukan.
“Kamu harus sekolah di sini. Mengikuti semua kakak-kakakmu.” Kata Ayahku ketika aku ingin mendaftarkan diri ke sekolah lain.
“Kamu sekolah di sini saja. Jalanmu menuju universitas impianmu akan lebih mudah.” Kata kakak laki-laki tertuaku.
“Kamu harus masuk jurusan ini. Kamu akan mudah dikemudian hari.” Ucap kakak perempuanku.
Impianku, kemudahan untukku, benarkah itu semua untukku? Atau hanya untuk mewujudkan mimpi mereka melalui aku? Aku bukan lah boneka. Aku bukan lah alat untuk mewujudkan mimpi-mimpi tertunda mereka. Karena sesungguhnya, aku pun memiliki mimpi seperti mereka.
ADVERTISEMENT
Aku turuti semua keinginan mereka. Aku masuk sekolah pilihan ayahku, aku melanjutkan di sekolah pilihan kakak laki-lakiku. Aku masuk jurusan sesuai dengan keinginan kakak perempuanku.
Bosan. Sangat bosan. Rasanya melelahkan hanya mengikuti keinginan orang-orang dewasa. Aku ingin melakukan apa yang aku suka juga. Tidak mengerti kah bahwa setiap anak memiliki mimpi masing-masing? Tidak bisa kah percaya kepada mimpi anak dan tetap mendukung inginnya?
Saat memasuki Sekolah Menengah Atas, setiap siswa diwajibkan mengikuti satu ekstrakurikuler. Berkegiatan di luar sekolah adalah keinginanku. Setidaknya begitulah cara yang dapat aku lakukan untuk menjauhkan diri dari lingkungan keluarga yang selalu menekanku. Maka, jangan pernah salahkan anak jika lebih asyik berkegiatan diluar. Bisa jadi, itu karena lingkungan keluarga yang tidak memberikan ruang untuk kebebasannya.
ADVERTISEMENT
Aku memilih ekstrakurikuler teater. Jadwal kegiatannya lebih padat dari dugaanku. Di hari libur aku masih harus berlatih, dan ternyata kegiatan ini sangat menyenangkan. Setidaknya, ini membuatku lupa akan masalah yang ada di keluargaku.
“Aku mau ikut lomba teater.” Ucapku di depan Ibuku
“Apa? Buat apa kamu ikut kaya gitu? Mending belajar buat olimpiade nanti.”
“Tapi ini tingkat Nasional. Aku udah ikut seleksinya dari jauh-jauh hari, Bu.”
“Terserah kamu.” Jawab Ibu dengan ketus
Aku yakin, pasti aku dianggap membangkang karena berkesenian. Di keluargaku tidak ada yang menekuni bidang seni apa pun. Hingga muncul lah anggapan bahwa berkesenian hanya membuang-buang waktu. Tidak memiliki masa depan.
Jawaban ketus Ibu mengantar kepergianku menuju lokasi perlombaan. Tidak ada restu dari orang tua, tidak ada yang mengantar menuju bandara. Penerbangan menuju Yogyakarta kuhabiskan dengan melihat cermin diri. Mencoba menguatkan hati agar tetap teguh berdiri walau berjuang seorang diri.
ADVERTISEMENT
Rasanya sungguh berat. Memperjuangkan mimpi tanpa ada dukungan dari keluarga. Jika mereka melihat aku tak mampu, maka aku harus membuktikan bahwa mereka salah. Aku tidak akan banyak berbicara, tapi aku akan berjuang sekuat tenaga.
Melaksanakan yang terbaik, menampilkan semua kemampuan dengan maksimal telah aku lakukan. Aku baru saja keluar arena pertunjukan. Pertunjukanku sudah berakhir dari 15 menit yang lalu. Aku menatap layar gawaiku. Tidak ada pesan masuk dari keluargaku. Entah yang menyemangati atau sekadar basa-basi.
Keesokan harinya aku kembali ke arena pertunjukan. Malam ini, adalah malam puncak dari rangkaian acara perlombaan. Aku tidak mengharapkan apa pun, aku harus mempersiapkan diri untuk kembali. Apa pun hasilnya, mungkin tidak akan mempengaruhi.
“Ray, lu Ray. Nama lu disebut itu.” Kata Karina sambil menarik earphone yang menggantung di telingaku.
ADVERTISEMENT
“Apa sih Kar? Disebut apaan?” Jawabku sambil membetulkan kembali earphone-ku.
