Konten dari Pengguna

Stereotip, Suku, dan Persatuan: Mengungkap Tantangan Bhinneka Tunggal Ika

Raden Roro Yasminenur Ainina Febriany
Mahasiswi jurusan Psikologi dari Universitas Negeri Jakarta sejak tahun 2023. Saat ini sedang aktif dalam menjalani perkuliahan dan menjalani organisasi kampus seputar Psikologi. Dengan kemampuan dalam menulis jurnal dan membuat karya kreatif lainnya
5 Juni 2024 10:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Roro Yasminenur Ainina Febriany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
photo by Christopher Jayanata from Pixabay https://cdn.pixabay.com/photo/2019/07/06/08/42/bali-4319964_1280.jpg
zoom-in-whitePerbesar
photo by Christopher Jayanata from Pixabay https://cdn.pixabay.com/photo/2019/07/06/08/42/bali-4319964_1280.jpg
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam ras, suku, bangsa, dan budaya. Sejauh ini ada 1.340 suku di Indonesia. Menurut sensus terbaru dari Badan Pusat Statistik, kini ada lebih dari 300 kelompok etnis. Maka dari itu, untuk menjaga persatuan dan kesatuan di negara kita, slogan Bhinneka Tunggal Ika hadir untuk mempersatukan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bhinneka Tunggal Ika Tan Haana Dharmma Mangrwa, artinya ‘beragam tapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang rancu’. Ini berarti, walaupun kita memiliki banyak keberagaman kita harus tetap satu, bangsa Indonesia. Pahlawan, sebagai pejuang bangsa Indonesia, sejak dahulu selalu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sejak lama. Hingga pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, Indonesia dinyatakan merdeka.
Bukan berarti perjuangan bangsa Indonesia berhenti sampai di situ saja. Ir. Soekarno, pada 10 November 1961 pernah mengatakan: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Inilah awal mula perjuangan dan tugas bagi bangsa Indonesia dalam membangun persatuan bangsanya sendiri.
Keberagaman di Indonesia ini menghadirkan banyak pro dan kontra. Indonesia dikenal sebagai negeri dengan wilayah yang kaya akan keberagaman budaya, suku, agama, menjadi daya tarik bagi warga negara asing. Keberagaman yang ada juga memperkaya sumber daya negeri kita dan melestarikan keasrian atau keberagaman budaya.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, timbul perpecahan akibat ketidaksetaraan dalam mendapatkan hak, intoleransi terhadap satu sama lain, hingga timbul ekslusivisme. Lalu, bagaimanakah keberlangsungan slogan kebanggaan bangsa Indonesia ini berjalan di tengah kehidupan bermasyarakat?
Bhinneka Tunggal Ika memang memiliki tujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia, tetapi jika dilihat penerapannya di kehidupan sehari-hari, sepertinya persatuan ini dapat dilihat belum terwujud secara nyata dan menyeluruh. Perbedaan ras terkadang bisa menjadi penghalang kita entah bagaimana wujudnya.
Padahal zaman pun sudah berubah. Tetapi bahkan, di zaman yang sudah modern ini, masih banyak penghalang antar suku. Ketidaksukaan rasa akan satu suku pada suku lainnya juga kadang masih terlihat jelas.
Jika dilihat secara sekilas, mungkin terlihat baik-baik saja. Tetapi, jika diperhatikan lebih dalam, beberapa orang masih memiliki pemikiran bahwa sukunya sendiri superior. Stereotip pada tiap suku juga masih kuat.
ADVERTISEMENT
Penstereotipan (stereotyping), yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok (Mulyana, 2000). Berikut beberapa contoh stereotip antar suku yang masih sering terjadi:
1. Stereotip antar suku Batak dan Jawa: Beberapa orang dari suku Batak, walaupun tidak seluruhnya, ada yang memiliki rasa tidak suka pada suku Jawa. Beberapa mempercayai stereotip bahwa masyarakat suku Jawa terkadang kurang kompatibel dalam beberapa hal karena terlalu lembut dan tidak tegas. Masyarakat suku Batak merasa tidak sabar dengan sikap lemah lembut dari suku Jawa.
Begitupun sebaliknya, suku Jawa juga memiliki stereotip bahwa suku Batak adalah orang yang kasar, sangat tegas, dan memiliki kesabaran yang tipis. Minauli (2002) mengatakan kalau orang Jawa memang lebih mengutamakan prinsip rukun dan hormat agar dapat tercapai keadaan tenang, tentram, selaras serta tanpa perselisihan dan pertentangan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, masyarakat Batak dituntut untuk berjuang dan bekerja keras karena umumnya tinggal di kondisi yang gersang dan bergunung-gunung. Oleh karena itu, orang Batak juga dikenal ulet, gigih, dan berjuang untuk menaklukkan alam (Sriyanti, 2012).