“Itu lu Juara 1 Ray. Lu menang.” Katanya antusias sambil menunjuk layar besar yang ada di depan dan memelukku secara spontan.
Aku terdiam. Terpaku melihat namaku berada di layar besar itu. Dan Karina masih memelukku. Aku merasakan mataku mulai memanas. Genangan air lolos begitu saja diluar kendaliku. Aku menangis.
Karina menyadari perubahan emosiku. Aku yang menunduk dan berusaha menyembunyikan air mataku merasakan ada tangan yang menggenggamku.
“Kamu hebat Ray. Dan semua orang di sini tahu itu. Kamu dan kegigihanmu berhak mendapatkan ini. Sekarang, waktunya kamu menikmati apa yang sudah kamu usahakan.” Dia mengusap air mataku lalu memintaku bergegas naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan.
ADVERTISEMENT
Setelah acara puncak itu, aku semakin yakin dengan mimpiku. Aku semakin yakin dengan keinginanku. Aku ingin menjadi seniman. Aku ingin terjun di dunia teater yang telah banyak mengajarkanku tentang kehidupan.
Mungkin orang akan berkata, “Teater itu tempat bersandiwara. Kamu tidak akan bisa belajar dari hal-hal bohong. "Tidak. Salah besar orang yang mengatakan itu. Aku merasa lebih hidup ketika mendalami teater. Ternyata, berteater mengajarkan tentang hidup yang sebenarnya. Tentang bagaimana memanusiakan manusia. Tentang bagaimana kita harus mengolah emosi disaat yang lain mungkin tidak bisa meredamnya. Kita, harus lebih peka terhadap sekitar kita. Setidaknya, itulah yang aku dapatkan dalam tiga tahun aku bergabung di teater sekolah.
Pendaftaran perguruan tinggi semakin dekat. Setiap siswa sudah mulai mempersiapkan diri untuk mencari perguruan tinggi mana yang akan menjadi tujuan mereka. Tidak terkecuali aku. Aku sibuk mencari universitas yang akan menunjang mimpiku untuk menjadi seniman.
ADVERTISEMENT
Setelah aku putuskan untuk mengambil salah satu universitas di kota pelajar, aku mendatangi guru BK di sekolahku. Melihat nilai rapor dan portofolio yang aku miliki, guru BK-ku mendukung dan yakin bahwa aku akan mendapatkan salah satu kursi di sana.
“Ini sudah bagus. Peluang kamu sepertinya cukup besar. Tinggal kamu minta persetujuan orang tuamu, yah.” Kata guru BK.
Aku menghela napas berat. Ini tidak akan mudah. Sepulang sekolah, aku harus langsung membicarakan ini dengan orang tuaku. Aku tidak ingin lagi menjalankan sesuatu yang tidak aku sukai.
Benar saja. Perdebatan panjang tentang masa depanku terjadi kala aku mengutarakan niatku menjadi seniman. Di sini aku yang akan menjalani perkuliahan. Di sini aku yang akan berjuang selama empat tahun pembelajaran. Di sini aku yang akan mengerjakan tugas dan segala kegiatan.
ADVERTISEMENT
Aku mengembuskan napas berat untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah lelah mendengarkan perdebatan panjang mereka.
“Yah, bu, kak. Yang kuliah itu aku. Aku cuma minta restu kalian. Aku pengen semua pilihan yang aku ambil di ridhoi Tuhan. Aku gak mau ngejalanin apa yang enggak aku suka lagi. Aku udah besar. Aku berhak menentukan pilihanku sendiri.” Kataku sambil menahan perasaanku.
“Aku ingin membuat kalian bahagia. Tapi tentu dengan jalanku sendiri. Dan aku yakin aku pasti bisa. Tolong kasih aku kesempatan. Aku ingin menciptakan kebahagiaan melalui kebahagiaan juga.” Kataku yakin sambil menatap mereka.
“Kamu bener, Dek. Kamu juga berhak punya mimpi. Kakak akan dukung kamu.” Ucap kakak keduaku. Entah mengapa rasanya melegakan mendengar itu. Akhirnya, aku memiliki seseorang yang mendukungku.
ADVERTISEMENT
Mungkin keluargaku masih dan akan terus ragu akan pilihan yang telah aku pilih ini. Tapi, justru inilah yang menjadi pemacuku untuk berkembang dan menunjukkan kemampuanku. Aku, tidak akan membuat kecewa orang-orang yang telah mempercayaiku.
**
Raden Putri
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
Jurusan Teknik Grafika Penerbitan