2. Stereotip pada suku Minang: stereotip pada suku Minang yang dianggap jago berbisnis, licik, dan pelit. Suku Minang, yang sering orang sebut-sebut sebagai ‘orang Padang’, dikenal sebagai orang yang pelit. Padahal, stereotip ini muncul karena suku Minang yang banyak merantau dan menjadi pedagang, sehingga perlu untuk mengatur keuangan. Hal ini yang membuat stereotip pelit ini sangat melekat pada suku Minang.
3. Stereotip pada suku Sunda: Stereotip pada perempuan dan laki-laki Sunda banyak dibahas di masyarakat. Perempuan Sunda sering disebut cantik, tetapi matre. Sedangkan, Laki-laki Sunda disebut pemalu, pemalas dan kurang bisa bertanggung jawab. Sehingga banyak yang sering mengatakan, “jangan menikah dengan perempuan Sunda, matre!” atau “jangan menikah dengan laki-laki Sunda, pemalas”.
ADVERTISEMENT
4. Stereotip hubungan suku dengan pekerjaan: Bahkan, stereotip ini juga diterapkan dalam posisi pekerjaan. Banyak stereotip masyarakat yang mengungkapkan bahwa suku Minang lebih banyak bekerja sebagai pebisnis dan berjualan, suku Batak dikatakan lebih banyak yang bekerja sebagai pengacara dan sejenisnya, sedangkan suku Jawa memiliki stereotip lebih banyak yang bekerja sebagai pegawai atau karyawan biasa karena sifatnya yang disebut 'nurut'.
5. Stereotip pernikahan antar suku: Pertentangan pernikahan antar suku juga masih terhitung banyak. Semisal ada yang menikah antar suku yang berbeda, masih ada sikap diskriminasi yang dilakukan oleh pihak keluarga.
Hal-hal seperti ini dapat terjadi karena tanpa sadar dalam diri masyarakat Indonesia masih tertanam kecenderungan untuk merasa lebih superior dan lebih unggul dibandingkan suku lain, Masyarakat masih kurang bisa menghargai keberagaman budaya dari tiap suku. Terjebak dalam stereotip dan prasangka terhadap suku tertentu, padahal bisa saja hal itu adalah mitos dan tidak benar adanya.
ADVERTISEMENT
Meskipun tampaknya ada pengaruh suku pada kepribadian seseorang, kemungkinan besar itu hanya dampak psikologis dari pemikiran kolektif masyarakat terhadap suku-suku yang berbeda, yang pada akhirnya terserap pada diri seorang individu. Dalam hal ini, kira-kira apa yang dapat dilakukan untuk mencari solusi dan menghadapi tantangan dan stereotip antar suku agar bisa mengimplementasikan sikap Bhinneka Tunggal Ika dengan baik?
Beberapa Solusi yang dapat dilakukan demi mengimplementasikan sikap Bhinneka Tunggal Ika dalam permasalahan antar suku ini, antara lain:
1. Memupuk rasa toleransi yang kuat.
Hal ini dapat diterapkan dengan tidak menempatkan atau mengenyampingkan urusan bermasyarakat dengan perbedaan suku. Penting bagi masyarakat Indonesia untuk memahami bahwa tiap individu memiliki kontribusi yang berharga, terlepas dari suku dan latar belakang budaya.
ADVERTISEMENT
2. Hindari perilaku etnosentrisme dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan menghindarinya, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghargai keberagaman yang dimiliki.
3. Jangan membeda-bedakan orang hanya berdasarkan suku asal.
Lingkaran setan yang merupakan bentuk etnosentris pada masyarakat ini harus diputus. Dengan demikian, masyarakat yang bersatu dan harmonis dapat terwujud, tempat di mana setiap individu dihargai dan didukung tanpa didasari oleh perbedaan yang dimiliki.
Dengan demikian, kita dapat melakukan beberapa upaya nyata untuk mengatasi stereotip dan ketidaksetaraan yang masih menghambat harmoni antar suku di Indonesia dalam konteks keberagaman suku bangsa.
Jika hal ini dapat diupayakan dan sukses diterapkan, maka masyarakat Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan harmonis, menjadikan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sebagai slogan, tetapi juga sebagai prinsip yang diamalkan dalam kehidupan tiap individu sehari-hari.
ADVERTISEMENT